6. Urung Sembuh

465 71 12
                                    

Tanpa gawai, hidup sungguh tak berwarna. Setidaknya itu yang kurasakan karena aku tak punya kegiatan lagi selepas mencuci dalamanku. Risi sekali mengingat beberapa hari terakhir aku tak ganti dalaman. Aku ingin bertanya pada puan-puan yang tengah mencuci seraya sesekali cekikikan di pinggir kali itu, di manakah aku bisa mendapat pakaian secara gratis. Namun, nyaliku tak kunjung terkumpul hingga mereka berlalu dari kali, aku masih meringkuk bosan di dalam sudung. Kuintip mereka dari celah dinding, seketika terenyuh saat salah satu dari mereka memijat bahunya sebelum menggendong anak lelakinya. Kantung matanya gelap dan bibirnya pucat. Yang lain tak tampak khawatir seakan-akan keadaan perempuan ringkih itu adalah hal biasa bagi mereka.

Selepasnya dari pandangan, aku kembali dilanda kejenuhan sampai mataku terkatup meski tubuh masih bersandar pada dinding pagar. Hampir saja melanglangbuana ke alam bawah sadar jika seseorang tak menggebrak pintu sampai aku terperanjat dan jantungku serasa jatuh ke perut.

"Kenapa, Wira?"

Bukannya menanggapi, ia malah ambil seribu langkah lebar bagai kingkong, mencomot gelas bambu kemudian minum air dari dalamnya. Mukanya merah delima, keringat bercucuran, netranya nyalang membara. Tak disanggah nyaliku ciut mendapati raut itu. Aku bungkam, menelan mentah-mentah gerutu yang hendak terlontar, menunggunya menceritakan sendiri perkaranya.

“Petani keparat itu tak memberiku upah.”

Menelan jelijih dengan susah, aku meresponsnya dengan optimis dan hati-hati. "Siapa tahu kau diberi upah nanti sore. Ini kan baru tengah hari."

"Alah diam! Kau tidak mengerti apa-apa, Rokimah! Sekarang, ikut aku ke hutan mencari ubi buat makan nanti dan besok!"

Aku lamban beranjak karena kakiku masih sakit dibuat menapak. Wira yang masih dikuasai angkara murka itu dengan tak sabar menarik lenganku hingga kaki kananku tertekuk, menimbulkan suara gemeletuk yang cukup jelas. Butuh beberapa detik sebelum aku melolong kesakitan. Kudapati Wira mengeraskan rahang sebelum mengeratkan cengkeram di bahuku yang gemetar. "Kenapa kau selalu merepotkanku, Rokimah?! Aku benci menghadapi kemanjaanmu!"

Kalbuku benar-benar tercabik mendapati kegambalangan itu. Sebuah penghinaan yang baru pertama menghunjam ulu hatiku. “Tak perlu kauperjelas, dasar cecunguk! Seandainya kau tak menarikku, takkan aku merepotkanmu lagi.” Aku setengah berteriak meluapkan amarah yang membuncah. Sungguh ujian yang berat berhadapan dengan lelaki menyebalkan sepertinya. Kadar menjengkelkannya bukan lagi taraf bercanda, tetapi perundungan. Aku takkan pernah memaafkannya.

"Oh jadi kau menyalahkanku."

"Bukan begitu! Wira, tolong aku ... kakiku sakit sekali.” Meski dendam menumpuk, kurasa aku masih membutuhkan bantuannya. Kakiku nyeri sekali hingga merambat ke sekujur tubuh. Aku mengambrukkan diri seakan-akan pingsan demi mendapat simpatinya. Dan berhasil, ia mengangkatku seraya berteriak minta tolong.

"Ada apa?" tanya seorang pria paruh baya. Aku penasaran, sedikit membuka mata dan mendapatinya sedang memanggul rumput.

"Istri saya patah tulang. Saya ingin membawanya ke sangkal putung. Bapak tahu tempatnya?"

"Oh iya-iya. Kebetulan rumah saya dekat dengan Pak Soma. Mari ikuti saya."

Sesampainya di tempat tujuan, Wira dipersilakan masuk ke rumah kayu oleh Pak Soma. Ia menjelaskan apa yang menyebabkan kakiku bengkak mengenaskan seperti ini.

Si sangkal putung atau ahli patah tulang berpeci itu meminta istrinya mengambil minyak urut setelah aku dibaringkan di dipan dan membuka mata. Tangisan pilu tidak mampu kutahan ketika Pak Soma mengolak-alik kakiku. Hal yang membuatku sedikit teralih yakni Wira menggenggam tanganku dan sesekali mengecupnya. Kurasa ia tak menyadari apa yang tengah diperbuat. Aku hendak mengomelinya yang bertingkah aneh tiba-tiba. Apa gerangan mencium tanganku segala dengan tampang khawatir yang menjengkelkan itu? Namun aku tak punya waktu untuk menggerutu karena rintihan yang tak henti-hentinya akibat kaki yang sungguh ngilu.

"Wira. Kakiku, jangan dipijat! Sakit!"

"Nanti bakal sembuh. Bersabarlah."

Tanganku balas mencengkeram tangannya erat hingga memunculkan bekas tancapan kuku di kulitnya. Aku tak peduli jika ia sampai berdarah gara-gara aku. Rasa sakit di pergelangan kaki mengalahkan segalanya.

"Sudah selesai. Jangan dibuat berjalan dulu, cukup istirahat di dipan dan jangan banyak bergerak," kata Pak Soma mengakhiri pijatannya.

Wira berbincang dengan Pak Soma di ruang sebelah. Sementara itu, Bu Soma sibuk mengajakku yang masih tersedu untuk bicara dengan menanyakan apa yang kusuka. Namun itu cuma pengalih perhatian karena kudengar Wira berpamitan untuk pulang, meninggalkanku. Aku memekikkan namanya dengan histeris.

"Prawira pulang hendak membuat dipan. Kau semalaman menginap di sini dulu, ditemani istriku," Pak Soma menjelaskan.

Dalam hati, aku merutuki Wira. Kenapa pemuda itu tidak berpamit padaku terlebih dahulu? Aku juga masih kesumat terhadap perbuatannya yang membuat kakiku urung pulih. Kupejamkan mata, penat meratap. Di samping dipan, Bu Soma mengusap-usap kepalaku perhatian.

Wiyata SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang