Tak terasa dua hari berlalu dibumbui percekcokan dengan pemuda bolot yang masih saja meladeni cerocosku sembari tangannya sibuk menganyam bambu sebagai pagar tempat tinggal kami. Ia tak pernah lelah berdebat denganku meski dua hari itu ia absen tidur demi merampungkan rumah sederhana yang kurasa boleh disebut gubuk—tanpa bermaksud menghina si pembuatnya—dengan atap dari ijuk bercampur jerami. Ia cukup piawai untuk memanfaatkan bambu menjadi sebuah sudung yang sangat membantu kami untuk meneduhkan diri.
Kakiku belum pulih sempurna, tetapi lebih baik dari kemarin. Tak kuatir terkilir lagi meski nyerinya membuatku masih terpincang.
Ia menuntunku memasuki sudung karena lembayung sudah usai, kemudian ia menggelar kain bermotif bunga yang sobek di tiap sudutnya. Aku tak peduli barang itu curian selagi menguntungkanku dalam melangsungkan hidup di masa pelik ini.
"Mulai kini, kau dilarang keluar gubuk." Wira seenak jidat mengaturku seraya memejamkan mata. Keringat membasahi surainya yang legam lagi lebat.
"Kenapa?"
"Kau bertanya kenapa? Coba pikir, apa kesan dari lelaki asing jika bertemu dengan gadis dalam masa pingitan?"
“Aku akan buang air di sini jika tak boleh keluar,” tukasku seraya bersedekap.
“Terserah.”
Aku bungkam, mengalah untuk tidak mendebatnya karena tak mampu membalas ucapan yang selalu menjengkelkan. Aku hanya mengerling sinis meski ia terpejam. Sewalnya, aku terpukau akan garis mukanya. Kurasa wulan masih badar karena aku bisa melihat sekitar dengan jelas. Terutama paras yang tampak menyunggingkan senyum tipis—amat tipis—di bawah kumis yang lebih lebat dari yang terakhir kulihat.
"Sebenarnya banyak yang mau kutanyakan tentang dirimu. Dari mana kau berasal? Kenapa tidak memakai kemban atau kebaya? Kenapa berkeliaran di hutan hingga tidur di pinggir jembatan terinjak-injak orang? Siapa orang tuamu?" Kutelan pertanyaan itu tanpa ambil pusing untuk menjawab. Membuat Wira kembali berkata, "Nah, rupanya kau ikutan jadi bolot. Sungguh mencurigakan."
Aku pura-pura terlelap, sedikit membuka mulut hingga menciptakan iler untuk mendukung sandiwaraku. Kudengar Wira berdecak kemudian melangkah keluar sudung.
Setelah tak terdengar langkahnya, aku beranjak lalu memijat punggungku yang nyeri akibat kerasnya tanah tempatku berbaring. Aku mengintip dari celah pagar bambu, memastikan Wira masih di sekitar sini.
Wajahku membara, memergoki punggung telanjang nan lebar milik Wira yang tengah mandi di kali. Langkahku makin ke belakang, tak sadar menekuk pergelangan yang baru mau pulih. Pekikan menggema dari dalam sudung, dan kusesali diriku sendiri yang merasakan akibat dari mengintip orang mandi.
Pemuda yang masih bertelanjang dada itu tergopoh-gopoh masuk sudung, kemudian memijat kakiku. Tak tahan akan nyeri yang teramat menjalar, aku memukul-mukul tangannya yang mengotak-atik sumber linuku.
"Jangan banyak gerak! Ingin cepat sembuh tidak?" tanyanya nyelekit.
"Ini gara-gara kamu, tahu?!" sergahku.
"Kurang ajar." Caranya merajuk membuatku keki. Ia minggat begitu saja tanpa memikirkan bagaimana nasibku jika ditinggalnya. Aku tak bisa beranjak. Tak bisa mencari makan. Bahkan beberapa hari ini aku tak mandi karena kaki nyeri jika bergerak barang sejengkal. Dasar cecunguk, batinku. Sampai hati ia berkali-kali mencampakkanku. Tak paham ia jika aku takut pada kegelapan tengah malam.
Kupanggil-panggil Wira si cecunguk, si bolot itu dengan amarah tertahan di benak. Awas saja jika ia kembali, sudah kurangkai kalimat pedas yang bakal menyentil batinnya, kalau saja ia tak terlampau bebal. Namun, yang ada malah burung hantu—atau jenis yang lain—yang menyahut. Suaranya tak enak didengar, membuat bulu roma berdiri. Aku mencoba menenggelamkan kicau parau itu dengan cerocos tak jelasku, tetapi masih saja kicauan itu nyaring di pendengaranku.
Tak tahan lagi ketakutan bersarang di badan, keluar menjadi sebuah teriakan nyaring meminta tolong. Keringat dingin sebesar biji jagung bergulir dari pelipis, jantungku berdebar tak keruan sampai pelipisku rasanya ikut berdenyut.
"Kau mengundang bahaya?" Sosok yang bakal kucecar dengan makian paling kasar itu menampakkan diri di ambang pintu sembari menenteng periuk dan seikat padi.
Mataku membelalak amat lebar, gigiku bergemeletuk akibat rahang yang mengatup keras. Kuraup tanah dan kerikil di dekatku kemudian melemparnya tepat di muka angkuh itu.
"Apa kau tak punya kesenangan selain meninggalkanku?!" Air mataku berduyun-duyun membentuk anak sungai, padahal aku tak menghendakinya—Wira pasti menganggapku perempuan cengeng setelah ini. Lambat laun aku terisak, mengurungkan niat untuk memakinya karena bakal memalukan jika memaki sementara suara tersendat oleh isakan.
Selagi aku terisak, Wira tampak tak begitu peduli. Ia berbaring di sisiku yang duduk berselonjor, kemudian ia memejamkan mata.
“Tak suka aku padamu, Wira. Aku benci. Jika kakiku sudah sembuh, tak sudi aku dekat-dekat cecunguk macam dirimu,” cercaku pelan setelah menenangkan diri.
Tetap terpejam, Wira tampak mendengus. “Terus kau mau jadi apa? Gundik tuan-tuan Belanda yang sudah uzur?”
Aku tercengang dibuatnya. Lidahnya lebih licin dari ibu-ibu penggosip di sekitar tukang sayur. Ia lebih tak bisa menyaring ucapannya yang membuatku makan hati, sebab ucapan adalah doa. Aku tahu apa itu gundik, perempuan hina simpanan tuan Belanda. Amit-amit. Tak mau aku jadi salah satunya. Kegadisanku takkan kuberikan pada pria yang sudah uzur! Sungguh, Wira keterlaluan berkata seperti itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/307828663-288-k987789.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wiyata Saujana
Historical Fiction~Ambassadors Pick 2024~ Ada rahasia besar yang tak diketahui Jasrin. Rahasia yang menjadi penyebab ia hirap ditelan waktu dan menjalani kodrat sebagai pemuas nafsu. Disaksikannya rakyat Hindia Belanda yang berjuang menjalani keseharian mereka di ten...