💧 Kau Harus Tahu 💧

1K 137 2
                                    

Jeno sedang duduk manis di ruang tamu rumah bercat pink ini. Si pemilik rumah yang bernama Minjeong sedang menyuguhkan teh di meja, sementara Ningning berdiri menyandar pada tembok penyekat ruang tamu dan kamar tidur.

Otak si laki-laki ini berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tapi tidak bisa. Ia mual, ingin sekali bayang-bayang tentang Ningning yang mengatakan bahwa Minjeong adalah adiknya segera lenyap dari kepala.

Jeno butuh alkohol sekarang. Apakah meminta alkohol di rumah orang asing adalah hal yang sopan?

"Dengar, aku minta maaf sudah mengacaukan segalanya, Minjeong. Tapi ini saatnya kau mengakui apa yang selama ini terjadi. Aku bisa pergi dulu kalau kalian butuh waktu berdua." Ningning yang sedari tadi menggigiti kuku tangannya angkat suara.

Minjeong menggeleng sambil tersenyum. "Jangan pergi. Kau di sini saja. Aku mungkin akan canggung mengakui semuanya di depan kak Jeno. Jadi, kau harus membantuku."

Minjeong dan Ningning saling berpandangan dan tersenyum. Jeno hanya jadi penonton di sini, menyaksikan dua orang asing yang tiba-tiba masuk ke hidupnya dan bilang akan mengakui sesuatu.

"Kak Jeno," Minjeong memanggilnya.

"Ah maaf, bolehkah aku memanggilmu begitu?" Minjeong menatap khawatir pada Jeno yang diam saja.

Ia takut Jeno akan membencinya karena sudah terlanjur mengaku.

Jeno mengangguk. "Tentu, tidak masalah. Lanjutkan saja apa yang ingin kau ceritakan padaku."

Minjeong mengangguk, ia segera menyamankan duduknya. Baiklah, hal yang ia sembunyikan selama 22 tahun hidup di dunia ini akhirnya akan terbongkar.

"Kak Jeno, sebetulnya ada sesuatu yang belum kau ketahui tentang kematian orang tuamu."

Badan Jeno tiba-tiba kaku, ada rasa kesal ketika orang lain yang menyebut-nyebut orang tuanya lagi. Mereka sudah tiada, jadi bisakah tidak ada yang mengungkitnya lagi? Biarkan kedua orang tuanya damai di alam lain sana.

"Tapi aku akan bercerita dari awal dulu supaya kau tidak bingung." Minjeong berdeham sekilas, membuat suaranya senormal mungkin.

"Ayahmu dan ibuku dulunya adalah sepasang kekasih, tapi mereka tidak direstui oleh orang tua dari ayahmu. Ibuku bukan orang terpelajar, dia hanya buruh di pabrik, jadi orang tua dari ayahmu kesal sekali ketika mengetahuinya."

Minjeong menghela napas sebentar, lalu ia menatap Ningning. Ia ingin bilang tidak bisa menceritakan lebih jauh, tapi Ningning mendekat dan menepuk-nepuk bahunya.

"Akhirnya ayahmu menikah dengan ibumu. Tapi di sisi lain, dia tetap mempertahankan hubungannya dengan ibuku. Saat ibumu sedang hamil tua, ayahmu malah makin sering menemui ibuku. Yah, kau tahu lah. Setelah itu terjadilah aku."

Jeno menahan napas, hidungnya kembang kempis menahan emosi, dan matanya merah menahan tangis.

"Aku lahir satu tahun lebih muda darimu. Saat itu, ibuku kira ayahmu sangat menyayanginya, apalagi dia sedang punya bayi perempuan yang lucu. Tapi…"

Minjeong mendongak, menahan air mata agar tidak turun dulu sebelum ia selesai bicara. Perempuan ini tahu pasti ketika sudah menangis, maka ia tidak akan mudah berhenti. Semua yang dirinya dan ibunya lalui benar-benar menyakitkan. Mungkin dengan mengatakan yang sejujurnya pada Jeno akan mengurangi kesengsaraan mereka.

"Begitu ibuku menghubungi ayahmu, dia malah tidak pernah mengangkatnya. Ibuku marah dan meminta bertemu. Di situlah, ayahmu mengakui hal yang membuatnya terkejut setengah mati."

Jeno masih senantiasa mendengarkan. Meski menyakitkan, tapi dia tidak bisa tiba-tiba pergi meninggalkan pembicaraan serius ini.

"Ayahmu bilang dia tidak membutuhkan ibuku lagi karena sudah punya anak laki-laki. Kau pasti tahu kan kalau anak laki-laki selalu jadi kebanggaan keluarga?"

Jeno tidak menjawab apapun, mengangguk pun tidak.

"Ibuku jadi setengah gila setelahnya, dia mulai mabuk-mabukan dan pekerjaannya berantakan. Tapi beruntungnya, dia bertemu seseorang, dan mereka menikah. Akhirnya aku bisa melepaskan marga 'Lee' menjadi 'Kim'. Ayah baruku orang yang sangat baik, aku juga sangat menyayanginya."

Minjeong tidak tahan lagi untuk tidak menangis, dia sesenggukan sekarang sambil memegangi dadanya yang sakit.

"Jadi, ibumu akhirnya bisa melupakan ayahku?" Tanya Jeno hati-hati.

Minjeong mengiyakan. "Ya, dia akhirnya melupakan ayahmu dan kami hidup bahagia sampai aku berumur dua puluh tahun."

"Aku turut bahagia atas kebahagiaan kalian." Jeno tersenyum tulus.

Minjeong justru menatap sedih pada Jeno yang belum mendengar ceritanya sampai selesai.

"Terima kasih, tapi ceritanya belum berakhir sampai di sini. Saat ibuku sedang dalam perjalanan ke tempat kerja, dia tidak sengaja berpapasan dengan ayah dan ibumu, dan kau juga."

Ningning yang tidak tahan karena ceritanya terlalu lama langsung memotong kalimat Minjeong.

"Ibu Minjeong sangat merindukan ayahmu setelah puluhan tahun tidak bertemu, tapi dia tidak berani karena kalian nampak sangat bahagia. Karena perasaan dibuang itu lah, dia mulai merencanakan hal jahat."

Minjeong menangis lagi, menangisi ibunya yang ada di balik jeruji besi sekarang.

"Apa yang terjadi?" Jeno sudah tahu akhirnya akan kemana, tapi ia tetap ingin mendengarnya.

Ia ingin setidaknya mendapat kejelasan atas kematian orang tuanya yang masih menyisakan tanda tanya besar di kepalanya sampai sekarang.

"Ibu Minjeong sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil orang tuamu. Sekarang dia dipenjara seumur hidup."

Badan Jeno melorot ke lantai, air matanya mengalir sendiri, dan tangannya mencengkeram rambutnya kuat-kuat.

Selama ini, Jeno hanya tahu kalau orang tuanya mengalami kecelakaan. Pelakunya sempat kabur tapi tidak lama menyerahkan diri ke polisi. Dia kira pelaku itu hanya sekadar merasa bersalah saja karena sudah menghilangkan nyawa orang lain, tapi nyatanya dia justru melakukannya dengan sengaja.

Jeno tidak sesenggukan, ia justru tertawa pelan setelahnya. "Bolehkah aku pulang sekarang?"

💧 To be continued 💧

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Ga tega jadinya astatang (╥_╥)

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang