🌊 Bukankah Kita Teman? 🌊

1K 149 1
                                    

Jeno melonggarkan dasinya, ia baru saja rapat dengan para petinggi hotel. Rencana pembangunan hotel cabang baru di Busan sangat sulit mencapai kesepakatan. Kalau masing-masing orang terus berselisih paham, bisa-bisa makin lama juga investor menggelontorkan dana. Hal ini hanya membuat Jeno si bos pemalas harus memutar otak lebih cepat dari biasanya.

Ia lantas masuk ruangannya sendiri sambil membanting pintu. Di depannya kini ada laptop yang menyala, banyak email masuk tapi ia belum sanggup membacanya.

"Giselle, segera masuk ke ruangan saya." Jeno bicara lewat interkom yang ada di mejanya.

Tak perlu waktu lama bagi Giselle untuk masuk dengan raut bingung. Pekerjaannya saja membuat laporan beberapa jam yang lalu belum beres, sekarang sudah ada panggilan lagi.

"Ada masalah apa, pak?"

Jeno menunjukkan laptopnya ke depan kursi Giselle yang baru saja duduk. "Baca semua email yang masuk."

Giselle menatap lelah bosnya yang selalu memaksa. "Semuanya, pak? Tapi totalnya ada dua ratus lebih pesan."

Jeno melotot untuk membuat Giselle diam. "Bacakan saja, oke? Yang kira-kira penting dibalas, yang tidak penting diamkan saja."

"Baik, pak."

Dalam hati Giselle meraung karena tidak tahu harus bagaimana membalas pesan milik bosnya ini, apalagi kalau email yang masuk ternyata berisi pesan pribadi.

"Kebanyakan hanya relasi pak manajer yang meminta bergabung dengan hotel ini. Apakah perlu saya balas?"

"Bergabung? Maksudnya?"

Sudah dibilang bergabung ya bergabung, kenapa masih saja tidak paham sih? Dasar minta dipukul kepala si bos ini.

Giselle ingin mengumpat kalau saja dia tidak ingat dirinya hanyalah seorang karyawan baru.

"Ya bergabung, pak. Mereka mau menanamkan saham di hotel pak manajer."

"Oh," Mulut Jeno membulat sempurna.

"Biarkan saja aku yang membalas itu nanti. Lalu, ada yang lain?"

Giselle mengangguk. "Ada beberapa berkas lamaran kerja juga."

"Lamaran kerja? Kenapa mereka mengirimkannya ke emailku?"

Giselle terkikik pelan. "Mungkin mereka baru pertama kali mendaftar kerja, jadi salah informasi."

"Ya sudah, yang itu diamkan saja."

Giselle mengangguk lagi. Ia hampir keluar ruangan kalau saja Jeno tidak menahan lengannya.

"Mau kemana? Aku belum selesai bicara."

"Oh, pak manajer butuh bantuan lain?"

Jeno mengangguk. "Tentang penawaranku minggu lalu, apa kau sudah setuju?"

Awalnya Giselle tidak mengerti, karena tentunya ada begitu banyak hal yang sudah ia bicarakan dengan Jeno, dan semuanya masalah pekerjaan. Tapi kalau soal penawaran yang sudah sempat dibahas, agaknya Jeno memintanya untuk pindah rumah lagi.

"Ah tentang itu, saya..."

"Ayolah, temani Karina. Aku ingin dia punya banyak hal untuk dilakukan, daripada menceramahiku terus."

Oh, ternyata permintaan ini hanya menyangkut kepentingan dirinya saja. Pantas saja dari awal Giselle tidak percaya saat Jeno bilang jarang pulang, kerjaannya saja hanya duduk di ruangan seharian. Andai Jeno bukan bosnya, Giselle sudah menolak dari jauh-jauh hari.

"Baik lah, saya akan pindah ke rumah teman pak manajer."

Untuk kali ini saja, ia akan biarkan si bos ini mengaturnya.

"Tapi bulan depan, karena sewa rumah saya masih berjalan."

Senyum di wajah Jeno kian mengembang. "Tentu, tidak masalah."

🌊🌊🌊

Malam ini Jeno agak pusing karena menatap layar laptop lama sekali. Ia membalas email yang diterima Giselle tadi siang, memilah kalimat yang bagus untuk menyetujui beberapa investor yang ingin bergabung. Jeno sedang dalam masa gawat darurat untuk segera menyelamatkan hotel milik ayahnya. Cabang hotel di Busan harus segera dibangun.

Jeno menengok sofa panjang di sampingnya, yang mana ada Karina sedang tertidur lelap sambil meringkuk.

Karina memang selalu ke rumahnya tiap malam, menyiapkan makanan. Terkadang Jeno merasa kasihan karena Karina sendiri pasti lelah setelah seharian bekerja, tapi tidak pernah berhenti peduli barang sedikit pun pada tetangga yang tidak tahu diri ini.

Karina menggeliat dalam tidurnya dan meringkuk lagi. Dia pasti kedinginan.

"Huh, kenapa kau tidak ambil selimut sih tadi?"

Jeno bangkit berdiri, berjalan menuju kamar dan meraih satu selimut yang baru dicuci dari dalam lemari. Ia segera keluar lagi dan memakaikan selimutnya ke atas tubuh Karina.

Selesai mengurus si bayi besar, Jeno segera duduk kembali untuk mengurusi email yang belum tersentuh. Tapi ternyata angin malam berhembus kencang lewat jendela yang sedikit terbuka, dan membuatnya yang hanya memakai kaos lengan pendek jadi kedinginan.

Malas menutup jendela, akhirnya Jeno memutuskan untuk tiduran di samping Karina. Walaupun sisa tempat di sofa hanya tinggal sedikit, tapi ia tetap memaksa untuk tiduran, membuat Karina menggeliat lagi dan meluruskan kaki.

"Aku akan tiduran sebentar di sini."

Toh memang sejak kecil mereka sering tidur berdampingan begini di ruang tamu, jadi Jeno pikir Karina tidak akan marah kalau ia menumpang tempatnya sebentar.

"Selamat malam, Rin. Mimpi indah."

Begitu baru saja menutup mata, Jeno justru tidak bisa tidur. Ia membuka mata lagi, setengah membelalak. Masalahnya, Karina yang sedari tadi mencari posisi tidur lebih nyaman justru memeluk perut Jeno.

Desir di hati Jeno muncul lagi, dan ia meneguk ludah saking groginya. Ia sendiri tidak tahu kenapa perasaan seperti ini muncul secara tiba-tiba, dan hanya pada Karina saja ia merasakannya. Padahal kalau ditengok dari durasi pertemanannya, ia dan Karina sudah saling mengenal satu sama lain dalam jangka waktu yang lama. Sudah seperti saudara malah.

Yang begini biasa saja dalam pertemanan, bukan?

Ia lantas berusaha mencondongkan wajahnya ke wajah Karina. Astaga, bau alkohol. Rupanya sebelum ke sini Karina sudah mabuk, dan Jeno tidak tahu sama sekali karena fokusnya hanya pada email.

"Kau ada masalah, Rin? Kenapa tidak ceritakan padaku?"

Tapi Karina jelas diam saja, pengaruh alkohol tidak mungkin membuatnya bisa bangun hanya karena mendengar suara lirih Jeno di samping telinga.

🌊 To be continued 🌊

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Petunjuk makin jelas, kapten ♡´・ᴗ・'♡

Redup • Lee Jeno x Yoo Karina ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang