{23} RENCANA

28 2 0
                                    

Aku masih terdiam di samping Ning Muyas yang tampak tidak senang berada di dekat keluarga besarnya sendiri. Terbukti sedari tadi gadis itu justru sibuk dengan ponselnya dan tak berniat nimbrung dengan saudara maupun iparnya.

Aku jadi teringat pesan ibu ketika aku mengambil motorku tadi siang. Sebagai seorang menantu dari putra yang terlahir dari rahim istri kedua akan membawa status yang berbeda di mata keluarga besar dan aku harus menerima itu.

Saat ini mereka semua tengah sibuk memilih calon istri baru untuk Gus Akmal terbukti dengan banyaknya foto gadis cantik di tangan mereka, sedangkan Izzah tampak kesusahan menenangkan bayi cantik Almarhumah Aisyah itu yang terus saja menangis.

Aku sebenarnya ingin membantu di dapur, tetapi umi melarang, bahkan ibu mertuaku itu membuatku berjanji untuk tidak menyentuh apapun yang membuatku tampak rendah. Entah apa yang terjadi dengan keluarga ini.

"Dengar Izzah, apakah menenangkan bayi sesulit itu? Pantas saja Allah belum memberimu seorang anak. Ternyata kamu belum bisa melakukannya."

Aku tercengang mendengarnya, sedangkan Ning Muyas tampak menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Aku baru tahu, jika Ning Hawa bisa berbicara seburuk itu kepada adik iparnya sendiri. Aku hendak berdiri, tapi Ning Muyas mencegahku.

"Dengar, Mbak. Tetap di sini." bisik gadis itu membuatku menurut.

Aku melihat wanita di samping Ning Hawa beberapa kali melirikku tidak suka. Sepertinya dia adalah Ning Humaira. Aku pernah bertemu dengannya dulu saat acara maulid nabi. Suaranya yang merdu dan wajahnya yang begitu cantik membuat para santri terus bertanya padaku tentang istri dari Gus Nafi'. Anak ketiga Abah Kyai.

"Semoga aku tidak terkena masalah selama di sini." batinku.

∆∆∆


Acara berlangsung di ndalem Gus Alif dan juga Izzah. Dengan pengajian yang di pimpin langsung oleh Pak Kyai berganti dengan bacaan sholawat oleh para santri putra mengiringi proses cukur rambut sang bayi. Namanya sudah di tetapkan oleh Bu Nyai Salimah sendiri. Risalatul Muawanah.

Berbagai doa mengiringi acara syukuran aqiqah. Ada banyak yang hadir dan sudah pasti aku tidak mengenalnya. Namun, kuyakini tidak ada satupun keluarga Aisyah yang hadir. Entah ada masalah apa gadis itu dengan keluarganya, bahkan dulu saat pernikahan, ibunya juga menolak untuk datang.

"Ning, habis ini bayi itu. Maksud saya Ning Risa di rawat siapa? Kabarnya kan Gus Akmal mau menikah lagi sama Ning Safina. Putri pak kyai Salim. Jawa tengah. Ning Safin kan orangnya elit. Mana mau dia ngerawat bayi yang bukan anaknya."

Aku hanya tersenyum tipis, "Maaf, Ning Dinda. Saya enggak tahu." balasku seadanya.

Aku mengenalnya. Adik ipar dari Ning Humaira itu nyatanya lebih tahu dari diriku. Rasanya sangat aneh menjadi bagian dari keluarga ini, tetapi tidak mengerti apapun. Gus Bilal juga tidak pernah bercerita bahwa keluarganya menjadi sekelompok manusia yang menyeramkan ketika sudah mengenalnya.

Ponselku berdering, dengan terpaksa aku menjauh karena acara yang cukup ramai dan pastinya akan membuatku kesulitan mendengar suara orang di seberang sana. Terlebih nomor itu adalah nomor orang yang sering mengirimkan pesan aneh kepadaku mengenai kematian.

"Akhirnya kita bisa bicara, Ning Fida."

"Siapa kamu?"

"Aku adalah kematianmu. Sebentar lagi aku akan menjemputmu."

"Jangan-"

Sambungan terputus. Entah mengapa rasa takut tiba-tiba menyeruak dalam diriku. Padahal kemarin aku tidak memperdulikannya, tapi sekarang entah kenapa aku menjadi tidak tenang.

Aku berusaha menenangkan diriku untuk tidak percaya dengan segala sesuatu yang baru saja terjadi, walaupun aku tahu ini tidak sebuah ancaman semata, tetapi aku yakin jika Allah akan selalu ada untukku dan perihal kematian. Bukankah semua orang akan mati nantinya?

∆∆∆

Mataku mengerjap perlahan. Sejenak menatap Gus Bilal yang terlihat tengah tertidur pulas, lalu memakai hijab dan keluar dari kamar menuju dapur. Tenggorokanku rasanya begitu kering. Aku membutuhkan air untuk sedikit menghilangkan dahagaku.

Baru kali ini aku terbangun karena haus. Di jam satu malam. Disaat semua orang terlelap dengan begitu nyenyak. Samar-samar aku mendengar rintihan seseorang. Dan karenanya aku buru-buru berlari menuju kulkas dan menuangkan satu botol air ke dalam gelas, lalu meminumnya.

"Di sini banyak orang yang sudah nikah. Wajar, sih." batinku.

"Mbak belum tidur?"

Itu suara Ning Muyas. Gadis itu terlihat baru saja pulang. Terlihat dengan pakaian yang ia kenakan dan juga tas yang ia letakkan di meja, kemudian meminum air yang masih tersisa langsung dari botolnya.

"Mbak kebangun. Kamu baru pulang?" tanyaku.

"Iya. Niatnya biar nggak denger suara syaitan. Eh, ternyata dia sudah beda jam kerja."

Aku mengernyit bingung, lalu sejenak kemudian paham apa yang dia maksud. Suara desahan itu baru saja aku dengar. Memang tidak terlalu nyaring, tapi tetap saja masih bisa di tebak dari mana asalnya.

"Nggak baik kayak gitu, Ning. Kan emang di sini banyak yang sudah nikah." jawabku.

Dia tampak terdiam, lalu menatapku sejenak. Dia tiba-tiba mengangguk, lalu kembali meminum airnya sampai tidak tersisa sedikitpun, "Emangnya mbak tahu siapa yang punya kamar di pojok itu?" tanyanya kepadaku, sedang aku hanya menggeleng.

"Gus Ni'am."

Aku terkejut mendengarnya. Bukankah Gus Ni'am belum menikah. Ning Muyas tampak tersenyum dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan secepat kilat aku langsung berlari menuju ruangan itu. Namun, Ning Muyas mencegahku.

"Kita susun rencana dulu, Mbak. Kita bukan siapa-siapa di sini." lirih gadis itu.

Dia tiba-tiba memelukku membuatku mematung. Bukankah dia tidak menyukaiku, mengapa jadi seperti ini. Aku tersenyum lalu menerima pelukannya. Setelah itu Ning Muyas menceritakan segalanya kepadaku dan aku menemaninya tidur dengan suara-suara itu yang tak kunjung berhenti.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang