Hola, HaZie here! Happy reading and support ❤
Dont forget to click that song 👆🏻
|||
Hale terus berjalan dengan mengeluarkan cerutu rokok dari kotaknya bermerek Cohiba Behike. Naik ke lantai lima menggunakan lift yang sudah menutup untuk ke kamarnya hanya untuk mengambil ponsel. Meletakkan di apitan bibir sembari meraih pemantik yang ia nyalakan apinya di ujung cerutu.
Menyesapnya sembari meletakkan kembali pemantik ke dalam balik jas yang sudah ia buka kancingnya. Menghembuskan asap lewat mulut menyalurkan perasaan frustasi yang ia rasakan.
Pintu lift terbuka dan ia berjalan ke arah kamarnya yang mendominasi hampir setengah dari lantai itu.
Melepas dua kancing atas kemeja hitam yang ia kenakan, sembari menyisir rambutnya ke belakang agak berantakan setelah mengeluarkan kemeja dari lingkaran celananya.
"Sir." Sebuah tarikan di lengan Hale membuat pria itu menoleh.
"Ada apa?" ucapnya cepat sembari makin menyesap cerutu miliknya lagi.
Luziele melihat reaksi dan hawa Hale berbeda kali ini. Bukan terlihat menyebalkan dan sikap mengganggu yang biasanya sengaja ia tunjukkan.
"Jika kau ingin menggangguku sekarang, ini bukan waktu yang tepat, Luzie," ucap Hale setelah menghembuskan asap dari hidung dan mulutnya bersamaan. Menyesap cerutunya kembali menatap mata Luzie dengan tatapan lain.
Luzie bisa melihat bahwa orang itu menahan amarahnya yang tak ia tampakkan. Luzie menatap Hale yang berjalan menjauh darinya dengan menyimpan satu tangan yang tak memegang benda isap itu di saku. Bahkan nada suaranya saja berbeda sekarang, tampak mencoba bicara seperti biasanya, tapi masalahnya kali itu mampu membuat topeng Hale retak.
"Ah, ya, kau jangan mengurangi rasa percayamu bahwa aku akan membatalkan ini, Luzie. Ha ha! Jangan, karena aku memang akan membatalkannya," ucap Hale terdengar menutup frustasi tetap berjalan tanpa menoleh ke arah Luzie yang terus memperhatikannya dari belakang. "Kau jangan takut kehilanganku, karena ini hanya masalah kecil. Dia ayahku, aku pasti bisa menanganinya, jangan khawatir," lanjut Hale disertai kepalan tangan yang semakin kuat dari balik saku celananya.
"Aku hanya ingin keluar sebentar setelah mengambil ponsel, hawa di sini sangat panas, sialan."
Pria itu menyesap cerutu kembali dengan tak berhenti berjalan. Di pikiran Hale kali itu hanya ingin keluar dari gerbang mansion setelah mengambil ponsel bajingannya yang ia tinggal di kamar.
Tanpa menyadari Luzie dari belakang berjalan cepat ke arahnya lalu meraih lengan kekar pria itu untuk menghadapnya.
Hale menatap Luzie yang ada di hadapannya sedang memfokuskan pandangan pada dia sangat dalam. Tanpa mengucapkan sapatah kata pun, mereka saling menatap satu sama lain tanpa berkedip. Membuat Hale menyadari sesuatu dalam dirinya akan tatapan Luzie yang tak bisa ia mengerti dengan pasti.
Dada bidang Hale yang tadi makin mengembang karena napasnya memburu kini perlahan agak terturun. Mereka bertatapan beberapa lama satu sama lain tanpa berkedip. Seolah Luzie kali ini tak tahu ingin berkata atau bertanya apa yang dilakukan Hale sekarang dari bibirnya.
"Yes, i'm fucking tired with this, Luzie. I'm fucking burn out with that," ucap Hale sembari menyentuh kedua bahu Luziele dengan tangannya. Tak peduli dengan cerutunya yang terjatuh. "I'm afraid of losing you, this is fucking big problem, i fucking worried about that."
Seolah tanpa perkataan apa pun yang keluar dari bibir Luzie, mata gadis itu memintanya untuk mengatakan apa yang ia rasakan sebenarnya.
"I'm so fed up, one way to end this quickly is kill my father." Hale makin menggenggam erat bahu Luzie membuat perempuan itu makin mendekat padanya. Perkataan Hale tersebut bersamaan dengan sorot matanya yang menggelap, seperti ia menunjukkan jati dirinya yang ia sembunyikan.
"Hey, Hale, look at me." Luzie mendongak menyentuh wajah Hale dengan kedua tangannya. "Lihat aku, kau tidak perlu menyelesaikan masalahmu dengan mudah dengan cara membunuh orang lain."
Hale tertawa tipis tapi sangat sinis. "Tidak mudah membunuh dia, aku dulu pernah mencoba hal itu untuk membuktikan perkataan orang lain tentangnya." Hale menyeringai tajam saat mengatakan hal itu. Hale kemudian menggelengkan kapalanya pelan. "Sial, berarti yang harus aku lakukan adalah membunuh calonku."
Hale menarik tubuh Luzie ke arahnya, mencium bibir perempuan itu dengan menyatukan saliva mereka.
Hale tak melepaskan ciumannya untuk membawa Luzie sampai ke depan pintu besar kamarnya yang sangat luas. Membuka akses pintu dengan sensor tubuh dan masuk ke dalam.
Apa wanita ini penenangnya? Apa dia heroin yang akan membuat ia melupakan segala masalahnya dalam sekejap? Katakan iya, dan ia benar-benar akan melahap gadis ini sekarang juga.
Hale meletakkan Luzie dengan hati-hati di atas ranjangnya yang bisa memuat sampai empat orang dewasa. Tatapan teduh dari netra abu-abu milik Luzie sedikit menenangkan hanya ketika menatap dua benda itu saja, seolah dia yang bisa menepis masalahnya ketika ia tak bisa melampiaskan hal itu.
"Herachles, tarik napasmu dalam, lalu hembuskan." Luzie menatap tenang pria itu, meletakkan sebelah tangannya di sisi rahang tegas Hale. "Kau harus menjadi dirimu yang selalu menghadapi apa saja dengan tenang dan bersikap seolah apa pun bukanlah salahmu seperti biasa, Hale. Kau bisa, bukan."
Hale menatap dalam gadis itu, apa dia mencoba menenangkannya? Jika benar maka sepertinya berhasil.
Hale menarik pelan dagu Luzie yang duduk di ranjang untuk agak mendongak ke arahnya. "Apa kau adalah Megara untukku?"
Luzie menatap dalam ke arah mata berwarna amber milik Hale. Mata yang selalu berjaga ke arahnya, mata yang selalu mengganggunya di suatu kesempatan. Tapi entah kenapa jika kehilangan mata pengganggu itu ia merasa bukan melihat Hale, atau dia memang selalu hanya melihat pria ini dalam mode palsu? Apa pria ini penuh kepalsuan untuk menutup dirinya yang asli?
"Salahmu yang malah menamakan diriku Marionette." Luzie berucap pelan, masih memberikan tatapan penuh arti dari pria yang ada di atasnya, sedang menyentuh sebelah wajahnya untuk ia usap pelan dengan ibu jari.
Kenapa sekarang ia melihat tatapan yang disembunyikan dari Hale? Pria ini menyimpan banyak rahasia, dia selalu menutup rapat apa pun tentang dirinya.
"Megara ... aku harusnya memikirkan hal itu dahulu," ucap Hale lembut sembari satu tangannya yang berada di sisi wajah Luzie makin mengusap pelan pipi gadis itu. Sedangkan satu tangan lagi meraih tangan Luzie, mendekatkan pada wajahnya kemudian mencium punggung tangan wanita itu lembut.
Kemudian tak lama mencium kembali bibirnya.
Luziele merasa ragu, bahkan bertambah ketika Kanzie membahas pertunangan tadi. Tapi entah kenapa hal itu kalah dengan ia ingin meredakan terlebih dahulu amarah Hale yang rasanya tadi ia melihat bahwa pria itu tak memiliki seseorang untuk berbagi emosi. Ia pernah merasakan hal tersebut, tanpa ingin menyadari bahwa Hale yang selalu ada untuknya walau pria itu juga yang selalu membuat ia frustasi.
Luzie perlu menyadari Hale bahwa ia bisa membagi emosi itu sesaat pada seseorang. Karena Luzie akan menyerahkan diri, gengsinya tak sebesar pria ini untuk tak melakukan hal itu.
Tubuhnya bergerak sendiri untuk menyerahkan diri, apa dia salah? Apa langkahnya sudah benar?
Hale melepaskan ciumannya hanya untuk menatap wajah Luzie yang hanya berjarak satu senti darinya sekarang. Napas mereka bertukar saking dekatnya dengan dada yang naik turun mencari oksigen setelah menipiskan stok tadi.
Hale melihat kembali mata abu-abu yang membawa Luzie padanya sekali lagi dengan sangat intens.
Hale mencium bibir Luzie dengan ciuman yang makin lembut dan perlahan, sembari membaringkan tubuh gadis itu di ranjang dengan hati-hati. Terus melumat bibirnya seolah itu adalah candu ia yang lain.
Dia sudah hampir menemukan gadis ini, dan ia tak ingin kehilangannya lagi.
To be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Hale's Doll [COMPLETE☑️]
Romance[COMPLETE☑️] ⚠️WARNING! ADULT-DARK ROMANCE STORY! BERADEGAN KEKERASAN⚠️ Boneka. Seutas kata itu yang terpapar oleh pikiran seorang Hale Herachles Burner saat pertama memandang lengkungan bibir seorang gadis yang tak diundang di acaranya. Akalnya hi...