"Aku tunggu di ruangan mu."
Tulis Marvino di sticky notes itu. Segera Jericho menata laptop dan beberapa map nya, dia juga berpamitan pada sisa orang disana.
Langkah nya tergesa menuju ruangan bertuliskan CEO. Tidak mau membuat lelakinya itu semakin marah atau mungkin kecewa karenanya.
Setelah berhasil menemukan ruangan itu, segera Jericho masuk dan menemukan Marvino diruangan nya.
Lelaki itu duduk membelakangi pintu, menatap foto besar di atas lemari buku yang tingginya tidak sampai dada Marvino.
Foto Jericho yang tampak sangat amat menawan dengan jas hitam nya.
Terlihat jas Hitam tergeletak sembarangan di sofa, meninggalkan Marvino yang hanya mengenakan kemeja putih yang lengannya di tekuk hingga siku dan dasi hitamnya yang sudah mengendur.
Jericho hanya diam di tempatnya setelah menatap Marvino yang baru berbalik badan.
"Ada pembelaan?," Tanya Marvino dengan suara minim nya.
Terlalu enggan mengeluarkan nada tinggi pada lelaki di depannya.
Mendengar itu Jericho langsung merangkai kata-kata di otaknya untuk mengajukan pembelaan mengenai dua hal. Meski tak yakin hanya pembelaan.
"Marv, aku gak mau speak up. Gimana kalo nanti mereka kecewa, kita dihina, di usir? Atau bahkan sesuatu yang lebih parah dari itu?. Aku belum siap seandainya kita harus udahan, aku gak mau." Jericho langsung berkata dengan cepat dan menggebu-gebu.
"Kalo iya kita di bolehin, walau sebenarnya gak mungkin, mereka yang nanggung malu, Marv. Kita emang nanggung malu juga, tapi mereka pasti lebih-lebih. Aku gak mau nyakitin mereka, gimana pun pasti mereka kecewa, Marv. Apalagi aku, aku anak tunggal, satu-satunya harapan Mama Papa."
Jericho tertunduk, dia kalah beradu tatap dengan manik tajam Marvino yang menusuknya tanpa tindakan.
"Atau," lirih Jericho.
Matanya mulai memburam menatap sepasang sepatu hitamnya yang mengkilap. Saat dia mendongak menatap Marvino, setetes air matanya mengalir cepat di pipi.
"Udah bosen ya?, Gak mau sama Aku?, Udah suka ke cewe? Mungkin Iren?."
"Pembelaan mu untuk satu hal, Jericho!" Marvino sedikit menaikan suaranya dan menatap tajam pada Jericho.
"Dan itu hanya tentang kita, bukan yang lain." Lanjut Marvino dengan suara rendah dan penuh penekanan.
Bahkan sekarang pelipis Marvino ikut merah dengan gigi yang bergetar, menandakan lelaki itu mulai tersulut emosi. Dan berusaha dengan kuat menahannya.
"SEKARANG AKU SALAH?! EMANG SALAH AKU MEMPERTAHANKAN HUBUNGAN KITA?!. KAMU BERTINDAK GITU SEAKAN-AKAN KAMU UDAH GAK MAU SAMA AKU !." Jericho balas berteriak dan menatap nyalang pada Marvino.
"CUKUP !!!" Potong Marvino dengan suara yang begitu keras.
Bahkan Jericho berani bertaruh, suara lelaki itu akan terdengar hingga keluar ruangan.
"Kamu pikir kita bakal gini terus?, Segala hal sesuatu tentang kita bakal terus di sembunyikan?, Kamu mau nunggu kapan? Nunggu sampai kamu ngamuk di depan mereka karna ngomongin nikah-nikah ?!" Bentak Marvino di akhir kalimat.
"Kita gak bisa stuck di hubungan kayak gini, Jericho. Harus ada kemajuan. Meskipun nantinya bakal jadi akhir kisah kita, selama masih menghirup udara yang sama, ayo berjuang lagi." Lanjut Marvino.
Sejujurnya dia sakit hati melihat tambatan hatinya menangis pilu menatap nya. Apalagi air mata itu turun karna dirinya. Namun Marvino kali ini harus tegas pada Jericho.
"Ayo kita coba, Jericho, coba. Jangan berfikiran negatif tentang semua hal. Kamu mau kita cuman diem? Dan ngebiarin aku atau kamu berakhir di jodohin sama mereka?"
Suara Marvino perlahan menghalus, menatap Jericho dengan lembut meskipun wajahnya masih merah dan tampak berair matanya.
Tubuh Jericho juga perlahan meluruh, terduduk lemas di kursi terdekat dan membiarkan air mata masih mengalir melewati Pipinya.
"Aku cuma takut, Marv. Belum siap." Lirih Jericho memalingkan wajahnya, menatap jendela yang menampilkan awan biru.
Marvino pun ikut terduduk di kursi yang harusnya di duduki Jericho dengan kharisma nya.
Keduanya sama-sama terdiam. Memikirkan hal yang sama berulang-ulang. Memikirkan beberapa reaksi dan akibat dari dilakukannya hal itu.
Sampai akhirnya ketukan sepatu Marvino terdengar. Lelaki itu tanpa melirik, langsung melesat keluar dari ruangan Jericho. Bahkan dia meninggalkan jasnya yang masih tergeletak di sofa ruangan.
Bukan maksud apa, Marvino tidak ingin lagi dia semakin marah dan bertindak lebih jauh pada Jericho. Dia sendiri belum tahu apa dia bisa mengontrol emosinya atau tidak.
Melihat perginya Marvino, jelas Jericho semakin dibuat menangis keras. Dia bahkan memilih bersembunyi di bawah meja nya.
Duduk dengan kaki tertekuk dan menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut suara tangisnya tak terdengar, namun celana bahan itu terus melebar basahnya.
Sedangkan Marvino. Tidak, lelaki itu tidak pergi meninggalkan Jericho. Dia duduk di kursi yang letaknya tak jauh dari pintu ruangan Jericho.
Dia hanya membutuhkan waktu sendiri, untuk meredakan emosi nya yang terus naik turun. Beruntung tidak ada karyawan atau mungkin Jonathan menghampiri Jericho sedari tadi.
Setelah kurang lebih satu jam Marvino berhasil menenangkan diri. Meski mungkin jika di sulut dia akan langsung tersulut.
Karena dia khawatir dengan Jericho, langkah nya langsung kembali ke tempat semula.
Dilihatnya ruangan itu kosong. Namun Marvino yakin, Jericho samasekali tidak keluar dari ruangan. Dengan itu, dia mengelilingi ruangan Jericho yang memiliki Kamar mandi dan satu ruangan kamar yang tidak terlalu mewah.
Belum sempat Marvino berteriak lantaran Jericho belum juga di temukan. Matanya terfokus pada seonggok manusia yang berada di bawah meja.
Helaan nafas lega pun terdengar. Namun seketika rasa bersalah menyeruak di hati Marvino.
Pasti dia membuat Jericho tertekan dengan kemauannya. Namun jika dia tidak bertindak seperti ini, hubungan mereka samasekali tidak ada perubahan, sampai nanti mungkin keduanya akan di jodohkan.
Dengan pelan dia menyingkirkan kursi yang sedikit menutupi tubuh Jericho.
Marvino dengan pelan menyentuh lengan Jericho, membuat empunya mendongak dengan wajah mengerikan.
Wajah dan mata merah dan berair, sedangkan bibirnya bergetar.
Pelukan hangatnya Marvino berikan pada Jericho. Membuat lelaki itu isakkan nya semakin terdengar, bahkan kemeja putih Marvino langsung kusut karena di remat kuat dan basah karna air mata Jericho.
"Sini keluar dulu," ucap Marvino dengan lembut.
Tanpa menunggu respon, Marvino menarik pelan tubuh Jericho, hingga saat dia duduk, Jericho pun di dudukkan di pahanya.
"Maaf," gumam Marvino dengan lembut sembari mengecup puncak kepala Jericho.
Udh setengah cerita. Mau mulai ngambil target Vote, 500vote baru saya up lg.
Sekian, Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Another Life ( E N D )
Fiksi PenggemarCMN PENGEN DI VOTE AJG VOOOOTEEEEEEE. ▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬▭ׁ▬▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ "Mavino cium adek! Gasuka! Gamau di cium-cium! Mamaaa cubit Mavino nyaa~" -Jericho ▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬▭ׁ▬▭ׁ֢▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ׅ݊▭ׁ▬ "I'm Promised...