"Saya mesti bagaimana? Saya tidak mau mati di negeri jajahan ini, Mbah." Aku kalut, dua bulir air mataku melintas di pipi.
"Semua perkara pasti ada jalan keluarnya. Untuk saat ini, memperkuat iman sangat penting. Berdoalah pada Gusti Allah dan tanamkan sugesti positif bahwa Nyai ikhlas lahir batin menjalani kehidupan yang diberikan oleh-Nya."
"Saya Hindu, Mbah. Apakah diperkenankan saya menyembah dua Tuhan sekaligus?"
"Jika begitu, saya menghargai kepercayaan setiap orang. Nyai perlu sembahyang ke pura dan bersuci di petirtaan."
"Sejauh ini saya belum menemukan pura atau petirtaan. Saya tidak berani pergi sendirian kalau tempat itu ada di tengah hutan."
"Nyai bisa meminta Raden Mas Adji untuk menemani. Atau Nyai bisa membaca kalimat syahadat untuk menjadi muslim dan memperkuat iman dengan belajar di tempat saya maupun kepada Raden Mas Adji sendiri."
Tawaran itu menggiurkan. Diam-diam aku kepingin masuk Islam setiap kali mendengar azan yang begitu merdu dari surau. Sepengetahuanku pula, masuk Islam sangat mudah dan cara ibadahnya pun mudah. Tanpa kesangsian lagi aku mengiakan tawaran itu.
Selepas mengucapkan kalimat syahadat atas tuntunan Mbah Ismoyo, beliau memberi wejangan bahwa aku harus salat lima waktu, pun aku diberi semacam kitab tata cara dan adab ketika salat dengan bahasa Melayu. Aku agak terpana mengetahui Mbah Ismoyo tidak buta huruf dan selayaknya dapat memprediksi masa depan, mulai dari menyambut kami sebelum mengucap salam, menyuguhkan teh untukku dan Adji sebelum kami tiba, mengetahui ketakutanku akan kambingnya, sampai buku yang diberikannya khusus untukku. Ia sudah tahu bahwa aku akan menjadi mualaf. Ilmu dan kepiawaian orang zaman dahulu tidak boleh dipandang sebelah mata.
"Ini bukan kesirikan. Islam dapat dikulturisasi dengan adat dan tradisi Jawa yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Maka, kuberikan mantra tak tertulis ciptaan Sunan Kalijaga yang mesti kau rapal sebelum tidur." Ia mengajariku kata demi kata mantra yang dengan cepat kuhafal. Mantra yang sepertinya menggunakan bahasa Jawa Kuno yang tak kupaham artinya sama sekali.
Adji muncul bersama sang kusir, duduk di sebelahku seiring suara gerimis yang belum reda sedari tadi.
"Lama sekali," bisikku sembari menautkan alis. Kesal sekaligus heran mengapa ia lama kembali padahal halaman tempat bendi parkir tidak jauh-jauh amat.
"Baru juga sebentar," balasnya juga menautkan alis.
"Satu purnama mendatang, Nyai berkunjung ke sini lagi untuk saya rukiah. Jangan lupa ibadah dan mantra tadi. Juga selalu berdoa semoga diberi kemudahan untuk melawan kutukan yang tertuju pada Nyai."
Setelah hujan reda dan tersisa rinai kecil, kami pamit dan Adji memberi amplop berisi gulden meski Mbah Ismoyo berusaha menolak.
Sepanjang jalan, Adji menuntutku untuk menjelaskan semua ketika ia keluar. Aku kekeh akan memberitahunya setibanya di rumah, tetapi akhirnya kuceritakan juga setelah mendapat tatapan intimidasi darinya. Sang kusir pun pasti mendengar ucapanku. Adji semringah mengetahui aku menjadi muslim dan berjanji akan mengajariku.
***
Satu purnama berlalu, waktunya bertandang ke lereng Gunung Kawi menemui Mbah Ismoyo. Aku mengenakan kebaya putih yang belum lama dibelikan oleh Adji. Kerudung bertengger di kepalaku, kedua sisinya terselempang di bahu. Adji enggan mengizinkanku menemui Mbah Ismoyo karena katanya tak perlu lagi berusaha kembali ke masa depan karena hidupku di sini sudah nyaman. Memang benar aku betah dan terbiasa di lingkungan ini. Hanya saja aku merindukan tempat di mana aku dilahirkan. Kampung halamanku tidak seperti ini, aku punya keluarga, aku punya orang tua dan masyarakat yang sayang padaku. Alhasil dengan keteguhanku, Adji mau menemani setelah merampungkan lembaran-lembaran urusan bupati di siang harinya.
Aku tak berharap banyak pada Mbah Ismoyo. Belum tentu juga beliau bisa mendobrak kutukan yang menyelimutiku. Tapi setidaknya ada kemungkinan aku bisa kembali karena Mbah Buyut juga berusaha menarikku dengan mengirimkan penjaga berupa kambing yang kuyakini masih membuntutiku, membuat tubuhku mudah terasa berat dan cepat penat.
Harapanku hanya tertuju pada Gusti Allah, yang mengirim pertolongan lewat Mbah Ismoyo sebagai perantara. Aku ingin cepat lepas dari peliknya kehidupan Hindia Belanda. Menjadi gundik tak sebanding saat melihat pujaan hati tewas di depan mata. Semenjak Wira tiada dan jasadnya teronggok di rumah Lark, aku selalu merana tak punya semangat hidup. Kerinduan yang lama terpendam tak berbuah manis, justru membuatku terbayang-bayang di jurang nestapa. Kepelikan yang membuat hidupku semrawut itu bahkan membuatku lupa berapa usiaku sekarang. Seingatku, saat tiba di sini aku berumur lima belas. Mungkin sudah lebih satu tahun semenjak aku menjadi gundik. Tak kusangka aku telah menjadi ibu sementara perempuan sebaya di tempat asalku masih berlomba meraih cita-cita.
Nyatanya aku mampu mengurus Juna sendiri. Nyatanya aku pandai memasak dan melakukan kegiatan rumah lain. Nyatanya aku pernah memuaskan birahi sang Meneer. Tak ada yang tak mungkin kalau sudah dipaksa keadaan. Jika aku tidak tersasar di negeri ini, maka aku takkan pernah tahu cara mengurus bayi, cara mengatur waktu untuk kegiatan rumah, serta tak tahu rasanya menjadi pemuas nafsu bagi lelaki yang tak dicintai.
Diam-diam aku bangga terhadap diri sendiri yang mampu menghadapi takdir yang seenak jidat menempatkanku di negeri jajahan yang banyak pahitnya.
Kuharap semua kepahitan ini segera berakhir setelah menemui Mbah Ismoyo di lereng Kawi. Dan kuharap bisa menjumpai lelaki baik hati semacam Adji di zaman asalku setelah aku meninggalkannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/307828663-288-k987789.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wiyata Saujana
Historyczne~Ambassadors Pick 2024~ Ada rahasia besar yang tak diketahui Jasrin. Rahasia yang menjadi penyebab ia hirap ditelan waktu dan menjalani kodrat sebagai pemuas nafsu. Disaksikannya rakyat Hindia Belanda yang berjuang menjalani keseharian mereka di ten...