19. Sua

474 61 4
                                        

Wira : Panarukan, 1808

Sorakan para pekerja mengalihkan atensiku. Kubanting linggis yang sedari tadi menjadi pelampiasan amarah yang mendidih di bawah panasnya hawa penjajahan. Rantai yang melilit padanku bergerincing setiap pergerakan.

Aku menyamperi mereka yang bersorak penuh asa dan kelegaan seraya bertanya, "Ada apa?"

Mereka tak ada yang sempat menjawabku. Semua diselimuti kegembiraan, tetapi apa?

"Kita bisa makan nasi, Wira. Mulai sekarang kita digaji." Salah seorang pekerja mencengkeram bahuku. Tatapannya berkilat, baru pertama kali kulihat. Ia adalah Soedjati, pria senasib yang sering berceloteh menyemangati pekerja lain, padahal ia sendiri butuh penyemangat.

Sepintas sosok melintasi pikiranku. Seorang perempuan yang lama tak kujumpai. Seorang Mevrouw belia yang unik. Mevrouw yang mulanya kuselamatkan dari gerombolan manusia di jembatan. Ah, tak sabar diriku menatap mata sipitnya yang selalu berapi-api saat kesal padaku, sekaligus berkaca tiap kali kutinggalkan. Namun, aku tak mengingat nama aslinya, yang kuingat hanya nama Rokimah yang menjadi panggilan khusus dariku. Beban pikiran selama kerja paksa tak membuatku sempat memikirkan Rokimah. Penderitaanku sebagai pekerja paksa melebihi segala yang pernah kuderitai. Bahkan jatuh ke jurang tak ada apanya ketimbang dipanggang matahari sambil mengusung bebatuan.

Makanan terbatas, tak ada pakaian ganti, haus, bobrok. Namun, aku mesti bersyukur punya kesempatan mengambil napas lebih lama. Kawan-kawanku telah banyak yang meregang nyawa akibat kelaparan dan kelelahan. Syukur tubuhku kebal hingga bertahan sampai titik di mana keadaan membaik.

Namun meski diberi upah, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan saat mandor lalai tak mengawasi pekerja. Seharian aku memikirkan siasat untuk melarikan diri tanpa ketahuan pekerja lain. Tengah malam ketika semua mengorok dan mandor tak ada satu pun yang berjaga, aku mengangkat batu yang terikat dengan rantaiku. Bobotnya terkalahkan oleh pacuan adrenalin. Aku bergerak sepelan mungkin supaya rantai yang melilit badanku tak bersuara. Keringatku bercucuran seiring debar jantung yang kian menjadi. Kalau ada yang melihatku kabur, aku bisa mati dipukuli.

“Wir! Mau ke mana mengendap-endap begitu?”

Sial, seruan pekerja itu membangunkan yang lain.

“Kebelet. Aku sudah cirit di celana,” dustaku sambil memasang mimik tak tertahan.

“Serius, wajahmu pucat. Perlu kutemani?”

Aku menggeleng panik.

“Baik. Jangan takut, aku akan melek sampai kau kembali.”

Aku berdecak, membisikkan mantra sirep yang pernah kudengar dari Bapak. Tak butuh waktu lama sampai pekerja itu ambruk dan kembali mengorok. Beberapa pekerja yang tidur ayam pun jadi pulas. Semoga saja besok ketika bangun, mereka linglung dan tak repot-repot mencariku.

***

Mencapai jalan raya, aku baru sadar bahwa aku tak tahu sekarang Rokimah tinggal di mana. Aku berhenti sejenak, bengong sebelum kepikiran mendatangi Adji di rumah gedongnya.

 Cukup menyita waktu, apalagi berjalan kaki sambil menenteng batu besar. Mujurlah Panarukan tak seluas itu.

Aku tak perlu jalan jongkok saat menaiki undakan tangga karena tak ada yang melihat. Gedung bupati senyap dan gelap sekali. Aku mengetuk pintu berkali-kali sampai dibuka oleh seorang pria rewang yang memasang muka jengkel karena tidurnya diusik.

"Saya Wira, sahabatnya Adji," kataku datar.

"Oh nggih-nggih. Ada perlu apa ya?" balasnya santun, tapi matanya tak bisa berbohong bahwa ia enggan pada penampilanku.

Wiyata SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang