🌠 Kesialan Lain 🌠

970 143 6
                                    

Karina sedang menenangkan si tetangga yang kini sesenggukan sambil memeluk kakinya. Sesekali ia menepuk kepala si tetangga ini, menguatkannya agar baik-baik saja. Tadi Jeno buru-buru pulang ke rumahnya sendiri, tapi begitu sampai di dalam rumah, Jeno meneleponnya dan bilang minta ditemani.

Karina sudah mendengar semuanya tentang Minjeong dari mulut Jeno sendiri. Ia tidak bisa menanggapi apapun, sungguh apa yang ia dengar ini sangat di luar dugaannya.

Bagaimana bisa ada cerita konyol semacam ini ketika orang tua Jeno sudah lama pergi dari sisi mereka?

Tapi apapun yang terjadi, fakta nyatanya tetaplah fakta. Baik Jeno ataupun Karina harus menghadapi orang baru yang tiba-tiba mengaku sebagai anggota keluarga.

"Kau tahu apa yang lebih konyol dari aku ternyata punya adik selama ini?"

Karina diam saja, ia masih mengelus punggung Jeno seperti tadi.

"Ningning ternyata hanya memanfaatkanku saja. Dia mendekatiku hanya agar aku bertemu dengan Minjeong."

Si laki-laki yang tadinya sesenggukan kini mulai mengoceh.

"Andai saja aku tidak bertemu Ningning dan mengajaknya bicara di bar, aku tidak perlu tahu semua cerita ini. Aku tidak bisa menerimanya, Rin. Mereka menjelek-jelekkan ayahku."

Jeno sudah berhenti sesenggukan, kepalanya makin linglung karena terlalu banyak berpikir. Masih untung ini hari minggu, ia jadi punya waktu untuk mengobral apa yang ia dengar pada Karina.

"Ah, benar. Aku harus membicarakan sesuatu dengan Ningning."

"Untuk apa? Kau mau memarahinya? Kusarankan jangan."

Jeno menggeleng. "Aku harus memastikan sesuatu. Aku harus bicara padanya."

Karina melepaskan Jeno begitu saja dari pangkuannya, ia hanya bisa memandanginya dalam diam. Sekarang, apapun yang akan Jeno lakukan, ia akan membiarkannya saja.

Lagipula selama ini juga ia tak pernah bisa berbuat apa-apa.

Mau Jeno akhirnya marah pada Minjeong, atau kencan dengan Ningning, terserah saja. Karina sadar apa yang ia rasakan ini salah. Ia tidak seharusnya punya perasaan seperti ini pada sahabatnya sendiri.

Hubungan mereka bahkan sudah terasa sekental saudara sedarah.

Beralih ke Jeno yang ada di dalam kamar, dia sedang sibuk dengan ponselnya. Keinginannya untuk bertemu dan bicara empat mata dengan Ningning nyatanya hanya bisa jadi impian saja.

Ningning menolak untuk bertemu lagi. Tapi beruntung gadis itu tidak menolak untuk berkirim pesan dengannya.

[Ningning] : Aku tidak mungkin menemuimu sekarang. Harusnya kau bicara dengan Minjeong, bukan aku.

[Jeno] : Dia sudah bicara banyak padaku tadi.

[Ningning] : Sudah selesai kalau begitu.

[Jeno] : Antara kau dan aku, sepertinya belum.

[Ningning] : Soal apa?

[Jeno] : Katakan padaku alasanmu mendekatiku.

[Ningning] : Apa yang ingin kau dengar?

[Jeno] : Apa saja yang ingin kau katakan, aku ingin mendengarnya.

[Ningning] : Baik lah, tapi aku hanya akan mengetikannya saja, bukan meneleponmu. Kekeke~

Jeno tersenyum disela acara berbalas pesan dengan perempuan yang sempat membuat hatinya meletup-letup seperti kembang api ini.

[Ningning] : Dari mana aku harus memulainya?

[Jeno] : Dari pertemuan kita di bar, mungkin?

[Ningning] : Baik lah. Pertemuan kita di bar sudah kuatur sendiri. Awalnya Minjeong yang mencari segala informasi tentangmu agar bisa tinggal di daerah yang sama denganmu.

[Ningning] : Dia dengar dari mata-matanya bahwa kau sering mabuk di bar dekat kontrakan kami, jadi dia mulai mengawasimu dari kejauhan. Selanjutnya, dia memintaku mengawasimu juga.

[Jeno] : Kenapa kau harus ikut mengawasiku?

[Ningning] : Kami punya kerja paruh waktu yang tidak bisa ditinggalkan untuk membayar sewa kontrakan, jadi harus bergantian mengawasimu.

[Jeno] : Kenapa kalian bekerja? Kulihat kalian seperti anak orang kaya.

[Ningning] : Kekeke~ aku memang masih punya orang tua yang mau menyekolahkanku. Tapi kalau Minjeong, dia kuliah dengan sisa tabungan ibunya. Dan untuk kontrakan, aku dan Minjeong sudah bersepakat untuk membayar sewa tahunan dengan uang milik kami sendiri.

[Jeno] : Kemana ayahnya yang baik hati itu?

[Ningning] : Dia kabur ke luar negeri. Sekarang tidak ada kabar.

[Jeno : Aku turut menyesal mendengarnya.

[Ningning] : Terima kasih. Minjeong pasti akan senang mendengar ini.

Jeno menggigiti bibirnya. Ia ragu-ragu hendak menuliskan kalimat selanjutnya, takut menyesal. Tapi ia sangat penasaran kalau tidak ditanyakan saat ini juga.

[Jeno] : Ningning?

[Ningning] : Ya?

[Jeno] : Adakah alasan lain kenapa kau mau ikut mengawasiku?

[Ningning] : Selain karena Minjeong dan ibunya? Tidak, aku murni membantunya karena dia teman baikku.

[Jeno] : Sama sekali tidak ada?

[Ningning] : Oh, astaga. Maafkan aku.Sepertinya pembicaraan ini mulai melebar. Aku sudah berpacaran dengan teman satu kampusku. Aku juga tidak ada rencana sama sekali untuk mendekatimu sebagai teman kencan.

[Ningning] : Maaf sudah mengganggumu. Aku sungguh minta maaf.

[Ningning] : Karena kau kakak dari sahabatku, aku sudah menganggapmu sebagai kakakku juga.

Jeno membanting ponselnya ke lantai. Luka di hatinya makin menganga saja.

🌠 To be continued 🌠

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Aku akan kembali setelah lebaran. Jadi, tunggu saja ya. (⌒_⌒;)

Mohon maaf lahir dan batin, semua ♡´・ᴗ・'♡🙏

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang