Aku dihadapi pilihan sulit. Aku tahu mimpi yang kudapat semalam tak cuma sekadar bunga tidur. Mbah Ismoyo memperingatkanku untuk kukuh kembali ke zamanku. Jika aku terlambat, usai sudah rumah tangga orang tuaku. Mereka kerap menyalahkan satu sama lain, hingga Mbah Buyut ikut kena imbasnya. Mamaku sempat mendatangi psikiater karena tekanan mental sejak kehilanganku. Sementara Papa, ia sibuk menghibur mamaku hingga pekerjaannya terjerahak. Belum lagi tetangga yang sering menggunjing perihal hilangnya diriku. Itu semua diutarakan Mbah Ismoyo di dalam mimpiku dan bangun-bangun, hatiku terasa hilang sebagian. Entahlah, perasaanku menjadi aneh. Ketenteraman yang kemarin kuelu-elukan sirna tak berbekas.
Aku nyaman tinggal bersama Adji, apalagi ia akan menikahiku dan menjadi ayah bagi Juna. Namun, aku pun tak mau membiarkan keluargaku di masa depan kacau akibat keegoisanku. Kupikir, lebih baik aku meninggalkan seorang Adji daripada aku meninggalkan Papa dan Mama untuk selama-lamanya. Lagi pula jika aku kembali ke asalku, takkan ada yang keberatan kecuali Adji seorang.
Kujelaskan mimpiku dan niatku pada Adji yang tak dapat menutupi raut cuanya. Baru kemarin kami gembira dapat menjalin hubungan serius, kini urung karena tiba waktunya aku pergi. Meski kecewa berat, priayi itu masih mau mengatarku ke tempat Mbah Ismoyo. Beliau mengetahui niatku ke sana dan menerangkan bahwa aku cukup pergi ke hutan tempatku pertama kali mendarat kemudian tidur di sana. Sementara itu, Adji bersikeras meminta Mbah Ismoyo untuk membuatnya ikut pergi ke masa depan, tetapi Mbah Ismoyo menggeleng kuat.
Karena tak berani tidur sendirian di hutan, Adji dan Juna menemaniku. Memang tak baik udara malam bagi anak kecil macam Juna, tapi setidaknya ini bisa menjadi malam terakhir aku bersamanya. Perasaanku campur aduk hingga membuatku pening. Takdir tak pernah membiarkanku bahagia bersama orang yang kucintai. Ketiga lelaki yang berkecimpung dalam keseharianku tak dapat kumiliki sepenuhnya. Bahkan aku hampir saja merajut kebahagiaan dengan Adji dan menjalani hidup tenteram—tanpa mengacuhkan Bu Ningsih— tetapi aku dikejar waktu untuk kembali demi orang tuaku.
Sayang sekali, aku harus berpisah dengan Adji yang sungguh baik hati mau menampungku berbulan-bulan. Kami tak banyak bicara malam itu, terlebih Juna yang terlelap di atas selonjoran kakiku. Aku duduk bersisian dengan Adji, bersandar pada batang pohon tanpa alas selain dedaunan dan tanah lembap.
Aku membenarkan selimut Juna yang tampak pucat, sepertinya ia kedinginan. Lekas saja kugendong ia dalam dekapan erat. Air mataku mengalir seraya menaruh perhatian pada Adji, merasa tak rela berpisah dengannya. Setelah kehilangan Wira, berat sekali mempersiapkan diri untuk meninggalkan Adji.
Di tengah buaian iris yang bertemu pandang, Adji mengulurkan lipatan surat kabar yang sempat kubawa kabur dari rumah Lark. Aku teringat setelah babaran, belum kutemukan kertas itu yang ternyata disimpan Adji.
“Kupikir kau membutuhkan ini.” Suaranya tercekat.
Dadaku mencelus mendapati seorang lelaki yang menahan tangis. Aku menyambut kertas itu kemudian memasukkannya dalam kutang biar tak hilang terbawa angin.
“Jangan menangis, Jasrin. Aku makin tak ikhlas kalau kau begini.”
“Adji, maafkan aku.” Aku memeluknya sambil terisak-isak. “Aku yang me-membuat romomu dihukum. Aku yang mengadu ke Batavia. Tapi aku tak-tak tahu kalau—”
“Ssstt. Tindakanmu sudah benar.” Bukannya murka, ia malah mendekapku lebih erat.
Sebelum terlelap, aku merapalkan mantra yang diajarkan Mbah Ismoyo sebanyak-banyaknya hingga bibirku terasa keriting dan kelopak mataku benar-benar berat. Adji menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Kesadaranku pudar setelah itu.
***
Mataku terbuka lebar, napasku sesak hingga mulutku megap-megap. Aku menengok ke sana-kemari, menahan napas ketika mendapati pepohonan sejauh mata memandang, dibantu cahaya bulan yang benderang di atas kanopi.
Hampir saja aku menjatuhkan bayi yang ada di pangkuanku jika aku urung ingat ia anakku. Jemariku memastikan hidungnya masih menghidu udara, sebab aku kuatir ia tak bernyawa akibat masih terpejam di tengah hawa dingin yang menusuk hingga bibirnya tak lagi terlihat ranum.
Aku beranjak meski kakiku kesemutan, bergegas mencari jalan pulang seingatnya. Dadaku berdebar, memangnya siapa yang tak takut malam-malam berada di tengah hutan? Dan aku ingat terakhir kali bersama Adji, tetapi aku tak menjumpainya di sekitarku. Ini hutan penyebabku kesasar ke Hindia Belanda ketika ikut Mbah Buyut mengambil nira. Jalanannya tentu berbeda, lebih banyak belukar yang mulai tumbuh menerobos jalan setapak.
Tak kupedulikan Juna yang merengek akibat sabetan alang-alang, sebab aku terlampau ketakutan dan terkejut dengan suara burung yang menyeramkan dan temponya makin cepat. Kakiku berat melangkah, mulutku terkunci rapat, napasku menderu tersara bara. Ini seperti mimpi, tetapi aku tahu ini nyata akibat sakitnya goresan lalang.
Jalan setapak telah kulalui, sampai pada jalan rabat yang masih lumayan jauh dari rumah Mbah Buyut. Aku berlari sekencangnya, tetapi kakiku berat sekali hingga lampu jalan mulai terlihat di perempatan. Aku berbelok ke kiri, berteriak sekerasnya hingga Juna terperanjat dan menangis.
Kugedor-gedor pintu rumah Mbah Buyut, tak mendapati secercah lampu di dalamnya, langsung terpikir bahwa ini sudah larut malam dan tak ada yang terjaga. Aku masih berteriak histeris bagai dikejar setan, seiring tangisan Juna yang kian menjadi.
Aku menghela napas lega setelah pintu terbuka dan menampakkan sosok Papa yang membelalak sempurna.
Senyumku yang hendak terkembang lekas urung, mendapati pintu kembali menutup dan terdengar langkah kaki Papa menjauh. Aku kembali menangis sejadi-jadinya, tak mau kalah dengan suara Juna.
"Aku Jasrin! Aku sudah kembali.... Tolong bukakan pintu, aku takut!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Wiyata Saujana
Fiksi Sejarah~Ambassadors Pick 2024~ Ada rahasia besar yang tak diketahui Jasrin. Rahasia yang menjadi penyebab ia hirap ditelan waktu dan menjalani kodrat sebagai pemuas nafsu. Disaksikannya rakyat Hindia Belanda yang berjuang menjalani keseharian mereka di ten...