39. Mimpi itu jadi nyata

37 1 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.

Mobil yang di tumpangi oleh Gavin dan Tasya berhenti sempurna di pekarangan rumah Tasya. Mereka telah sampai setelah perjalanan jauh tadi.

Gavin melepas sitbelt yang melingkari pada tubuh Tasya. Gadis itu tertidur saat perjalan pulang tadi, mungkin ia kelelahan.

" Syaa, bangun dulu yuk udah sampe," ujar Gavin dengan lembut. Cowok itu mengusap pipi Tasya agar gadis itu terbangun.

Tasya menggeliat tak nyaman karena merasa terusik. Ia membuka matanya perlahan. Nyawanya masih belum terkumpul membuatnya terdiam sesaat. Gavin yang melihat itu merasa gemas sendiri, ia mengunyel pipi Tasya karena merasa gemas.

" Vinn, ah lepas!" pekik Tasya karena merasa kesal sedangkan Gavin hanya tertawa. Tasya mengusap kasar wajahnya lalu menegakkan tubuhnya. Pusing di kepalanya sudah lumayan reda tapi tubuhnya masih sangat lemas.

" Are you okay? Napas kamu kok berat banget," ucap Gavin yang memperhatikan cara gadis itu bernapas. Terlihat kalau Tasya sedikit kesusahan bernapas.

" Aku nggak papa."

Gavin menarik Tasya masuk kedalam pelukannya, entah mengapa ia ingin sekali untuk terus memeluk gadis di depannya ini.

" Kalau ada apa-apa bilang ya, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa," ucap Gavin sambil mengusap lembut bagian belakang kepala gadisnya.

Dalam dekapan itu, Tasya mengangguk pelan. Ia merasa kenyamanan dalam setiap pelukan yang Gavin berikan padanya. Dalam hatinya gadis itu memohon pada Tuhan untuk memberikan waktu sedikit lebih lama sebelum ia benar-benar pergi nanti.

Gavin menumpukan dagunya diatas kepala Tasya. Mereka terdiam menikmati kenyamanan yang satu sama lain berikan. Entah mengapa ada setitik ketakutan dalam hatinya saat mengingat beberapa kalimat yang di ucapkan Tasya hari ini.

Perlahan namun pasti, pelukan itu mulai mengendur. Mereka saling adu tatap, mengamati masing-masing permata yang diberikan Tuhan pada diri mereka.

" Janji sama aku kalau kamu nggak bakal kemana-mana, aku....aku takut Sya," ujar Gavin mengeluarkan isi hatinya.

" Jangan takut, pergi atau enggaknya aku nanti itu urusan Tuhan, mau kamu menentang sebagaimana keras pun itu akan tetap terjadi Vin. Jadi, kalau itu benar-benar terjadi jangan pernah salahin Tuhan apalagi diri kamu sendiri."

" Jangan ngomong gitu, aku yakin kamu nggak akan kemana-mana, kamu sehat sekarang dan kamu aman di sana," ucap Gavin sambil menunjuk rumah besar di depannya.

" We never now," balas Tasya dengan senyum getir. Mereka terdiam, mencerna suasana yang mereka rasakan sekarang.

" Vin, buat kamu," panggil gadis itu sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat dengan beberapa corak. Gavin mengerutkan keningnya menatap bingung ke arah amplop di depannya.

" Apa ini? surat?" tanya Gavin.

Dengan cepat Tasya mengangguk. Terbit sebuah senyuman pasi di wajahnya yang memucat.

" Sekarang udah modern Sya, masa masih pake surat," balas Gavin lalu tertawa. Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah pacarnya.

Tasya mengerucutkan bibirnya melihat respon Gavin yang sedikit menyebalkan.

" Ya biarin dong!" sentaknya kecil. Bukannya takut Gavin malah mengeraskan tawanya.

" Vinn!"

" Iya, iya, aku buka ya?" kata Gavin setelah meredakan tawanya.

NA TASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang