Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pada akhirnya... kamu benar-benar pergi...." —Lengkara Putri Langit
LENGKARA terbangun dengan napas tersengal-sengal. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Lagu "I Will Always Love You" milik Whitney Houston terdengar memenuhi ruangan itu.
Lengkara dengan perlahan mencoba mendudukkan dirinya di atas kasur. Tangan Lengkara mengusap air mata yang entah sejak kapan membasahi wajahnya. Dadanya terasa sesak, begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Ia seperti baru saja bangun dari mimpi yang sangat panjang.
Pandangannya naik menatap alat perekam suara yang tergeletak begitu saja di sebelahnya. Jantung gadis itu mencelos begitu saja.
"Kamu benar-benar pergi, ya, Ka...."
Air mata Lengkara kembali terjatuh ketika menatap susunan foto polaroid dirinya dan Masnaka di dinding kamar. Lengkara tertidur di dalam kamar Masnaka setelah mendengar rekaman suara yang diberikan Afni.
Tangan Lengkara kembali mengusap kasar air matanya. Rasanya ia baru saja masuk ke dalam rengkuhan hangat Masnaka. Kenapa kehangatan itu hilang begitu saja dalam sekejap.
"Naka...," panggil Lengkara pelan dengan bibir bergetar.
"Ayo jawab panggilan aku, Ka...." Suara isakan kini kembali terdengar memenuhi kamar laki-laki itu.
"Aku gak butuh semua rekaman suara kamu! Aku gak butuh semua surat-surat kamu! Aku gak butuh sembilan belas bunga sampai sembilan belas tahun ke depan dari kamu!" Gadis itu kemudian membekap kuat mulutnya dan menangis lebih kencang.
"Aku cuma butuh kamu, Naka...," lirihnya dengan tubuh bergetar hebat.
Kehilangan Masnaka benar-benar menjadi hal yang sangat menyakitkan untuk Lengkara. Masnaka telah pergi dan meninggalkan luka yang menganga lebar di dalam dirinya.
"Aku harap, kamu datang dan bilang kalo semua ini cuma bohong."
Tenggorokan Lengkara tercekat. Bayangan wajah Masnaka yang tersenyum kembali muncul di dalam pikirannya. Suara tawa candu milik laki-laki itu seolah kembali terdengar di telinga Lengkara.
Lengkara menatap nanar perekam suara itu. Di dalam sana, ada tujuh rekaman suara Masnaka, tapi ia hanya mampu mendengar empat di antaranya.
Ia tak kuasa melanjutkan rekaman itu, hatinya teriris begitu mendengar rintihan dan tangisan Masnaka. Laki-laki yang bahkan tidak pernah sekalipun mengeluh kepadanya tentang rasa sakit, ternyata bisa menangis semenyakitkan itu.