Rencana pernikahan

97 11 0
                                    

Praka Pov.

"Istri?" tanyaku padanya. dia mengangguk lalu akupun spontan tertawa. 

Bagaimana mungkin dia menganggap kak Tiara adalah istriku. Apakah mungkin dia mengira Briel juga benar-benar anakku?

"sebentar, tunggu disini!" ucapku padanya. 

aku berjalan menghampiri Kak Tiara yang sedang mengobrol di ruang tamu dengan Om Fais. Aku izin sebentar untuk mengajak kak Tiara pergi bersamaku.

"ada apa sih Ka?" tanya Kak Tiara penasaran. Tapi aku menyuruhnya untuk diam saja dan melihat apa yang akan kulakukan.

"Kak coba perkenalkan dirimu pada Ghaitsa. Sepertinya dia salah paham dengan kita." Ucapku pada Kak Tiara setelah sampai di kolam ikan bersama Ghaitsa dan Briella. Wajahnya nampak panik dan gugup.

"Hai Ghaitsa, aku Tiara. Aku kakaknya Praka. Dan aku ibu dari Briella. Apa itu cukup Praka?" tanya Kak Tiara padaku. akupun mengangguk puas. Aku bisa melihat raut wajah terkejut milik Ghaitsa. Dia nampak tak percaya dengan apa yang terjadi.

Karena aku kasihan melihatnya kebingungan aku ceritakan saja semuanya. Bagaimana Briella bisa menyebutku papanya. Dia nampak tercenung setelah mendengarkan ceritaku. Aku pikir dia tau semua tentangku, mengingat dia sudah lama mengejar-ngejarku. Ternyata dia hanya iseng dan tak serius dengan semuanya.

"jadi kalian saudara kandung?" tanyanya dengan nada tak percaya. Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku melihat dia menunduk malu karena sudah salah paham seperti ini.

Setelah itu kak Tiara kembali meninggalkan kami karena masih ingin mengobrol dengan Om Fais. Sebenarnya kedatanganku kesini untuk mengantar Kak Tiara bertemu dengan Om Fais. Dia ingin belajar bisnis banyak dengan beliau. Om Fais sudah berkecimpung di dunia bisnis sejak usianya dua puluh tahun. Beliau begitu kompeten dan pekerja keras. Oleh karena itu beliau selalu menjadi panutan pengusaha-pengusaha muda seperti kakakku itu.

"Apakah kamu merasa lebih tenang sekarang?" tanyaku padanya memecah keheningan diantara kami. Dia tersentak mungkin terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Tapi kemudian ia menjawabnya dengan tenang.

"Ya, aku kembali menemukan hal yang selama ini hilang dalam hidupku. Aku seperti menemukan cahaya yang dulu redup. Aku salah dan aku ingin memperbaiki semuanya sekarang." ucapnya dengan mata yang menerawang jauh ke depan. Aku bisa melihat ia tersenyum walau samar.

"syukurlah. Aku harap kamu bisa terus berjalan mengikuti cahaya itu. aku harap yang terbaik untukmu." Ucapku tulus. Dia menatapku dan tersenyum lembut padaku.

"jadi masih ada nasi goreng besok?" tanyaku padanya dan dia hanya menjawabnya dengan tawa.

Tak lama Tante Sarah menghampiri kami dan mengajak Ghaitsa untuk membantunya di dapur. Ghaitsa pun tak menolak dan ikut bersama Mama tirinya. Aku masih bisa melihat raut tidak suka di wajahnya. Ada apakah sebenarnya dengan mereka?

"Hai Kak, sudah lama?" tanya seorang perempuan menghampiriku dan Briella. Dia adalah Amayya, adik tiri dari Ghaitsa.

"Hai May, sudah lumayan. Kamu baru pulang?" tanyaku berbasa-basi padanya. dia mengangguk sebagai jawaban.

Kemudian dia mencoba mendekati Briel dan mengajaknya mengobrol tetapi Briel tak mau dan menepis tangan Maya yang ingin mengajaknya bersalaman. Aku memperingatkan Briel untuk tidak bersikap seperti itu tapi Briel malah mengatakan bahwa Maya Tante jahat. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Briel bisa mengatakan hal yang demikian?

"Maaf Maya, dia memang suka ngawur seperti itu." ucapku merasa bersalah pada Maya. Dia tersenyum dan mengangguk.

Maya terus mengajakku mengobrol. Dia menceritakan apapun tentang dirinya. dia begitu menonjolkan dirinya padaku tapi aku tak menghiraukan hal tersebut. Aku hanya mendengarkannya sambil lalu.

Gadis itu memang berbeda dengan Ghaitsa. Dia terlihat berlebihan. Sikap polosnya seperti dibuat-buat. Dia gadis yang baik tapi ada rasa yang mengganjal setiap kali melihatnya. Apalagi sorot matanya yang tajam seperti mengisyaratkan sesuatu.

Untung saja Tante Sarah segera mengundang kami untuk makan. aku mengajak Briel untuk cuci tangan terlebih dahulu kemudian berjalan ke meja makan. seperti biasa Briel menyusul Ghaitsa dan duduk di pangkuannya.

"sini Papa pangku saja ya. Kasihan tantenya." Ucapku mencoba membujuk Briel. Tapi dia menggeleng kuat.

"aku mau disuapin tante Ca." Ucapnya bersikeras.

"yasudah, Papa yang pangku biar Tante yang suapin. Gimana?" tawarku yang akhirnya disetujui oleh Briella. Akhirnya aku duduk disamping mereka. aku melihat Ghaitsa cukup canggung berhadapan denganku sedekat ini. ia hanya berani menatap Briella tak mau melihatku.

"Tante Ca, Papa juga disuapi. Dia pasti lapar." Ucap Briel membuat kami berdua terkejut. Aku menatap Ghaitsa salah tingkah dan tak tahu mau berbuat apa.

"Papa kan bisa makan sendiri. Kamu saja yang disuapi yah." Ucapku mencoba membujuk Briel kembali. Tapi entah kenapa gadis kecil itu begitu rewel hari ini. dia merengek jika keinginannya tidak segera dikabulkan.

"Ayo Tante suapi Papa. Aku tidak mau makan kalau papa tidak makan." ucapnya merajuk. Aku menatap Ghaitsa dengan tatapan memohon. Dia sudah putus asa juga tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dia menyendokkan nasi dan lauk pauk itu ke mulutku. Briel berjingkat senang di pangkuanku. Ah dasar anak itu.

"Ehmm..melihat mereka membuat saya ingin mengubah status rekan kerja kita menjadi keluarga Om. Apakah anda sependapat dengan saya?" ucap Kak Tiara membuatku tersedak makananku. Dengan cepat Ghaitsa mengambilkan air putih padaku. aku mengucapkan terimakasih padanya.

"Ya, kenapa tidak. Semua bisa diatur Tiara." Ucap Om Fais dengan senyumnya yang lebar. Awas saja nanti di rumah Kak. Lagipula ini semua karena menuruti keinginan anaknya. Oh apa jangan-jangan dia lah yang menyuruh Briel melakukan hal ini?

"saya permisi dulu." Ucap seseorang kepada kami ditengah makan malam ini. Amayya tampak kesal bahkan dia menyentak meja cukup kuat. Kami pun tercenung dibuatnya. Ada apa dengannya?

"Maaf, dia sedang datang bulan jadi moodnya suka berubah-ubah. Mohon dimaklumi." Ucap Tante Sarah membela putrinya. Kamipun melanjutkan makan malam itu.

"Terimakasih atas waktu dan makan malamnya Om. Mungkin lain kali kita kesini bukan hanya untuk mengobrolkan bisnis tapi juga tentang kelanjutan tawaran saya yang tadi." Ucap Kakakku ketika berpamitan kepada Om Fais. Aku melihat Om Fais tampak tersenyum mendengar ucapan kakakku tadi.

"dengan tangan terbuka Om akan menunggu kedatangan itu." ucap Om Fais dengan serius. Ah,kakak memang aneh. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi selain menahan malu karenannya.

"Terimakasih ya Ghaitsa sudah membantu mengurus Briell." Ucapnya pada Ghaitsa.

"Iya kak sama-sama." Jawab Ghaitsa dengan sopan. Briel sudah dulu tertidur di mobil karena kelelahan bermain. Setelah makan tadi mungkin dia kekenyangan dan tertidur di sofa. Aku saja tak tahan melihat wajah gemasnya ketika tertidur.

Aku menatap Ghaitsa sejenak. Ia menunduk ketika mendapati aku sedang menatapnya intens. Aku tersenyum lalu berpamitan padanya. mungkin ia masih malu karena masalah tadi.

"Ka, gimana istikharah kamu?" tanya Kakaku ketika kita di mobil. Aku melemparkan senyum padanya.

"doakan saja yang terbaik untukku Kak." Ujarku pada Kak Tiara. Dia mengangguk dan tersenyum padaku.

"fyi aja nih Ka, kalau kamu menikah dengan Ghaitsa bukan kamu aja yang bahagia, tapi Briel, aku, mama dan papa juga. Kami semua mendukungmu Ka. Dia perempuan yang baik dan dari pertemuan pertama saja aku sudah tau kalau dia pantas jadi istrimu." Ujar kak Tiara lagi. apakah ini petunjuk dari Allah. Keyakinan ini sudah kudapatkan. Aku harus segera membicarakannya dengan Papa dan Mama.

***

Thanks for reading yaww..


PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang