15. Ranah Petang

512 47 10
                                    

Jenuh juga tak mendapat siksaan batin dari Lark yang sebelumnya telah menjadi rutinitas. Aku tak terlalu menghiraukan Perang Tondano yang kedua di Sulawesi Utara, sebab aku sadar tak dapat berlaku apa-apa kalau menyangkut soal gempuran. Perempuan ningrat saja pergerakannya terbatas, apalagi gundik sepertiku. Mana bisa menghentikan perang kemudian memberi pengaruh terhadap kemerdekaan. Aku pun tahu pihak Belanda yang bakal memenangkan perang itu.

Bentrokan senjata akan berlangsung lama, mungkin satu warsa. Selama itu pula aku takkan bertemu dengan sang meneer. Sudah menanam benih sembarangan, malah pergi berperang. Siapa lagi kalau bukan de Kleij. Memang aku membencinya, tapi tak ayal aku sering menikmati wajah rupawannya dengan dalih cuci mata. Pribumi mana yang tak silau pada bule berkulit cerah dan bermata biru seperti Leonardo Dicaprio itu.

Mbok Sal tahu kejemuanku di rumah dan kehendakku pergi ke Batavia untuk mencari bukti bahwa Daendels tak seburuk itu, tetapi ia tak punya kuasa mengajakku keluar. Embel-embel Mevrouw pun tak ada gunanya bagiku kalau jongos tak pernah mau menurut.

Omong-omong soal jongos, kenapa Soesanto berdiri di ambang pintu kamarku? Apakah Mbok Sal lupa mengunci pintu atau jongos itu punya kunci cadangan? Kamarku hanya diterangi kandelir tiap malam menyapa, tetapi aku dapat melihat seringai mesum Soesanto yang perlahan mendekati tempatku bergolek.

“Mau apa kau?!” semburku dengan dada makin berdebar seiring langkahnya kian dekat.

“Bukankah Mevrouw kesepian ditinggal Meneer? Lubang jalangmu itu butuh dipuaskan, bukan? Jangan sungkan-sungkan untuk memberitahuku.” Ia sudah mendarat di ranjangku.

“Bajingan, tua bangka bau tanah! Enyah sana!”

“Kaubilang tua bangka, ha?!” Tak terhitung detik, jongos itu menampar pipiku hingga suaranya menggema.

Aku berlagak ambruk tak sadarkan diri, sedikit mengintip untuk mencari celah sebelum beraksi. Saat ia berada di atasku untuk melucuti kancing piama, aku mendengkul alat vitalnya sekeras mungkin hingga ia melotot. Tak cukup, sekalian saja kucolok matanya sampai ia meringkuk seraya melontarkan sumpah serapah.

Aku bangkit, secepat kilat menyambar dompet di atas nakas kemudian mengunci kamar dari luar. Tak lupa kuncinya kumasukkan dalam dompet agar tak ada yang bisa mengeluarkan Soesanto.

Balik badan, sekonyong-konyong Mbok Sal mencacak sambil gigit bibir cemas. Tak banyak cakap, aku menyuruhnya berkemas.

Aku mondar-mandir memikirkan apa yang mesti kulakukan. Mujurlah otakku bisa bekerja sama meski diusik teriakan Soesanto. Aku keluar, beberapa kali tersandung meja karena minim penerangan, kemudian membangunkan kusir yang tidur di kamar belakang.

“Bawa aku dan Mbok Sal ke Batavia!” Aku menerobos masuk hingga kusir yang tengah mengorok itu terperanjat. “Sekarang!”

“Oh, nggih-nggih.” Ia tengak-tengok selagi mengumpulkan nyawa.

Sementara si kusir membenahi blangkonnya, aku menemui Mbok Sal yang sudah siap dengan tas bahu berisi pakaian dan makanan kering seadanya. Dari kamarku, Soesanto masih berkoar-koar sambil berupaya mendobrak pintu besar yang tak mungkin jebol, kecuali ia dibantu orang lain.

“Kenapa jongos yang satunya tidak ke sini?” tanyaku, karena kukira akan mendapati teman Soesanto yang datang menolongnya.

“Mungkin tidur, belum waktunya jaga malam,” jawab Mbok Sal selagi mengunci pintu loji yang menjadi saksi betapa rendah perempuan di mata laki-laki.

Di pelataran, dua kuda deragem sudah siap menarik andong. Aku benar-benar mengembuskan napas lega setelah si kusir membawa kami jauh dari gedung penistaan itu. Tangisku pecah, Mbok Sal memberikan bahunya sebagai peredam suaraku.

“Tugi, apa kuda itu kuat jalan sampai Batavia?” celetuk Mbok Sal.

“Lho, kenapa tak sampai stasiun saja?” serobotku sambil mengelap ingus.

“Setasiun?”

Aku mengangguk skeptis karena raut kebingungan Mbok Sal. “Naik kereta biar lekas sampai.”

“Kereta? Kita sedang naik kereta kuda.”

“Kereta api, sepur. Sekarang tahun berapa?”

Pertanyaan itu membuat kusir yang bernama Tugi tak dapat menahan tawa. Dasar tak tahu sopan santun. Kalau tak butuh jasanya, akan kuungkit waktu dia ikut menggeretku ke penjara bawah tanah.

“Diam kau!” Mbok Sal beringsut untuk menjewer kusir itu. “Ini tahun 1808. Mevrouw jangan banyak pikiran, Soesanto telah membuat Mevrouw sangat trauma.”

Aku memegang kepala yang mendadak migrain. Malam ini adalah bagian dari malam tempo dulu sebelum abad 19 dan tentu saja belum ada sepur di Hindia Belanda. Petromaks yang tergantung dalam andong adalah satu-satunya penerang hidupku yang mengelam. Tangisku kembali terlontar sampai aku tertidur pulas.

***

Mevrouw, bangun. Kita menginap dulu di rumah lamaku.” Mbok Sal menepuk pundakku.

“Sudah sampai Batavia?” Aku melantur linglung.

“Masih di Situbondo, Mevrouw.”

Tugi menyeletuk sambil memosisikan kudanya istirahat di halaman, “Saya tak mau ambil risiko jalan tengah malam, Mevrouw. Takut kena begal. Biar saya tidur di sini menjaga andong.”

Mbok Sal menuntunku ke rumah berdinding gedek yang mengingatkanku akan sudung buatan Wira. “Ini rumah yang kutinggali sebelum Bapak menjualku ke ayah Meneer Lark. Sudah lama sekali. Sekarang ditempati adikku, semoga dia masih mengenalku.”

Pintu berkeriut saat wanita paruh baya itu membukanya. “Karno...,” panggilnya.

Terdengar gumaman dari ruangan lain, mungkin bertanya-tanya siapa gerangan bertamu malam-malam. Tak lama kemudian pria dewasa dan istrinya menyembul dari balik tirai hijau bergaris yang menjelma jadi pintu sekat.

“Siapa? Sopan sekali masuk rumah orang sembarangan,” ketus si lelaki bersarung.

“Lupa kau dengan mbakyumu?”

Tampang lelaki berkumis itu melunak, menyamperi Mbok Sal kemudian mendekapnya erat-erat. Aku mengalihkan pandangan, iri dengan pertemuan mereka yang mengharukan. Aku merasa sendirian, tak punya siapa-siapa yang bisa kuanggap keluarga di sini.

“Bagaimana kalian sampai sini?” Istri Pak Karno menuntunku untuk duduk di bangku rotan. “Namaku Ratri.”

“Em....” Aku kebingungan, menggaruk rambutku yang seharian belum kusisir.

“Kami dalam perjalanan ke luar kota. Boleh, kan, menginap semalam di sini?” Mbok Sal ambil alih, sudah rampung temu kangen dengan adiknya.

“Tentu. Tapi kami cuma punya satu amben,” jawab Mbak Ratri sambil berdiri menghadap Mbok Sal.

Aku memalingkan muka, menghindari bokong sintal Mbak Ratri yang membelakangi wajahku.

“Tidak apa-apa. Kami bisa tidur di bangku.”

“Jangan! Biar aku saja yang di bangku. Kalian bertiga tidurlah di amben, agaknya muat,” celetuk Pak Karno.

“Ah, jangan ngeyel sama aku! Sudah, sana kembali ke kamar!” Mbok Sal duduk di sebelahku kemudian menengadahkan kepala untuk tidur.

***

Aku terperanjat bangun ketika pahaku ditepuk. Mengabaikan tengkuk yang linu akibat posisi tidur, aku meniru Mbok Sal yang berganti pakaian kemudian mengendap-endap di bawah lampu teplok untuk keluar. Mataku masih buram, langit masih gelap. Kucengkeram bawah kebaya hijau Mbok Sal biar tak menabrak tiang.

“Kita tak pamit sama Pak Karno?” tanyaku setelah kendaraan kami jauh dari rumah dan langit berwarna keunguan seiring beranjaknya mentari.

“Tak usah. Dia bakal sedih kalau tahu kutinggal.”

“Mereka tak tahu tujuan kita?”

“Tak ada yang boleh tahu. Sekarang kita ke pasar pagi untuk sarapan.”

Kami tiba di pasar pagi setelah matahari terang benderang dan beberapa pedagang sudah menutup tendanya.

Wiyata SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang