📘 Kau Butuh Teman 📘

2.7K 236 2
                                    

Setiap kali berangkat kerja, Jeno selalu melewati butik sepi pembeli di tepi perempatan, persis di samping lampu lalu lintas. Bila biasanya orang-orang akan mengomentari letak butiknya yang salah, membuang kesempatan pembeli untuk mampir karena posisinya tidak strategis, maka Jeno berbeda.

Di dalam jendela kaca yang transparan itu, Jeno selalu memandangi rok-rok tenis yang sering dipakai idola-idola perempuan masa kini. Lucu saja saat melihatnya, karena selama butik itu dibangun sejak satu tahun lalu, posisi rok tenis yang berkali-kali ganti motif dan warna itu selalu di situ. Seakan minta ditatap oleh mata Jeno.

Ngomong-ngomong, Jeno jadi ingin kekasihnya nanti adalah perempuan modis yang juga memakai rok tenis di beberapa jadwal kencan mereka.

Saat sma, Jeno pernah bergabung di agensi modelling. Makanya, ia mengerti betul tentang fashion. Pasti akan lucu kalau kekasihnya nanti punya selera fashion yang sama dengannya.

Tapi untuk sekarang, lebih baik fokus pada kerjaan dulu. Perempuan mana yang mau berkenalan dengan lelaki tukang mabuk sepertinya? Jeno harus segera memukul kepalanya agar pengaruh alkohol yang berlebih segera sirna. Ia harus bekerja, melanjutkan keinginan ayahnya agar bisnisnya tidak bangkrut.

"Selamat pagi, pak manajer. Bagaimana tidur Anda semalam? Nyenyak?"

Na Jaemin tak ayal langsung dijitak oleh Jeno yang baru saja keluar dari mobil, tapi Jaemin sendiri tetap saja bersedia membawa tas kerja milik Jeno meski pernah dibogem sekali pun.

"Jangan terlalu sopan di luar kantor. Aku jadi merinding tahu."

"Tapi kita sedang di parkiran kantor, pak manajer. Tentu saja ini sudah termasuk di kantor."

Karena mereka berteman sejak sma, dan Jeno yang kelewat tidak bisa mempercayai orang baru setelah kematian kedua orangtuanya, maka Jeno memutuskan untuk mempekerjakan Jaemin saja sebagai wakilnya. Assistant general manager.

"Pencalonan sekretaris yang kemarin sudah beres?"

"Sudah, pak manajer. Kemarin kami baru saja selesai wawancara dengannya, dan dia lolos. Jadi, dia sudah mulai bekerja hari ini."

"Siapa namanya?"

"Uchinaga Aeri. Panggilannya Giselle."

"Dia dari Jepang? Kuliah di sini?"

"Benar, pak. Dia berkuliah di Daegu. Tapi sudah menetap di Seoul kurang lebih satu tahun belakangan."

"Lalu dimana dia tinggal sekarang?"

Jaemin mengernyitkan dahi. "Eum, apakah itu penting, pak?"

Mata Jeno menyorot tajam. "Tentu saja penting. Aku harus tahu apakah karyawanku hidup dengan baik atau tidak."

"Baik lah, akan saya tanyakan nanti."

"Jaem," Panggil Jeno lemah.

"Ya, pak manajer?"

"Kurasa Karina butuh teman, dia tidak bisa tinggal sendirian terus. Apalagi kemarin saat aku berkunjung untuk makan di rumahnya, dia masih sering melamun."

"Melamun?"

"Iya, dia belum bisa melupakan kematian orang tuanya."

"Bagus lah kalau hanya melamun, masih lebih baik nasibnya daripada orang lain yang bisanya menghabiskan hari-harinya dengan menenggak alkohol."

"Tutup mulutmu." Jeno hampir menjitak Jaemin lagi, sayangnya wakil manajer itu dengan gesit menghindar.

"Apa yang aku ucapkan ini seratus persen benar, pak manajer. Karina sendiri yang bilang padaku."

"Sialan kau, berhenti ngobrol terlalu banyak dengan Karina."

"Kenapa? Kami dekat, kok."

"Nanti dia bicara terlalu banyak tentangku, jadi jangan dekat-dekat dengannya."

Jaemin mengendikkan bahu tak peduli.

📘📘📘

Bicara soal Karina, sebetulnya Jeno serius khawatir. Ya, meskipun keadaan mereka tak ada bedanya. Tapi begitu memasuki dunia kerja, sifat Karina berubah lagi. Murung lagi, entah kenapa. Padahal dulu saat sma, Karina sudah bisa membunuh kejenuhannya dengan ber-fangirling, mengikuti idolanya kesana kemari seperti penggemar berat pada umumnya. Saat itu Jeno senang dengan perubahan Karina yang lumayan pesat.

Tapi begitu umurnya bertambah, hobi fangirlingnya hilang. Saat ditanya, Karina bilang sudah bukan saatnya lagi untuk menunggu artis idola yang tampan-tampan itu keluar dari perusahaan mereka, mendatangi di setiap acara musik mereka, ataupun merogoh sisa-sisa tabungan orang tuanya untuk menonton konser yang diadakan satu tahun sekali.

Bahkan untuk sekadar datang ke fanmeeting dan mengoleksi tanda tangan para artis idola pun sudah tidak Karina lakukan lagi.

Awalnya, Jeno kira pekerjaan sudah jadi prioritas seorang Yoo Karina sekarang, tapi ternyata hati perempuan itu tetap saja kosong. Mungkin selain bekerja, Karina harus melakukan hal lain yang menyenangkan agar waktu kosongnya itu terpakai tanpa sia-sia. Masih lebih baik Jeno yang meminum alkohol sebagai pelampiasan, daripada Karina yang terus melamun, justru berpotensi bunuh diri lagi.

"Rin,"

Malam ini Jeno bertandang lagi ke rumah Karina untuk makan malam, atas undangan Karina tentu saja.

"Ada apa?"

"Kau mau tidak menyisakan satu kamar kosongmu untuk ditempati orang lain?"

"Huh, untuk apa?" Karina menggeleng keras, tidak mengerti kemauan Jeno.

"Supaya kau punya teman untuk mengobrol. Aku tidak bisa setiap malam ke sini, kadang aku harus pergi ke luar kota, dan kadang juga lembur."

Karina menaruh kembali sendok dan garpunya di atas piring.

"Aku juga sudah terbiasa hidup sendiri, Jen. Apa masalahnya?"

"Untuk teman mengobrol saja. Supaya kau tidak bosan. Nanti kalian juga bisa masak bersama-sama, dan makan bersama juga."

Karina bersedekap. "Aku mengundangmu makan ke sini karena aku kira kau yang kesepian."

Jeno menggeleng. "Aku punya teman."

"Kalau teman yang kau maksud adalah alkohol, lebih baik jangan bicara denganku."

Jeno nyengir. "Setidaknya aku punya banyak hal untuk dilakukan daripada melamun."

Karina menghela napas lelah, merasa percuma bicara dengan Jeno yang kepala batu. "Baiklah, kau mau carikan seorang teman untukku?"

Jeno mengangguk tanpa ragu. "Untuk sekarang belum, tapi aku pasti akan segera dapatkan orangnya."

📘 To be continued 📘

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : pendek pendek dulu buat tes ombak 👀✌

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang