Hurt

97 11 0
                                    

Ghaitsa Pov.

"Ayo kak Sarapan dulu." Ajak Amayya ketika melihatku turun dari kamarku. Akupun mengangguk dan duduk disampingnya. Aku melihat Papa sedang asyik telpon dengan seseorang. Kenapa sepagi ini sudah menerima telepon?

"Kita harus bersiap-siap untuk nanti malam." Ucap Papaku begitu bersemangat. Raut wajahnya nampak gembira tapi aku tak tahu apa penyebabnya.

"Kenapa Pa? Ada apa?" tanya Perempuan itu dengan antusias.

"nanti malam Pak Hasan dan keluarganya akan datang kerumah dan melaksanakan acara lamaran. Kita harus persiapkan segalanya mulai dari sekarang. pesan cathering atau apapun untuk acara nanti malam." Ujar Papa bersemangat. Tapi Wait, Lamaran? Apakah aku tidak salah dengar? Lalu siapa yang akan dilamar?

"Maya kita harus bersiap-siap membeli gaun yang bagus. Acara malam ini kamu harus terlihat sempurna. Agar Pak Praka nanti bepikir bahwa ia tak salah memilihmu menjadi istrinya." ucap Perempuan itu membuatku muak. Sungguh aku ingin menutup mulutnya dengan sepatu converse milikku.

Aku tercenung dengan obrolan mereka. Bagaimana mungkin Amayya bisa dengan pak Praka? Apakah ini adil? Tapi memangnya aku ini siapa? Aku sadar bahwa aku tak berhak untuk melarangnya atau menentangnya melamar siapapun.

"Kak, are u okay?" tanya Amayya padaku. I'm not okay May. I'm hurt.

"I'm okay May. Never mind." Ucapku dengan menampilkan senyum terbaikku. Aku beranjak dari sana. Aku sudah tidak berselera lagi meneruskan sarapanku.

Sampai di kampus aku hanya berharap tidak bertemu dengan lelaki itu. betapa sulitnya aku menahan rasa sesak di dada ini mendengar lamaran itu. apakah dia tak menghiraukan sedikitpun tentang perasaanku. Apa dia pikir aku hanya bercanda selama ini.

Harus kemanakah aku malam ini? rasanya aku tak kuasa menyaksikan acara lamaran itu. Keara. Haruskah aku lari ke tempatnya saja?

"Ghaitsa." Sapa seseorang padaku. aku menoleh kearahnya dan terkejut setelah menyadari siapa dia. Kenapa dia tiba-tiba ada disini?

Aku sedang malas dengannya jadi kuputuskan untuk pergi menghindarinya kalau tidak mungkin aku akan menangis saat itu juga. Hal ini tak mudah bagiku. biarlah aku menjadi pengecut dengan terus menghindar tapi aku tak ingin dia tau betapa lemahnya aku karenannya.

"Ra, malam ini aku ke rumahmu ya. Aku bosan di rumah." ucapku to the point pada Keara. Dia yang masih asyik menikmati soto nya pun menatapku bingung.

"ada masalah apa Sa?" tanyanya seakan tau kalau ada masalah besar yang sedang kuhadapi. Apalagi itu masalah hati.

"nanti aku ceritakan di rumahmu saja Ra." ujarku yang dijawab anggukan paham oleh Keara. Dia melanjutkan makan sarapannya dan aku kembali memikirkan lamaran itu.

Sebelum ke rumah Keara aku mengirimkan pesan kepada Ayah kalau aku menginap di rumah Keara malam ini. setelah itu aku mematikan ponselku agar tidak ada yang menganggu. Biarlah acara itu berjalan dengan lancar, aku tak ada niatan untuk menggagalkannya ataupun menganggu acara mereka.

"katanya mau cerita?" tanya Keara mengingatkanku tentang janjiku tadi. Akupun menarik napas sejenak sebelum menceritakan semuanya pada Keara. Mungkin ia akan terkejut mendengar ceritaku nanti. Bahkan mungkin ia juga tak akan percaya dengan apa yang akan kuceritakan.

Aku menahan air mata ini agat tidak menetes tapi aku tak bisa. Aku menangis di depan Keara. Dia memelukku erat mencoba menenangkanku. Aku sebenarnya ingin terlihat kuat tetapi ternyata aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Hatiku sakit, teramat sakit.

"Sa, aku yakin kalau semua ini sudah takdir dari Allah. Kalau kalian memang belum berjodoh, Allah pasti akan siapkan yang lebih baik untukmu. Kamu boleh bersedih hati tapi jangan berlarut-larut ya." Ujar Keara menenangkanku. Ya, aku harus bisa bangkit dari semua ini. aku tak mau sakit hati karenanya.

Tak lama suara ponsel Keara berdering. Ia mengangkat telpon itu. dia tampak menatapku bingung.

"siapa Ra?" tanyaku pada Keara setelah ia menutup teleponnya.

"Ayahmu Sa, dia memintamu untuk pulang kalau tidak dia sendiri yang akan menjemputmu kesini. bukankah kamu lebih baik pulang Sa, bukannya aku mengusirmu tapi aku mendengar nada suara Ayahmu terdengar memohon tadi agar kamu ada disana." Keara memintaku dengan sungguh-sungguh. Akupun tau hal itu, apakah aku bisa bertahan disana nantinya?

"Ra, apa aku bisa kuat disana nanti? Aku tak mau menangis di depan mereka Ra." ucapku putus asa. Keara memegang bahuku lalu menatapku intens. Dia meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

"apa perlu aku temani Sa?" tanya Keara padaku. aku berpikir sejenak, tapi aku merasa tak enak bila merepotkan Keara terus menerus.

"tidak perlu Ra, aku akan pulang sendiri. Terimakasih ya atas bantuanmu padaku." ucapku tulus. Dia mengangguk lalu tersenyum menyemangatiku.

"kabari aku apapun itu ya Sa." Ucap Keara sebelum aku meninggalkan rumahnya. Aku mengangguk padanya lalu berjalan kearah motorku.

***

Thanks for reading :)

PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang