IAL 16

1.5K 155 0
                                    

Setelah kejadian hari itu. Marvino menyesal, sangat menyesal.

Lantaran Jericho kini menjadi lebih banyak diam. Bukan karna masih marah padanya, Marvino yakin itu.

Bahkan binar mata Jericho sedikit meredup.

Pernah Marvino bertanya, apa dia memiliki salah yang belum di maafkan Jericho, atau hal sebagainya. Namun dengan senyuman manisnya, Jericho mengelak.

Lelaki itu seperti terus menerus berfikir keras. Bahkan tubuhnya mengurus dalam waktu bulanan. Dan selama itu Marvino masih tak mengerti hal yang menyebabkan Jericho demikian.

"Marv," panggil Mama Jericho.

Sedikit terkejut, lantaran wanita itu mendatangi ruangan Marvino di pagi menjelang siang hari.

"Eh, Mimi. Masuk Mi, duduk disini."

Marvino segera bangun dari tempat duduknya dan menggiring wanita yang masih cantik itu ke sofa di ruangannya.

"Ada perlu apa, Mi?" Tanya Marvino langsung.

Bukan apa, namun wajah gelisah Rhea sangat tidak memungkinkan Marvino untuk berbasa-basi sedikit.

"Marv, Jericho kenapa?, Dia kenapa berubah?, Kalian baik-baik aja kan?, Atau Jericho lagi dapet masalah?, Dia jadi beda ke Mimi bahkan ke Pipi mu juga. Kira-kira kamu tau dia kenapa?"

Bagaimana ini?. Tidak mungkin jika Marvino mengatakan yang sejujurnya.

Disaat ini juga, Marvino masih menerka-nerka apa penyebab Jericho yang periang menjadi pendiam.

Belum sempat Marvino membalas perkataan Mimi nya, ketukan di pintu mengalihkan perhatian keduanya.

"Masuk." Ucap Marvino sembari menatapi pintu ruangan.

Saat pintu terbuka, barulah Rhea ikut menatap pada pintu, melihat siapa yang akan memasuki ruangan Marvino.

Tiba-tiba keduanya terkejut melihat Jericho datang dengan setelan jas hitam nya.

"Mama?" Tanya Jericho.

Raut yang tadi tampak keruh, di buat secerah mungkin oleh Jericho. Dia menghampiri kedua orang itu dan duduk di sebelahnya Mama nya.

"Ngapain Mama disini." Tanya Jericho.

"Main dong, tadinya mau ngajak kalian makan siang bareng sama Papa juga." Dalih Rhea dengan senyumannya yang menipu.

"Oohh, tapi Jericho siang ini mau bahas kerjaan sama Marv." Kata Jericho.

Rhea menatap Marvino meminta penjelasan dan dengan ilmu penipu yang tiba-tiba dikuasai Marvino, dia tersenyum lembut dan mengangguk kecil pada Rhea, membuat wanita itu langsung mengangguk percaya.

"Kalo gitu Mama mau ke Papa mu aja ah," kata Rhea sembari kembali membawa tasnya di tangan.

"Hati-hati, Ma!" Kata Jericho saat Ibunya sudah di depan pintu.

Lalu detik berikutnya, ruangan itu di isi keheningan melingkupi keduanya.

Meski keduanya diam, mereka saling bertatapan. Seolah-olah tanpa bersuara, hati dan otak mereka terhubung untuk menyampaikan sesuatu.

"Aku udah siap," ucap Jericho menatap lurus mata Marvino.

Tanpa perlu bertanya, topik apa yang Jericho bahas, Marvino tentu langsung memahami apa yang Jericho bicarakan.

Namun dia tidak langsung merespon.

Marvino langsung mengerti. Selama ini, Jericho terdiam lantaran memikirkan hal itu. Dia menimang-nimang untuk keputusannya tanpa Marvino minta.

Dia semakin merasa bersalah.

Dimasukannya Jericho kedekapan hangatnya dengan erat.

"Jangan bebanin diri, Sayang." Bisik Marvino.

Hanya perkataan itu, namun Jericho di buat menangis sesenggukan di pelukan Marvino.

Dia benar. Jericho terbebani, oleh rasa takutnya sendiri. Dia benar-benar takut. Seakan rasa itu menghantuinya setiap hari, membuat Jericho sulit memejamkan matanya untuk menyambut hari esok.

"Maaf," ucap Marvino.

Kecupan kecil mendarat di dahi Jericho hingga beberapa kali.

Dengan lembut Marvino mengusap jejak air mata di pipi Jericho. Di tatapnya dengan lembut mata merah Jericho.

"Denger, Lupain hal kemaren kalo emang bikin kamu terbebani, ya?. Lupain, jangan terlalu keras berfikir, Jericho."

"Kalo kamu belum siap, gak apa-apa, yang penting nanti ayo kita sama-sama speak up." Ucap Marvino dengan sangt lembut.

Usapan lembut di punggung tak elak membuat Jericho tenang. Meski seseorang memasuki ruangan Marvino, keduanya samasekali tidak memberi jarak.

Madreya. Lelaki itu sudah menjadi remaja yang masih menyandang status sebagai pelajar menengah pertama, menatap bertanya pada kakaknya.

Lalu Marvino hanya mengkode Adiknya untuk diam.

Madreya yang yang mendengar suara sesenggukan pun mendekat, duduk di sebelah Jericho yang membelakanginya karna tengah di dekapan sang kakak.

"Kakak sabar ya," ucap Madreya mengusap lembut bahu Jericho.

Mendengar suara adik dari kekasihnya, Jericho sebisa mungkin menghentikan tangisnya. Dia sedikit malu, meski bukan pertama kalinya di pergoki menangis atau sekedar mendusal di pelukan Marvino.

"Kenapa?" Tanya Madreya yang hanya menggerakkan bibir tanpa ada suara.

Marvino membentuk hati dengan tangannya lalu di buat kedua sisinya terpisah. Madreya hanya mengangguk-angguk mengerti sembari terus mengusapi bahu Jericho.

"Kak Jeri kan ganteng, pasti banyak yang mau kok, jangan sedih ya, nanti Rey bantu labrak mantan kakak deh, nanti bakal Rey ajak Baywan." Kata-kata polos khas dari Madreya itu membuat Jericho menahan tawanya.

Lantaran dia juga merasakan pelukan Marvino mengerat saat mendengar kata-kata adiknya sendiri.

"Eh, bocah. Patah hati gak cuman tentang pacar ya." Potong Marvino yang kesal sendiri.

Madreya menatap sinis pada sang kakak. "Barangkali Kak Je patah hati karna ditinggal pacarnya, kan mana tau !" Bela Madreya.

"Orang gak kok, Jericho patah hati bukan karna itu ya !, Dia masih pacaran, masih langgeng sampe sekarang, maju sini kalo mau baywan." Kata Marvino

"Kok Sini sih ?!!" Tanya Madreya dengan herannya.

Marvino terdiam, berkedip sekilas dan terlihat terkejut dengan perkataannya sendiri.

"Sana maksudnya, typo."

۝ ۝ ۝

۝ ۝ ۝

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
In Another Life ( E N D )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang