Cerita tentang Ibu

69 9 0
                                    

Ghaitsa Pov.

Aku merasakan sakit di bagian punggungku. Dia begitu keras mendorongku ke tembok. Perempuan itu memang tak tanggung-tanggung untuk menyiksaku. Tapi kalian tahu apa yang lebih sakit lagi? ketika melihat Ayahku tak memperdulikanku ketika aku sedang tersakiti. Kemana dia? apakah hanya Amayya yang ada dipikirannya saat ini?

"kamu ganti baju dulu ya nak. Pakai dulu baju Tiara." Ucap Tante Winda padaku. akupun menerimanya dan berniat untuk mengganti pakaianku. Tapi rasa sakit di punggungkku baru terasa. Aku tak sengaja merintih dan terdengar oleh Tante Winda.

"Kenapa Sa? Apa yang sakit?" tanyanya lagi dengan raut wajah khawatir. Akupun berkata jujur padanya. beliau pun memeriksa punggung belakangku. Dia tampak terkejut ketika melihatnya tetapi dia hanya mengatakan ingin mengambilkan salep terlebih dahulu. Akupun hanya menurut saja.

Tak lama beliau datang degnan membawa salep untuk dioleskan di punggungku. Beliau mengoleskannya dengan sangat hati-hati.

"kamu ganti kemudian istirahat ya Nak." Ucap Tante Winda padaku. aku mengangguk paham.

"Ma, bisakah temani aku tidur malam ini?" tanyaku ketika beliau hendak keluar dari kamar. Tante winda tersenyum padaku lalu mengangguk pelan. Tapi beliau ingin pamit kepada Om Hasan dahulu kalau ingin menemaninya.

Aku sudah selesai berganti pakaian. Rasanya lama sekali karena aku harus berhati-hati sekali ketik amemakainya. Digerakkan pun masih terasa sakit. Tante Winda masuk dengan membawakanku segelas susu dan biskuit.

"diminum dulu susunya biar kamu bisa nyenyak tidurnya." Ujar Tante Winda padaku. akupun meminumnya sampai tandas.

"Ghaitsa, jangan sungkan sama Mama ya, apapun masalahmu ceritakan saja. anggap saja Mama ini Ibu kamu. Jangan pernah merasa sendiri karena kami disini akan selalu ada untukmu." Ucap Tante Winda membuatku terharu. Aku langsung memeluk beliau. Tangisku pecah kembali.

Rasa sesak di dadaku sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dukungan inilah yang aku butuhkan. Bukan rasa kasihan. Disaat seperti ini yang aku butuhkan hanyalah sebuah pelukan hangat seperti apa yang dilakukan Ibu sejak dulu. Beliau akan memelukku ketika aku sedang cemas ataupun sedih.

"udah yuk tidur, kamu pasti lelah." Ajak Tante Winda padaku. aku mengangguk pelan dan ikut berbaring disampingnya. Aku tidur menyamping karena badanku sakit jika dipakai berbaring.

Tapi aku tak bisa tidur begitupun dengan tante Winda. Ia kemudian menceritakan tentang Ibu. Aku baru tau kalau Tante Winda adalah teman Ibu sejak SMA. Aku jadi bersemangat untuk mendengarkan temtamg ibu sewaktu SMA.

"ibumu itu murid teladan di sekolah. Dia tak pernah bolos, tak pernah mencontek, pokoknya tak pernah berbuat hal yang menyeleweng. Dia juga taat dalam beribadah. Dia ikut organsisasi kerohanian di sekolah kami dulu. Aku selalu mengajaknya untuk bolos tapi dia malah balik menasihatiku. Banyak kisahku dengan dia. bahkan ketika lulus pun ternyata kami masih bertemu. Dia menikah dengan Fais dan aku menikah dengan Hasan. Suami kami juga berteman akrab. Kami pun sering berkumpul bersama. Sewaktu kelahiran kamu pun Mama ada disana. aku gendong kamu dan menimangmu." Ujar Tante Winda membuatku larut dengan ceritanya. Aku selalu senang mendengarkan cerita tentang Ibu.

"ibumu mirip sepertimu Sa, dia baik dan lembut. Dia juga selalu mengedepankan kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. Mila sudah mendidikmu dengan sangat baik. kamu tumbuh dengan kasih sayangnya sehingga kamu menjadi perempuan yang tulus dan penyayang. Sekarang kamu akan menjadi anak Mama. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada itu nak." Ucapnya membuatku tersenyum penuh haru, beliau memang paling bisa membuatku menitikan air mata lagi.

Mungkin karena sudah lelah, tak lama akupun mulai terlelap. Aku ingin sejenak melupakan masalah yang ada. Tidur membuat aku berhenti memikirkan segalanya. Dan satu doaku, semoga aku bertemu ibu, walau hanya dalam mimpi.

Aku terbangun ketika mendengar Adzan Shubuh. Aku juga melihat Tante Winda sudah tidak ada di sampingku. Aku mendengar suara orang mengobrol di bawah. Mungkin saja itu Om Hasan yang hendak pergi ke masjid.

Tak lama pintu pun terrbuka. Tante Winda tampak terkejut melihatku yang sedang mengumpulkan semua kesadaranku.

"Loh kamu sudah bangun Sa, maaf ya Mama tadi ke kamar dulu menyiapkan Papa yang ingin berangkat ke masjid." ujar Tante Winda padaku. akupun mengangguk paham. Aku jadi merasa tak enak padanya.

"maaf ya Ma, aku malah ngrepotin semua." Ujarku merasa bersalah. Tante Winda langsung menggeleng keras.

""Kamu tidak merepotkan siapapun nak. Sudah ayo kita shalat subuh dulu." Ajaknya padaku. aku beranjak dari ranjang dan mengikuti Tante winda untuk mengambil wudhu di kamar mandi.

Usai shalat Tante mengajakku untuk memasak di dapur. Beliau memang tak mempekerjakan ART. Beliau bercerita jika sejak dulu tak pernah menggunakan ART, semua pekerjaan rumah dikerjakan sendirian. beliau ingin menjadi ibu rumah tangga yang bertanggungjawab penuh di rumah.

"Dulu Mama kuliah juga, sudah sarjana juga, tapi Papanya anak-anak sudah melamar terlebih dahulu. Mau tak mau Mama menerimanya. Toh ini juga ibadah." Ucap Tante Winda bercerita.

"apakah tidak sayang gelar sarjana itu kalau hanya jadi ibu rumahtangga Ma?" tanyaku dengan hati-hati takut membuatnya tersinggung. Tapi beliau tetap tersenyum menjawabnya.

"Tidak ada yang perlu disayangkan Nak. Memangnya apa salahnya dengan ibu rumah tangga? Pekerjaan itu memang selalu dianggap rendah padahal menjadi IRT adalah pekerjaan yang mulia. Coba bayangkan saja, dari pagi sampai malam kita terus bekerja mengurus rumah, mengurus suami dan anak tanpa henti. Pekerjaan itu tanpa libur dan tanpa gaji. Tapi Allah sangat memuliakan hal itu. dijadikannya ladang pahala bagi perempuan yang menjadi ibu rumahtangga. Lalu ilmu yang telah kau dapatkan di perguruan tinggi bisa digunakan untuk mengajari anak-anakmu nanti. Tak akan ada yang sia-sia kan ?" Aku mengangguk mendengar pertanyaannya yang terkahir. Sungguh Tante Winda selalu bisa mengubah cara pikirku. Coba saja semua perempuan berpikiran seperti Tante Winda, pastinya tak ada yang meremehkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga

"benar banget Ma. Coba aja semua perempuan berpikiran seperti Mama pasti tak ada yang saling menjatuhkan hanya karena masalah pekerjaan, padahal kan semua sudah pada tempatnya masing-masing." Ucapku pada Tante Winda. Beliau mengangguk setuju padaku.

"daripada kita mencari-cari yang seperti itu kenapa bukan kita saja yang menjadi perempuan yang berpikiran terbuka seperti yang kamu sebutkan tadi. Daripada mengharapkan oranglain yang melakukannya lebih baik kita yang intropeksi diri dan menjadi perempuan itu." ucapnya membuatku tertegun. Aku merasa tertampar sendiri ketika mendengarnya. Ya, kenapa manusia selalu mencari terbaik tapi lupa untuk menjadi yang terbaik pula. 

***

Thanks for reading :)

PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang