💙 Si Pemaaf 💙

1K 109 1
                                    

Karina bangun dengan perut yang agak nyeri. Ini sudah dua minggu semenjak jadwal cek kandungan terakhirnya, juga sudah tiga hari semenjak ia sering muntah di pagi hari. Rasanya sangat menyiksa, tapi sekaligus tidak enak hati karena harus membuat Giselle ikut terbangun dan memijat leher belakangnya. Harusnya sih Jeno yang bertanggung jawab atas penderitaannya ini.

Begitu selesai dengan semua kegiatan paginya termasuk mandi, Karina beranjak keluar kamar dengan pakaian yang lebih rapi. Dilihatnya sepasang manusia yang sedang sibuk berkutat di dapur, bermain-main dengan tepung dan adonan.

"Kalian sedang apa?" Karina hampir tertawa melihat wajah Jaemin dipenuhi tepung.

"Giselle sedang mencoba membuat kue cokelat, tapi dia marah saat aku membantunya. Jadi wajahku ditaburi tepung begini."

"Kau tidak membantuku, Jaemin. Tadi saja kau masukkan cangkang telur ke adonan rotinya." Giselle mendelik masih sambil menaburi tepung ke wajah Jaemin.

"Aku kan sudah bilang tidak sengaja tadi."

Karina yang mulai ngeri dengan keganasan Giselle menyiksa Jaemin agaknya menyesal sudah bertanya.

"Ah, baiklah, baiklah. Kalian bisa lanjutkan kegiatan kalian. Aku akan ke rumah Jeno dulu."

Sementara itu di rumah sebelah, nampak lah si tetangga yang tengah tiduran di atas sofa. Matanya tidak lepas dari ponsel. Pikirannya menerawang jauh, ke kejadian hari kemarin dimana ia bicara dengan ibu Minjeong.

"Aku minta maaf, Jeno. Aku sungguh menyesalinya sekarang."

"Justru saya yang harusnya meminta maaf pada Anda. Saya minta maaf atas nama ayah dan ibu saya yang sudah menghancurkan hidup Anda." Jeno tertunduk.

Ibu Minjeong tersenyum sembari menitikkan air mata. "Aku sudah memaafkan ayahmu, dan aku berharap dia juga memaafkanku. Keserakahanku membuat hidup Minjeong jadi hancur juga. Aku merasa sudah tidak punya tempat lagi untuk hidup."

"Ibu, jangan bilang begitu." Minjeong hampir menangis lagi.

"Tidak apa, sayang. Hidup seperti ini sudah sebanding dengan perbuatan ibu. Kau hidup lah dengan baik mulai sekarang." Satu tangan ibunya di arahkan ke kaca pembatas, ingin mengusap air mata anaknya meski tidak bisa.

"Dan Jeno, selama ini aku hanya ingin ayahmu mau menganggap Minjeong sebagai anaknya juga. Tapi karena sekarang sudah tidak bisa lagi, aku hanya berharap kau tidak akan membenci Minjeong. Semua ini salahku, Minjeong tidak tahu apa-apa."

Jeno mengangguk paham, ia memandangi raut wajah ibu Minjeong yang nampaknya sangat menderita. Tinggal di tempat terasing seperti ini pasti juga rasanya menyakitkan.

"Oh iya, Jeno. Bolehkah aku minta tolong sesuatu padamu?"

Jeno dengan sigap menegakkan tubuhnya. "Tentu saja, saya akan membantu apapun yang Anda butuhkan selagi saya bisa."

Sembari mengatupkan matanya perlahan, Jeno tersenyum. Ia baru saja selesai berkirim pesan dengan Minjeong. Ia meminta gadis itu membelikan dua buket bunga untuknya dan untuk gadis itu sendiri, karena ia mungkin tidak punya waktu menyiapkannya sendiri. Mereka akan pergi ke suatu tempat besok pagi. Satu langkah lagi menyelesaikan masalah ini, dan hatinya pasti akan lebih lega nantinya.

"Jeno, kau sedang apa?" Lantunan suara indah milik seseorang yang Jeno kenal baik membuatnya membuka mata.

"Hai, sayang," Jeno menyapa Karina yang langsung melemparkan senyum.

"Hai, kau baik-baik saja?" Karina sebenarnya penasaran kenapa Jeno senyum-senyum sendiri semenjak ia menginjakkan kaki di ruang tamu.

"Sini, berbaringlah," Jeno menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Karina menurut, ia baringkan tubuhnya dan membiarkan Jeno bergerak sedikit untuk memiringkan tubuhnya. Mata mereka saling bertatapan.

"Kau baik-baik saja?" Ulang Karina masih penasaran.

"Ya, aku baik-baik saja."

"Bagaimana dengan kemarin?"

"Baik kok, ibu Minjeong sangat baik padaku. Dia terus menerus minta maaf, padahal sudah kubilang padanya kalau ayahku yang bersalah."

Karina tersenyum lembut. "Kau sudah tidak mempermasalahkannya lagi? Orang tuamu yang disalahkan tidak membuatmu marah lagi?"

Jeno mengendikkan bahu. "Siapa saja anak yang mendengar orang tuanya dijelek-jelakkan pasti marah. Tapi kali ini kasusnya berbeda, ayahku memang bersalah karena mengkhianati ibu Minjeong."

"Kadang aku berpikir mungkin ada baiknya kalau ayahku tidak usah menikahi ibuku dan meneruskan hidupnya dengan ibu Minjeong, dia pasti masih hidup sekarang." Jeno menambahkan.

Karina menggeplak kepala Jeno keras. "Sadarlah, kau tidak akan lahir ke dunia kalau hal itu terjadi."

Jeno mengusap kepalanya sambil cengengesan. "Iya juga sih. Nanti kau tidak akan bertemu orang yang setampan aku di hidupmu."

Tawa Jeno makin menjadi saat Karina mencubit perutnya, kesal sekali dengan kalimat si tetangga yang kelewat percaya diri.

"Hei, kalian," Jaemin menyembul dari pintu, membuat Jeno dan Karina tersentak kaget. Wajahnya sudah bersih dari tepung.

"Masih pagi sudah mau mesum saja." Sesungguhnya Jaemin hanya sedang iritasi melihat temannya bermesra-mesraan, sementara dirinya baru saja dapat hukuman brutal dari Giselle.

"Siapa juga yang mau mesum? Kami sedang bicara serius sebelum kau datang." Sewot Jeno.

Jaemin yang masih tidak percaya hanya mencebikkan bibirnya. "Sudahlah, ayo kita semua ke rumah sebelah. Sebentar lagi kue yang dibuat Giselle akan segera matang."

"Aku baru tahu kalau Giselle bisa membuat kue." Jeno tersenyum lebar, kebetulan ia sedang lapar sekarang.

"Sebenarnya ini percobaan pertamanya sih. Giselle ingin membuat kue sejak melihat Karina punya semua peralatannya di dapur."

Baik Jeno dan Karina saling berpandangan. Semoga mereka bukan kelinci percobaan. Atau kah mereka harus kabur saja sekarang?

💙 To be continued 💙

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Aku up lagi biar sekalian tamat ya, maaf spam ♡´・ᴗ・'♡

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang