"Pergi dari rumah ini dan bawa semua barangmu."langkahku terhenti mencari tempat aman untuk bersembunyi. Suaranya membuatku merasa amplop putih yang sedari tadi ingin aku tunjukan tidak akan berarti apapun baginya.
Kini aku berada di belakang sofa ruang tamu. Tidak bisa melihat mereka dengan jelas karena mata rabunku. Minus yang tidak begitu tinggi membuatku memilih tidak memakai kacamata. Aku merasa tidak percaya diri dengan keberadaannya. Itu saja.
"Pikirkan sekali lagi, Mas."
"Apa yang harus aku pikirkan? Aku sudah berkali-kali mengusirmu, tetapi kamu tetap diam disini. Dan ini sudah kesekian kalinya aku memintamu keluar dari rumah ini."
"Karena aku istrimu siapa yang akan mengurusmu Jika kamu butuh sesuatu?"
"Aku punya banyak uang untuk menarik banyak wanita. Mereka bisa melayaniku kapan saja. Apakah kamu lupa?"
Mendengar ungkapan terakhirnya membuatku merasa jijik dan tidak terima. Kini aku sedikit ragu, apakah dia benar-benar Ayahku atau pria hidung belang yang sering berkeliaran?
"Iya, aku melupakannya! Dan saat ini kedua anakku harus menanggung akibatnya."
"Jangan bawa-bawa anakku! kesalahanmu adalah mempercayaiku yang tidak pernah mencintaimu."
Aku memilih keluar dari persembunyian. Mendekat ke arah mereka. Perlahan-lahan wajah mereka mulai terlihat jelas. "Ayah." lirihku.
Pria berjas hitam rapi itu memalingkan wajahnya. Menghindari kontak mata denganku, "Kamu sudah pulang? Gimana hasilnya?" tanyanya.
"Fida mau pergi dari rumah ini." Ibu mencekal pergelangan tanganku. Terus menangis dan menggelengkan kepala. Rasa sakit yang dialaminya membuatku ikut serta.
"Fida ke kamar dulu." ucapku kemudian pergi.
Dunia nampak tidak baik-baik saja semua kacau. Tujuh belas tahunku tidak seperti Kebanyakan orang. Apa yang menjadi angan nyatanya tidak kejadian.
"Fida! Fida dengerin Ibu sebentar." bujuk ibu.
"Ibu tahu sifat ayah kayak gitu, tapi ibu masih mau di sini? Bu.. Ibu bisa enggak lebih sayang sama diri ibu sendiri?!"
Aku kalut. Rasanya sebagai anak pertama yang tidak mengetahui apapun itu sangat menyakitkan. Semuanya tampak baik, tetapi ternyata pelik.
"Ayahmu hanya sedikit emosi. Dia tidak berbicara kebenaran. Semua baik-baik saja. Dia hanya emosi, Fida! Ayahmu menyayangimu. Dia sangat menyayangimu."
"Ibu bilang Ayah sangat menyayangiku?" Aku memegang kedua tangannya erat. Sedari tadi tatapannya memohon. Meyakinkan diriku atas apa yang diinginkannya.
"Ibu sayang Fida? Ayah enggak pantas buat ibu. Kita pergi, ya, dari sini? Fida mohon ibu ngerti."
"Baiklah apapun yang terbaik bagimu, ibu ikuti."
Aku tersenyum kemudian memeluknya erat. Terasa ada secercah senyum untuk perjuangan yang belum dilakukan. Semoga semua berjalan baik dengan pimpinan wanita hebat sepertinya.
"Baiklah. Kita akan pergi setelah ini. kita tunggu Dani pulang sekolah." ucap ibu dengan senyum manisnya.
"Terimakasih, Ibu."
Sejatinya cinta itu kebahagiaan. Perlu rasa di antara keduanya bukan salah satunya. Kupahami jika rasa sulit dirubah, tetapi kenyataan tetap harus diterima. Jika tidak dianggap sepantasnya kita tak mendekat.
____________________________________
Ini adalah cerita pertamaku. Aku berharap Ghuroba' bisa menjadi teman setia kalian. Selamat membaca.😄
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfiction{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...