9. Kurang Ajar

721 86 12
                                        

Malam begitu senyap, berbanding terbalik ketika aku tinggal di pinggir kali yang senantiasa bergemericik. Kudekap lututku di pojok ranjang demi menghindari si kuning bambu. Dadaku berdentam seiring rasa jejap yang kian membukit.

"Siapa namamu?” Pria itu bertanya dengan logatnya yang khas. "Sekarang kau milik Lark de Kleij."

Pria bermata biru itu menyentuh lenganku, dan tanpa berniat sedikit pun, mulutku meludahinya. Ia mendelik dengan muka merah padam kemudian menamparku hingga bunyinya menggema. Aku tak terima, segera kutampar balik pipinya hingga nyaringnya sepadan. Aku menunduk, tak berani memperoleh raut mengerikan yang mungkin dipamerkan si Taik itu.

Ia naik ke ranjang dan menarikku ke tengah kasur tanpa kelembutan sedikit pun, malah menampar keras bokongku. Aku meninju rahangnya seraya menjambak rambut kuning yang menodai penglihatan itu. Namun, perlawananku rupanya tak menguntungkan. Ia semakin beringas, menyobek gaun putihku hingga beberapa kancing terlepas. Puas menelanjangiku, Ia melucuti pakaiannya sendiri sebelum menciumku dengan kasar lagi melukai bibir dan tentu saja batinku. Sungguh, dosa besar apa yang kuperbuat hingga mendapat karma seburuk ini....

***

"Mijn lieve²." Lark masih saja bertahan di atas tubuhku hingga pagi menyingsing. Ia mirip anjing yang tak dapat menahan birahi. Betah sekali ia menyiksaku semalaman tanpa rehat berlama-lama. Tiap burungnya tidur, ia bangkitkan kembali dengan meminum bir yang baunya membuatku mual. Perih, nyeri, lemas diriku mendapat perlakuan tak senonoh seperti ini. Pelayan di rumah itu tak satu pun berani mengetuk pintu sekadar mengantar sarapan atau yang lain.

Kurasakan kelopak mataku kian berat dibuat melek. Terlintas sosok Wira yang menghormatiku sebagai perempuan dengan tidak menyentuhku sekali pun. "Aku bukan anjing yang tidak bisa menahan birahi." Kalimat itu lalu-lalang di bawah pikiran.

"Kenapa aku? Masih banyak pelacur yang berpengalaman," celetukku lirih, nyaris tak terdengar.

"Jarang menemukan dara cantik sepertimu. Apalagi kau yang datang sendiri ke tempat mandiku." Jawaban itu membuatku kembali menangis, menyesali semuanya.

Lark baru puas ketika matahari hampir di ujung tombak. Pria berkumis cokelat itu terkulai di sisiku kemudian membelakangiku.

"Akan kudatangkan dukun pijat agar kau tidak bunting." Karena lelah, aku terpejam dan tak terlalu mengindahkan ucapannya barusan.

***

Wira sibuk bertanya pada orang-orang, ke mana perginya gadis bermata sipit itu. Hingga seorang petani mengatakan sempat melihat perempuan singkek terpincang-pincang ke arah air terjun mencari suaminya. "Keparat! Kenapa kalian semua tidak mencegah?!" Ia kalut, menunjuk para petani dengan penuh amarah. Sedangkan para petani meneruskan kegiatan mereka menanam padi, tidak menghiraukan amukan Wira.

Akhirnya dengan langkah raksasa, ia menyusuri jalan menuju air terjun. Wira sedikit tahu seluk-beluk air terjun itu yang wingit dan jarang dikunjungi manusia. Ketika ia sampai di sana, tidak ada siapa pun.

Mengandalkan nalurinya, pemuda berkumis tipis itu berbalik, menyusuri jalan setapak hingga sampai di jalan raya dekat perumahan mewah milik tuan-tuan Belanda.

"Rayan Wira Basoendoro?" Seorang pemuda yang mengenakan ageman rapi khas priayi memeranjatkan Wira yang berjalan dengan tatapan kosong. Wira menaikkan sebelah alisnya dengan jantung yang masih berdebar karena kaget. Ia tak mengenal priayi beraroma cendana itu yang melanjutkan, "Bagaimana bisa kau jadi seperti ini? Kau lupa dengan sahabat kecilmu?"

"Raden Mas Adji Rahardjo?"

Priayi itu langsung mendekap Wira dengan akrab, yang dipeluk pun insaf bahwa priayi itu benaran Adji, sahabat masa kecilnya yang masih mengompol hingga usia ke sebelas.

Berkali-kali Adji menanyakan sebab Wira menjadi gembel seperti itu, yang hanya mendapat balasan, "Leluhur kita sama, tetapi nasib kita berbeda."

"Kau ini masih seorang Raden Mas terhormat. Kita masih berdarah Majapahit. Tak seharusnya kau seperti ini, Soendoro."

Adji merangkul Wira, hendak membawa pemuda telanjang dada itu menuju kediamannya. Namun, Wira menepis pelan lengan yang wangi itu. "Maaf, Adji. Aku masih mencari istriku, dia sepertinya diculik Londo."

"Kau sudah beristri? Kauberi dia makan apa? Sudahlah, kauurus dirimu dahulu di rumahku sambil memikirkan cara untuk mengambil istrimu kembali. Lagi pula, ia bisa saja lebih mujur di sana dengan makanan dan pakaian yang layak."

Setengah hati akhirnya Wira mengiakan ajakan Adji meski sempat tersinggung. Yah, bagaimana pun ujaran sahabatnya itu barangkali ada benarnya bahwasanya Jasrin bisa saja lebih bahagia menjadi peliharaan Londo yang banyak duit.

***

"Mevrouw harus makan." Babu—terlalu kasar, pembantu saja deh—itu masih bersikukuh memegang sendok di depan mulutku yang kini dipanggil Mevrouw de Kleij. Ah, susah sekali lidahku mengatakan nama aneh itu. Terlampau sebal, kumakan nasi itu kemudian meludahkannya di lantai yang mengakibatkan jantungku mencelus selepas Lark menggebrak meja.

"Tak bisakah kau menghormati pemberian suamimu?!"

"Suamiku adalah Wira!"

"Bohong! Jika kau sudah bersuami, kenapa milikmu masih berdarah?"

"Bajigur." Kaki telanjangku menendang kemaluan si mata biru, membuat si pembantu yang sedari tadi menyodokkan sendok ke mulutku jadi melotot tidak percaya.

"Kurung dia di bawah!"

Si pembantu tak mampu berkutik, Lark pun berteriak memanggil dua jongosnya beserta kusir pribadi untuk menyeretku yang seketika menyesali perangai diri sendiri.

_______
² Mijn lieve : Sayangku.

Wiyata SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang