💎 Kebenarannya 💎

1.1K 140 13
                                    

Pagi ini Karina berjalan dengan tergesa ke rumah Jeno. Dibukanya pintu depan yang tidak pernah dikunci kalau orangnya sedang ada di rumah.

"Jeno, bangun!" Teriaknya menggema ke seluruh ruangan.

Tidak ada jawaban, Karina bergerak ke kamar Jeno. Di sana, ada si bongsor yang masih telungkup dengan balutan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Selimutnya tersibak entah kemana.

"Jeno," Karina menyentuh pantat Jeno dengan kakinya.

Masih tidak ada jawaban.

Sungut Karina mulai nampak, ia berdecak beberapa kali hingga akhirnya memutuskan untuk berbisik di telinga Jeno.

"Jeno, bangun. Kau harus ke Busan hari ini."

Awalnya Karina akan berteriak di telinga si tetangga kalau ia tidak juga bangun, tapi bisikannya tadi saja sudah cukup membuat Jeno terbelalak.

Nah kan, dia pasti lupa harus ke Busan jam sembilan pagi ini.

Di lain sisi, Jeno terkejut karena hal berbeda. Bisikan Karina di telinganya tadi seolah mengingatkannya pada suatu hal yang familiar.

Dikatupkan matanya lagi, mencoba berpikir. Seseorang berbisik di telinganya, menggumamkan namanya di saat sedang kesakitan, dan…

dan…

Segalanya gelap lagi.

"Jangan tidur lagi. Sekarang sudah jam delapan, dan kau harus pergi jam sembilan." Karina mau tak mau menyeret si bayi besar untuk segera bangun dari tidurnya.

"Iya iya, aku tidak tidur lagi. Tapi darimana kau tahu aku akan ke Busan?"

Satu bantal mendarat tepat di kepala Jeno.

"Jaemin berkali-kali meneleponmu tapi tidak kau angkat."

"Baik lah, aku akan mandi sekarang." Jeno beranjak dari kasurnya, tidak tahan terus menerus ditatap tajam oleh Karina yang galak seperti ibu mertua.

"Cepat lah, aku akan membawakan sarapan."

Dengan berakhirnya pembicaraan mereka, Karina berjalan keluar dari kamar Jeno, kembali ke rumahnya sendiri untuk menyiapkan sarapan secepat mungkin.

Jeno sendiri sedang mandi sambil bersenandung, hobinya tiap hari.

Andai baik Jeno maupun Karina sadar, aktivitas mereka tiap pagi ini sudah sangat mirip apa yang biasa dilakukan sepasang suami istri. Yah, mungkin suatu saat nanti mereka akan sadar dan berhenti karena canggung.

Atau berhenti karena sudah mendapat pasangan masing-masing.

Waktu berselang, Karina sudah menyiapkan sarapannya di meja. Jeno keluar dari kamar, sudah bersetelan jas hitam. Mereka saling melempar senyum di meja makan, entah untuk alasan apa.

"Apa kau akan menginap?" Karina menopangkan dagunya di meja, belum ada niatan untuk makan.

Jeno menelan seperempat sarapannya sebelum menjawab. "Iya, dua hari."

"Kenapa harus menginap?" Karina merengut, tapi Jeno tidak menyadarinya karena ia sibuk makan.

"Kami harus rapat sekaligus menengok bangunan baru. Dua hari saja sangat sibuk nanti."

"Oh, baiklah. Jaga kesehatanmu." Karina mengendikkan bahu dan memulai sarapannya.

Jeno terkekeh sebentar, ia mengelus puncak kepala Karina. "Kau juga jaga kesehatanmu. Tenang saja, nanti aku pulang bawa oleh-oleh."

Mati-matian Jeno berusaha mengabaikan desir di dadanya tiap kali bersentuhan kulit dengan Karina.

💎💎💎

Malam ini, Karina hanya seorang diri di rumah. Matanya tidak lepas dari televisi sejak tadi, sedang menonton drama favoritnya yang sebentar lagi tamat.

Namun baru setengah jalan menonton, ia merasakan sakit di bagian leher dan bahunya. Ia langsung saja membuka kaosnya, menampilkan luka segar yang baru saja kemarin malam muncul di tubuhnya.

Ini semua ulah Jeno. Si tukang mabuk itu tidak akan pernah sadar kalau selama ini Karina lah yang sudah ia tiduri. Si berisik yang selalu salah rumah ketika pulang dari bar itu juga tidak akan pernah tahu bahwa beberapa area tubuh bagian atasnya memerah karena gigitan keras, bahkan ada yang berdarah.

Masih beruntung lehernya bisa ia tutupi dengan koyo, dan beralasan pada Jeno bahwa lehernya sedang pegal karena terlalu sering menatap layar komputer di kantor.

Karina tentu saja akan membuka koyonya saat di kantor, membiarkan orang-orang berasumsi semaunya atas luka di lehernya yang selalu kentara. Biarkan saja, toh memang benar merah di leher ini karena bekas serangan di ranjang.

Karina meneteskan air mata ketika betadine menyentuh lukanya. Semua ini sangat menyakitkan tahu, dan lebih sakit lagi karena Jeno tidak tahu apa yang sudah ia perbuat terhadapnya. Terhadap tubuhnya yang sudah tidak mulus lagi.

Si pelupa itu hanya akan selalu berteriak di depan pagar rumahnya tiap malam ketika mabuk, salah rumah. Karina pikir awalnya tidak akan mungkin orang ini salah rumah, karena warna rumah mereka saja berbeda.

Tapi mungkin karena dekorasi eksteriornya sama, Karina jadi paham kenapa Jeno selalu bertindak semaunya.

Apa yang bisa Karina lakukan hanyalah membukakan pagar rumah dan menuntun Jeno masuk ke dalam kamar. Niat hati ingin memberikan tempat nyaman pada si tetangga untuk tidur, malah berbuah celaka. Jeno menarik tubuhnya dan mengajaknya melakukan itu tiap kali kesadarannya tidak terkontrol.

Kalau Jeno sudah benar-benar hilang kesadaran, Karina akan segera berpakaian lagi. Ia sendiri yang menyeret Jeno kembali ke rumahnya, merogoh kunci rumah di kantong celana lelaki itu, dan mengembalikannya ke tempat dimana seharusnya Jeno berada.

Tanpa Karina sadari, kedatangan Jeno terjadi berulang-ulang hingga menumbuhkan perasaan asing di hatinya. Dan sekarang, Karina tidak tahu bagaimana menghentikan perasaan yang terus-menerus merambat ini. Ia ingin berhenti, tapi kehadiran Jeno tiap hari di sekitarnya nampaknya tidak membantu sama sekali.

"Aw, perih." Rintihnya lagi, masih menangis.

Ia mengobati lukanya sendiri, tanpa seorang pun melihat.

💎 To be continued 💎

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Gimana ini, pak ustad? 😱😱😱

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang