IAL 21

1.3K 127 2
                                    

Setelah kejadian malam itu, tiba-tiba Jonathan datang pagi-pagi sekali untuk membangunkan Jericho dan menyuruhnya bersiap dengan pakaian casual nya.

Jericho tanpa banyak bicara hanya menurut.

Setelah bersiap, Jericho hanya diam berdiri di balkon kamarnya menatap kosong kedepan. Lagi.

"Jericho," panggil Jonathan.

"Ayo sarapan dulu," ajaknya enggan memasuki kamar putranya karna dia bisa melihat dengan jelas Jericho yang berdiri di balkon.

"Kalo udah mau jalan bilang." Hanya itu jawaban Jericho.

Dia mengabaikan bujukan Papa nya yang meminta agar anak itu makan meski hanya sedikit saja.

Jericho bukan dendam pada ibunya. Dia justru takut, sangat takut. Demi apapun, sedari kecil tak pernah Jericho di sentak oleh Mama atau Papanya.

Dan untuk yang pertama kali, Jericho di sentak karna membuat orang tuanya kecewa. Itu terasa sakit hatinya lebih-lebih.

"Jericho gak mau turun," Jonathan datang sembari berkata demikian.

Wajah Rhea semakin murung mendengar itu. Dia semakin merasa bersalah pada putranya. Namun mengingat kejadian kemarin, membuat Rhea harus kembali mengingat rasa kecewanya pada Jericho.

"Ma, kita udah bahas ini." Kata Jonathan menggenggam tangan istrinya dengan lembut.

Rhea hanya tersenyum mengangguk dan mulai melayani suaminya untuk sarapan.

"Nanti, mampir aja ke rumah makan yang udah buka ya, Pa. Atau Jericho makan roti gak apa-apa yang penting perutnya keisi." Rhea berkata di sela-sela sarapannya.

Marvino benar-benar diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marvino benar-benar diam. Tak bersuara, tak bergerak bahkan mengalihkan perhatiannya pun tidak.

Setelah berbicara dengan Papa nya yang membuat lebam di pipi, Marvino hanya diam duduk di balkon kamarnya.

"Abang," panggil Madreya.

Dia menghampiri kakaknya yang terlihat mengerikan.

Baju kemarin yang berantakan, rambut tak tertata, raut datar, mata merah yang sepertinya terus mengalirkan air mata tanpa beristirahat.

"Bang, jangan kek gini dong." Bujuk adiknya yang sedari kemarin diam.

Bukan tidak mungkin jika Madreya tahu permasalahan ini.

"Papa udah nyiapin penerbangan buat Abang, nanti siang Abang berangkat katanya, sekarang mandi terus sarapan ya, Bang?." Madreya berkata sembari terus menatap melas pada kakaknya.

Lalu dengan berani, Madreya memeluk kakaknya dari samping dengan erat. Tak perduli jika pelukannya sama sekali tak terbalas.

Madreya juga merindukan senyum hangat dan pelukan kakaknya. Marvino adalah kakak terbaik untuknya. Melihat Marvino terpuruk seperti ini, membuat Madreya juga ikut sedih.

In Another Life ( E N D )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang