Ghaitsa Pov.
"Pak Praka! Ini untuk bapak." Ujarku kepada Pak Praka sembari menyodorkan kotak makan berisi nasi goreng dan telur mata sapi.
Setelah shalat subuh tadi aku tak punya kegiatan apa-apa. Lagipula sudah lama juga aku tidak memasak. Ini juga sebagai ucapan terimakasih karena dia sudah menyadarkanku.
"Untuk apa?" tanyanya penasaran sambil mengernyitkan dahinya curiga. Apa dia berpikir bahwa aku akan meracuninya?
"untuk dimakan lah Pak. Tenang saya tidak memasukkan racun atau hal aneh di dalam sana." Ucapku dengan percaya diri. Dia menyunggingkan senyumnya. Entah untuk apa senyuman itu. apa dia mengejekku?
"Bapak kalau gak mau makan yaudah deh sini balikin aja." Ucapku sembari berniat merebut kembali kotak makan itu dari tangannya. tetapi dia dengan sigap mengelak dan mengangkat kotak makan itu ke udara.
"kamu tuh ya pikirannya negatif terus. Siapa juga yang mikir kalau kamu akan memasukkan racun kesini. aku kan hanya penasaran motif apa yang membuatmu sampai repot-repot memberikanku makanan. lagipula apa yang sudah diberi tak boleh diambil lagi. " ujarnya panjang lebar, aku jadi merasa malu mendengarnya.
"Itu sebagai ucapan terimakasih saya karena bapak sudah membukakan pikiran saya. terimakasih telah menunjukkan saya jalan yang semestinya saya tempuh." Ujarku jujur. Aku memang berhutang budi padanya.
"jadi sekarang kamu sudah mau menerima dan mengikhlaskan semuanya?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan pelan. Dia tampak tersenyum dan menggumamkan hamdallah.
"aku senang mendengarnya. Semua itu karena Allah, Dia lah yang membolak-balikan hati manusia." Ucapnya lagi dengan senyum yang tampak tulus. Aku jadi ikut tersenyum karenanya.
Sepulang kuliah aku menyempatkan untuk ke toko bunga dan membeli bunga mawar putih kesukaan ibu. Aku ingin berziarah ke makamnya. Biasanya aku hanya datang membawakan bunga dan mencurahkan segala isi hatiku pada beliau. Tapi sekarang aku akan membawakn doa untuknya. Padahal selama ini, doalah yang paling ibu butuhkan sekarang.
Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama ibuku. Mila amalia. Aku masih ingat jelas bagaimana wajah cantik beliau. Senyumnya yang hangat dan tutur katanya yang begitu lembut. Dia tak pernah memarahiku bahkan membentakku pun tak pernah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu menenangkan seperti aliran air hujan.
"Ibu, maafkan selama ini aku tak memberikan apa yang ibu butuhkan. Maafkan aku tak selalu menyertakan doa ketika aku mengunjungimu. Semoga kali ini doa-doaku akan sampai padamu. Tenang disana Bu, aku akan berusaha yang terbaik untuk Ibu." Ucapku terakhir sebelum aku pulang ke rumah. hari sudah semakin sore, aku bergegas meninggalkan pemakaman yang nampak sepi itu.
Sesampainya di rumah aku dikejutkan oleh kedatangan gadis kecil yang mulai kurindukan. Dia menyambut kepulanganku dengan raut wajah gembira. Dia menghambur kepelukanku ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah. dan seperti biasa, dia tak sendiri. Dia bersama Papanya dan juga perempuan cantik disampingnya yang kuduga Mama dari Briella. Ah, aku sakit hati melihat keluarga bahagia ini.
"Tante Ca, sekarang aku datang sama Mama. Aku ingin melihat ikan-ikan yang kemarin tante." Ucapnya girang. Oh kalau saja gadis kecil itu tau betapa sulitnya tersenyum disaat hati ini teriris pilu.
"baiklah. Tante ganti baju dulu ya. Nanti ikan-ikan bisa pingsan cium bau badan tante yang asem." Ujarku membuatnya tertawa lepas. Diapun mengizinkanku untuk pergi ke kamarku.
Di dalam kamar hatiku rasanya hancur sekali. yah, mereka tampak serasi. Mama Briel cantik dan Pak Praka juga tampan. Mereka juga sudah dikaruniai seorang putri yang manis pula. Aku tak mampu jika harus merenggut kebahagiaan mereka.
Tapi kenapa mereka harus datang kesini? apakah dia ingin membuatku terlihat seperti pecundang? Ataukah dia ingin menunjukkan padaku bahwa dia sudah memiliki keluarga bahagia agar aku bisa menjauh darinya. Oh, harusnya aku sudah sadar sejak aku mengetahuinya.
Aku melupakan sejenak rasa sakit hatiku itu. aku bergegas mandi dan berganti pakaian lalu turun ke bawah menghampiri mereka. Briel sudah menungguku lama.
"Yey, ayo tante kita kesana." Ujarnya sembari menarik tanganku menuju kolam ikan. aku mengambilkan makanan ikan untuknya. Dia sangat senang melihat ikan mulai bermunculan.
"Darimana saja kamu tadi? Kenapa baru sampai rumah?" tanya suara bariton seorang lelaki mengejutkanku. Dia ada tepat di belakangku, membuatku sedikit berjingkat.
"Mmm..aku dari tempat Ibu." Ujarku singkat. Lagian apa urusannya aku pulang terlambat, toh itu juga bukan urusannya.
"masakanmu enak. Kalau kamu mau membuatkannya setiap hari aku tidak keberatan." Ucapnya enteng membuatku ternganga. Apakah dia sadar mengatakan itu? bukankah dia lelaki baik-baik? kenapa dia mengatakan semua itu seperti tidak ada dosa?
"Ah, sepertinya masakan saya tidak ada apa-apanya dengan masakan istri bapak. Dan makanan itu hanya untuk hari ini saja karena rasa terimakasih saya. saya tidak mungkin lancang mengirimi makanan kepada lelaki yang sudah beristri." Ucapku mencoba memperjelas semuanya. Aku tak mau dianggap pelakor karena menggoda suami orang. Padahal niatku hanya berterimakasih saja tak lebih.
"Istri?" tanyanya bingung. Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia malah tertawa terbahak-bahak melihatku kebingungan. Apakah ada yang lucu? Sepertinya aku tak mengatakan lelucon sejak tadi.
"sebentar, tunggu disini." ucapnya lalu pergi dari hadapanku. Aku masih menatapnya bingung. Apa yang ingin dia lakukan sebenarnya?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE ( END ✅️ )
RomantikGhaitsa Athalea, seorang gadis pecinta hujan yang harus bersahabat dengan rasa sakit sedari ia kecil. Setelah kepergian ibunya dia merasa sangat kesepian dan kesedihan selalu meliputi dirinya. Bagaimana tidak, Ayahnya menikah lagi dengan perempuan y...