Happen for a reason

94 6 0
                                    

Author POV

Sebagai calon orang tua baru tentunya Ghaitsa dan Praka merasa excited sekaligus khawatir. Mereka selalu berhati-hati dalam melakukan segalanya. Terutama Praka. Lelaki yang dulu terkenal dingin dan tak banyak bicara kini berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menjadi lelaki yang cerewet dan selalu melarang istrinya melakukan banyak hal. Padahal Ghaitsa tahu bahwa apa yang dilakukannya masih dalam batas aman.

Seperti saat ini, Ghaitsa hanya membereskan rumah seperti biasa tapi Praka melarangnya dan hanya meminta istrinya untuk duduk. Jujur saja perempuan itu pasti bosan hanya di rumah tanpa melakukan apapun.

"Sayang, kamu kenapa kok nangis? Ada yang sakit? Atau ada yang ganggu kamu?" Tanya Praka khawatir ketika melihat istrinya tiba-tiba menangis. Ghaitsa pun menggeleng pelan sebagai jawaban. hal itupun membuat suaminya kebingungan.

"Lalu kenapa?" Tanya Praka lagi

"Aku pengen bebas ngelakuin apa aja kayak dulu Mas. Kamu tuh sadar gak sih terlalu mengekang aku. Kata dokter tuh aku masih boleh beraktifitas asalkan tidak yang berat-berat. tapi kamu terus saja melarangku melakukan ini dan itu. Lama-lama aku bisa stres kalo Cuma diem aja. Tolong dong kamu ngertiin aku." Ujar Ghaitsa mencurahkan segala isi hatinya sembari menangis terisak. Biasanya Ghaitsa tidak seperti itu, namun karena hormon ibu hamil jadi dia berubah menjadi sensitif dan emosional.

"Sayang, maafkan aku ya. Aku terlalu khawatir pada kalian sampai-sampai aku bertindak egois seperti ini. Maafkan aku Ghaitsa, aku tak akan melarangmu lagi. kamu boleh melakukan apapun asalkan jangan yang membahayakan kalian." Ujar Praka sembari memeluk istrinya erat dan mengusap punggungnya lembut untuk menenangkan.

"Beneran ya?" Tanya Ghaitsa mencoba mengkonfirmasi lagi.

"Iya sayang. Udah jangan sedih lagi, oke? Gimana kalau kita jalan-jalan deh biar kamu gak suntuk di rumah." Usul Praka yang langsung dijawab anggukan gembira oleh Istrinya.

 Dia berubah menjadi senang dalam sepersekian detik. Memang mood ibu hamil susah sekali di tebak. Tapi Praka bersyukur bisa mengembalikan senyum istrinya itu.

Mereka pun menghabiskan waktu dengan berkeliling ke taman yang menurut mereka bagus untuk dikunjungi. Disana mereka bisa melihat pemandangan yang hijau yang tentunya memanjakan mata. Apalagi disana juga banyak keluarga yang sedang bertamasya. Mereka senang melihat anak-anak kecil berlarian dengan gembiranya. Melihat hal itu mereka pun membayangkan bahwa mereka akan seperti itu suatu saat nanti.

"Nanti kalau anak kita lahir, aku akan mengajak kalian kesini lagi. Kita akan bertamasya disini. Just three of us." Ujar Praka dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan lagi.

"Iya Mas, dia pasti suka deh. Ah jadi gak sabar pengen ketemu dedek bayinya." Ujar Ghaitsa dengan mata berkaca-kaca. Padahal suasananya tidak begitu sedih tapi dia begitu mudah menangis.

"Kenapa kamu mudah sekali menangis akhir-akhir ini." Gumam Praka sembari menggelengkan kepalanya heran.

"Entahlah, temanku bilang itu hormon ibu hamil. Aku juga tidak tahu kenapa bisa sensitif seperti ini. Maaf ya mas kalo kedepannya aku akan merepotkanmu. Maaf juga kalau nantinya aku tidak sengaja emosi atau mengatakan hal yang buruk padamu." Ujar Ghaitsa membuat Praka menggeleng cepat.

"Aku akan memakluminya Sayang. Tanpa kamu minta aku akan terus memahamimu. Aku yang akan berusaha lebih baik untuk menjaga dan memperhatikanmu, agar kekhawatiaranmu itu tidak terjadi. Kita bisa lewati ini bersama." Ujar Praka sembari merangkul bahu istrinya erat. Ghaitsa mengangguk sembai tersenyum tulus kearah suaminya.

Baru saja suasana terbangun dengan romantis. Tapi tiba-tiba saja sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel Ghaitsa. perempuan itu nampak menatap bingung kearah suaminya karena panggilan dari nomor tak dikenal itu.

"Angkat saja, siapa tahu penting." Ujar Praka memberi solusi. Hal itupun dijawab anggukan mengerti oleh istrinya.

"Halo, Assalamualaikum. Dengan siapa ya ini?" Tanya Ghaitsa dengan sopannya. Dia pun mendengarkan dengan seksama perkataan orang di seberang telepon.

"Astaghfirullahaladzimm. Baik kami akan segera kesana. Terimakasih Sus." Ujar Ghaitsa terkejut ketika mendengar kabar yang disampaikan oleh penelepon. Praka pun ikut panik mendengar suara cemas dari istrinya itu.

"Ada apa Sayang?" Tanya Praka pada istrinya yang terlihat panik dan cemas itu.

"Maya masuk rumah sakit mas. Dia sekarang di rawat di ICU. Ayo kita segera kesana." Ajak Ghaitsa dengan nada terburu-buru. Praka pun tak bertanya lagi dan langsung menuntun istrinya ke mobil.

"Kamu tenang yaa Sayang, Maya pasti baik-baik saja." Ujar Praka sembari menggenggam erat tangan istrinya yang terasa dingin karena rasa cemas yang berlebihan.

Praka berusaha untuk menenangkan istrinya agar tidak terlalu cemas dengan keadaan adik tirinya itu. Praka heran dengan istrinya itu, ketika dia tahu adiknya adalah pembuat masalah di kehidupannya namun dia tetap mau memaafkannya. Bahkan dia sangat peduli padanya. Dia baru menyadari bahwa istrinya memiliki hati yang tulus. walaupun di luar dia terlihat cuek dan galak tapi ketika dia sudah sayang maka seburuk apapun orang itu dia akan tetap memperdulikannya.

Sesampainya di rumah sakit mereka langsung bertanya pada suster ruangan tempat Maya di rawat. Setelah diberitahu mereka pun langsung ke ruang ICU. Praka dan Ghaitsa langsung diberitahu suster untuk menemui dokter yang menangani Maya. Merekapun bergegas kesana.

"Jadi keadaan bu Mayya sekarang masih belum stabil. Dia meminum pil penenang dalam kadar yang berlebihan. Saya pikir dia mengalami kecemasan yang berlebihan dan rasa stress yang membuatnya melakukan hal-hal yang diluar kendalinya. Setelah minum obat itu dia berkendara hingga menyebabkan kecelakaan itu." Jelas dokter membuat pasangan suami istri itu membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Rasa prihatin seketika memenuhi hati mereka. Ghaitsa merasa sedih adiknya melakukan hal itu. dia tak tahu masalah apa yang sedang dilanda Maya hingga menyebabkan ia melakukan hal tersebut.

"Apa dia bisa pulih kembali dok?" Tanya Ghaitsa dengan nada khawatir

"Dia bisa pulih kembali setelah menjalani beberapa terapi nantinya. Saya sarankan setelah sadar nanti dia dibawa ke psikolog untuk mendapatkan penanganan secara mental." Ujar dokter itu yang dijawab mereka dengan anggukan mengerti.

Setelah selesai berbincang dengan dokter, Mereka pun kembali ke ruang ICU untuk menemui Amayya yang masih terbaring lemah disana. Ghaitsa tak pernah sekalipun membenci Amayya. Seburuk apapun dia tetaplah adiknya. Walaupun hanya adik tiri tapi Ghaitsa tak tega jika melihat Amayya seperti itu.

***

Thanks for reading gaisss :))

PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang