💠 Aku Tidak Tahu 💠

1.5K 187 0
                                    

Malam tiba, tapi Karina ternyata tidak bisa pulang karena ada acara makan-makan di kantor. Jeno yang kesepian berakhir mendaratkan diri lagi di bar. Hanya tempat itu yang menyenangkan baginya.

Setiap tetes alkohol yang mengalir lewat kerongkongan benar-benar memberikan efek yang luar biasa pada dirinya. Jeno bisa menjadi apa saja ketika mabuk, bahkan ia bisa menceritakan keluh kesahnya pada orang asing sepanjang malam di bar. Meminta orang asing untuk memaki relasi ayahnya yang selalu saja melemparkan tatapan kasihan pun ia lakukan, dan para orang asing itu tidak keberatan untuk menuruti permintaannya.

Memang, Jeno sudah berniat berhenti minum. Tapi mungkin tidak sekarang, jangan untuk malam ini. Tidak ada Karina adalah saat yang paling tepat untuk menenggak alkohol tanpa ditatapi sinis, ataupun diceramahi macam-macam. Yah, walaupun Karina sendiri belum pernah benar-benar marah padanya karena terlalu sering minum. Paling-paling gadis itu hanya akan membuang semua persediaan alkoholnya di kulkas kalau ia ketahuan minum di rumah.

Itulah kenapa ia tidak bisa lagi minum di rumahnya sendiri.

"Ah, dasar sialan! Semua orang sialan! Kalian pikir cuma aku yang menyedihkan di sini? Seenaknya menatapku seperti itu!" Jeno berjalan sempoyongan sendirian keluar bar.

Ia menyetop taksi yang lewat.

"Mau kemana, pak?"

"Diam saja kalau tidak tahu apa-apa! Kalau kalian tidak bisa mengembalikan orang tuaku, jangan mengasihaniku!"

Si supir taksi agaknya ngeri karena penumpang satu ini benar-benar tidak sinkron saat menjawab pertanyaannya.

"Pak, mau kemana?"

"Aku mau pulang."

💠💠💠

Jeno lagi-lagi ada di ruang makan, ditatap Karina luar biasa sinis. Sudah biasa kok ia mendapati situasi semacam ini, hanya saja Karina yang tidak tenang terus-menerus menggigiti kuku jempolnya.

"Rin,"

"DIAM!"

Jeno mengkeret, tidak tahu lagi harus berbuat apa. Memang salahnya karena memberikan seluruh uang yang ada di dalam dompetnya kepada supir taksi tadi malam.

"Kau! Katakan sekali lagi berapa total uang yang ada di dompetmu."

"Eumm, dua juta?"

"Dua juta? Jen, kau harus segera sadar. Sudah berapa kali kubilang untuk berhenti minum? Ini berbahaya tahu, mungkin masih ada banyak orang jahat lain di luar sana. Kalau kau mabuk terus, entah hal buruk lain apa yang akan terjadi padamu."

"Rin, tenanglah,"

"Aku bisa tenang kalau sudah kupukul kepalamu itu dengan batu."

Jeno bergidik ngeri. Ia tahu tidak bisa mengimbangi Karina yang sedang marah, tapi tidak memberikan pendapat apapun juga bisa memperparah keadaan. Sama halnya dengan Jeno yang bisa melakukan apapun saat mabuk, Karina juga bisa melakukan apapun saat marah.

"Aku akan telepon polisi!"

"Rin, jangan! Itu hanya beberapa lembar uang saja. Dia tidak mengambil kartu debitku sama sekali. Aku masih punya uang."

"Mana bisa begitu, Jen? Dia pencuri. Sekali mencuri, selamanya akan mencuri. Bagaimana kalau kau mabuk dan naik taksi itu lagi? Aku tidak bisa membayangkannya."

"Maaf."

"Makanya kubilang berhentilah minum."

"Baik lah."

Pagi itu harusnya mereka makan dengan khidmat di ruang makan rumah Jeno, tapi lagi-lagi Jeno sendiri menghancurkannya dengan kisah konyolnya selama mabuk. Teramat membuat Karina frustasi.

"Jen," Karina berinisiatif memanggil Jeno yang melamun tanpa menyentuh sarapannya.

"Hmm?"

"Kulihat tadi malam kau membawa pulang perempuan lagi. Tidak mau cerita?"

Jeno membelalak. "Benarkah?"

"Kau tidak ingat?" Karina mengelap pinggiran mulutnya dengan tisu begitu selesai makan.

Jeno menggeleng. "Tidak, setahuku aku pulang sendiri."

Benarkah apa yang dikatakan Karina?

Sepertinya Jeno agak lupa untuk yang satu ini. Seingatnya dia hanya mengajak bicara salah satu perempuan di bar tadi malam, menceritakan betapa menderita hidupnya di usia 23 tahun ini. Harusnya di usia yang segini dia sedang menikmati kisah cinta seperti anak muda kebanyakan. Tapi ia tidak ingat kalau membawa perempuan itu pulang. Bahkan saat naik taksi pun rasanya hanya seorang diri.

"Kau sudah pulang saat aku pulang?"

Karina mengangguk. "Ya, aku belum lama pulang saat itu."

"Dia seperti apa? Maksudku, apakah pakai rok pendek dan sepatu berhak tinggi?"

"Tidak tahu, aku hanya mendengar kalian tertawa saja. Aku tidak melongok ke luar karena takut mengganggu kalian."

"Oh." Jeno mengangguk lemah.

"Baik lah, kurasa ini waktunya berangkat kerja." Karina menepuk roknya sebentar, siap meraih tas kerja yang tergeletak di sofa.

Namun sebelum Karina pergi, Jeno menahan lengannya. "Naik mobilku saja, sudah lama kita tidak berangkat bersama."

Karina tersenyum tipis. "Apa kau lagi-lagi merasa bersalah padaku?"

Jeno mengangguk takut.

"Sudah kubilang jangan merasa bersalah padaku. Mabuk atau tidak kan yang menanggung dirimu sendiri."

"Tapi kau selalu marah setiap kali aku mabuk."

Mendengarnya membuat Karina memutar bola mata. Ia sangat kesal pada Jeno yang bebal, meski begitu ia selalu menahan diri untuk tidak mengamuk.

"Aku hanya khawatir padamu. Aku harap kau bisa berubah jadi lebih baik."

Jeno hanya bisa terdiam mendengarkan.

💠 To be continued 💠

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Maaf ya alurnya lambat banget 😄

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang