11. Hari Sial

667 79 12
                                        

Wira memulai langkah baru di kota dan meninggalkan sudung di tepi kali yang dibuatnya dengan upaya tak main-main. Adji yang murah hati mau berbagi tempat tinggal untuk sahabat masa kecilnya itu, meski Wira bersikeras menepis bantuan yang membuatnya tak langsung merasa seperti pecundang.

"Anggap saja balas budi. Di masa lalu, ibumu sering mengganti popokku." Memang, dahulu ibu Adji lebih sibuk mengurus kedua bayi kembarnya yang merupakan adik Adji, sementara ayahnya sibuk mengurus pekerjaan sebagai bupati. Maka dari itu, Adji yang suka mengompol sering mengunjungi rumah Wira yang hanya beberapa langkah dari tempat tinggalnya, dan ibu Wira menyayanginya seperti anak sendiri.

Karena kehabisan cara untuk menolak, pribumi itu pun mengiakan untuk tinggal di rumah yang terletak di belakang gedung bupati. Ia pun akan mendapat pekerjaan atas usul Adji untuk merumput, yang kemudian diserahkan kepada bangsawan yang punya kambing atau sapi.

Mencari informasi di kota tak terlalu sulit. Hanya beberapa hari saja ia mendengar di mana Jasrin berada. Hatinya sedikit nyeri mengetahui perempuan berdarah Jepang itu telah menjadi milik Meneer.

Wira cuma mengandalkan kesabaran menunggu waktu yang tepat untuk menemui Jasrin. Sembari menunggu saat yang tak pasti itu, ia menekuni pekerjaan barunya yang tiap hari memanggul rumput.

Pada hari Jumat Pon—itu adalah hari naas-nya, ia mencari rumput yang makin berkurang sampai ke lereng gunung. Rumput di sana pun banyak yang mengering. Hanya ada gerombolan rumput yang masih segar di balik pohon jambu biji. Namun, ia harus melewati pinggir tebing yang di bawahnya terdapat sungai berbatu. Hari itu, nasib baik tak memihaknya, ia terpeleset dan menggelundung jatuh sampai di jalan setapak kecil di atas sungai.

Seburuk apa pun nasib menghampiri, masih untung ia tak bablas ke sungai yang penuh batu itu. Jika sampai di sana, mungkin kepalanya akan remuk.

Dengan muka berlumur darah, Wira masih kebingungan kenapa ia bisa sampai di bawah. Pemuda itu bangun dan mengelap wajahnya, membuat luka di dahi dan hidungnya lebih menganga. Ia masih linglung sampai seorang wanita berkerudung biru yang memegang tali rumput berteriak histeris melihat pemandangan itu. Wanita itu berteriak meminta tolong sebelum seorang pria datang dan menuntun mereka ke tempat yang lebih aman.

Warga lain berdatangan. Ada yang mencari becak, memberi Wira minum, ada pula yang masih sempatnya mencecar Wira dengan berbagai pertanyaan. Beberapa yang penasaran menengok tempat Wira mendarat, dipenuhi bercak darah serupa bekas sembelihan kambing.

Tak lama, becak datang dan Wira dibawa ke klinik bersama seorang pria yang pertama kali membantunya.

***

Aku tak kunjung berminat untuk beranjak dari beranda rumah, masih menikmati renungan nasibku yang seperti mimpi. Pembantu Lark yang bernama Mbok Sal itu juga duduk di seberang meja bundar tempat meletakkan roti jahe yang sangat asing bagi lidahku. Kuseruput teh panas sementara jenuh mendengarkan Mbok Sal yang menceritakan pengabdiannya di rumah megah ini sejak Lark belum lahir. Rupanya Lark sudah digembleng sejak dini untuk menjadi tentara hingga saat ini ia menjadi pemimpin dan leluasa pulang kapan saja, tak seperti bawahan-bawahannya yang harus tinggal di kamp bersama tentara lain.

Meneer punya kakak perempuan, sekarang tinggal di Belanda bersama orang tuanya. Rumah ini diberikan sepenuhnya pada Meneer Lark.”

Omong-omong kakak perempuan Lark, aku jadi membayangkan penampilannya yang mungkin tak jauh berbeda denganku saat ini yang dimirip-miripkan dengan noni-noni. Tapi tetap saja mata sipitku tak dapat berbohong keturunan apa diriku ini meski rambut gelapku berpotongan pendek dan ikal.

Kuangkat pandanganku dari meja ketika mendengar ramai-ramai orang bergumam. Penyebab gumaman itu melewati jalan aspal di depanku, menampakkan dua lelaki yang menumpang becak. Bukan darah yang mengejutkanku, tetapi siapa wajah yang dipenuhi getih mili itu.

Aku kenal betul siapa yang berlumuran darah itu. Dengan dada berdentum dan kepala berdenyut, aku menyeru, "Wira!" Dan lelaki itu menoleh, menggumamkan namaku sebelum darah yang mengalir masuk ke mulutnya.

Lelaki yang duduk di sampingnya mengomeli Wira agar tak bicara, kemudian menutup muka Wira dengan handuk yang juga tampak penuh oleh darah.

Kukejar becak itu, tetapi jongos Lark beserta Mbok Sal menahanku di undakan tangga. Raunganku tak membuahkan apa-apa yang berfaedah, malah aku menjadi tontonan tetangga yang merupakan kaum bangsawan hobi menggosip.

"Aku harus menemui suamiku! Dia terluka parah!"

"Tidak, Mevrouw! Tuan Lark akan marah besar."

Bersamaan itu, Lark muncul dengan seragam militernya. Bertanya kegaduhan apa yang barusan lewat hingga aku meronta seperti ini. Mbok Sal menjelaskan bahwa seorang lelaki penuh darah melewati depan rumah.

"Lalu kenapa kau histeris?" Lark memusatkan perhatian padaku.

"Pemuda itu suamiku! Aku harus tahu keadaannya!" bentakku.

Lark tergelak, entah apa yang lucu. Wajahku semakin membara, mendapati mata biru itu menyorotkan tatapan cemooh yang membuatku merasa direndahkan. "Mengapa tertawa?! Apa kau yang menghajar suamiku hingga seperti itu?!"

"Jangan menuduh, Mijn Liefje³. Aku tak mungkin punya waktu mengurus monyet itu." Lark menatapku tajam dan penuh ancaman sebelum melanjutkan, "Satu-satunya suamimu adalah aku." Membuatku tak dapat menahan getaran tubuh yang menjelaskan ketakutanku akan sosok jangkung berambut terang itu.

_______
³ Mijn liefje : Cintaku.

Wiyata SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang