(14)KESERIUSAN

41 2 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Mobilku baru mencapai garasi rumah. Rasanya sangat lelah malam ini. Setelah dari toko bunga, aku mampir dulu ke rumah Mawar. Sengaja agar tidak bertemu dengan calon istri Dani.

Saat di ruang tamu, aku mendapati ibu yang tengah menonton televisi. Sepertinya aku membuatnya menunggu, "Ibu belum tidur?" tanyaku, seraya duduk di sampingnya.

"Mana mungkin ibu bisa tidur kalau putri ibu belum pulang." Ibu mengelus kepalaku membuatku semakin merasa bersalah.

"Dari mana saja kamu, Nduk? Kok baru sampai rumah."

"Fida mampir ke rumah Mawar. Maaf, Bu. Fida-"

Ibu membawaku ke dalam pelukannya. Perlahan aku merasakan tubuhnya bergetar dan isak tangisnya terdengar di telinga. Mendapatinya seperti itu justru membuatku sedih. Mengapa ibu selalu membuatku menjadi terlihat buruk?

"Ibu kenapa?" tanyaku, padahal aku jelas tahu penyebab ibu menangis.

"Menangislah, jika kamu ingin menangis, Nduk. Jangan di simpan sendiri."

Aku berusaha tersenyum, meski mataku sudah berair. Rasanya sangat menyakitkan melihat ibu menangis seperti ini. Aku tak bersuara. Namun, itu justru membuat ibu tak berhenti menangis, hingga sesenggukan.

"Em, Fida ambil minum dulu buat ibu." Aku melepaskan pelukan ibu dan bergegas menuju dapur.

Di sana air mataku mengalir deras, hingga aku menutup mulutku sendiri agar tidak keluar isak tangis yang akan membuat ibu mendengarnya. Aku tetap berusaha mengambil air putih di kulkas dan menuangnya ke dalam gelas dengan sesekali mengusap air mataku.

Kembali ke ruang tamu. Di sana aku melihat ibu yang tengah menatap foto masa kecilku yang terpajang di dinding. Aku tetap berusaha tegar dan tenang, meski tatapan mata ibu benar-benar menyakitiku.

"Ibu minum dulu." Aku membantu ibu agar dapat meminum air yang aku bawa, sedangkan ibu kembali terisak.

Aku akhirnya memeluk wanita yang aku cintai itu dan berusaha untuk menenangkan hatinya, "Ibu enggak perlu sedih. Fida enggak papa." lirihku.

"Ibu mana yang tidak sakit hati, jika putri kesayangannya di hina. Ibu mana yang enggak terluka kalau setiap langkahnya selalu mendengar semua orang membicarakan putrinya. Ibu sedih, Nduk. Kamu orang yang baik."

Aku memeluk ibu erat. Berusaha memberinya kekuatan. Aku tak memintanya untuk berhenti menangis karena aku yakin ini sangat menyakitinya, karena aku juga merasakannya.

"Ibu selalu berdoa agar anak ibu mendapatkan lelaki yang shaleh, penyayang, dan tidak seperti ayahmu. Lalu, apakah ibu salah berdoa seperti itu? Mengapa Allah sangat lama mengabulkannya."

"Ibu enggak boleh ngomong gitu. Sebentar lagi dia akan datang. Percaya sama Fida kalau doa ibu pasti akan terwujud."

Aku juga berusaha menyakinkan diriku, bahwa lelaki seperti doa ibu itu masih ada di muka bumi ini, "Bahkan sampai ibuku seperti ini, kamu tak kunjung datang." lirihku dalam hati.

∆∆∆

Pagi yang cerah, sayangnya kepalaku teramat pusing untuk menikmatinya. Hari ini jadwal mengajar pun rasanya tak ingin ku masuki. Aku merasa tubuhku panas. Akan sulit jika harus beranjak dari tempat tidur.

Aku kembali menutup mata, tiba-tiba wajah murid-muridku membuatku terbangun. Mana mungkin aku membiarkan mereka tidak mendapatkan pelajaran hari ini. Rasanya tidak mungkin. Aku akan berangkat ke sekolah, lagi pula hanya dua jam pelajaran saja. Tak mungkin membuatku pingsan.

Kepalaku terasa sangat sakit. Rasanya seperti ada benda berat di atas kepala dan membuatku tak bisa leluasa bergerak. Aku kembali duduk. Sepertinya aku harus absen hari ini. Bahkan untuk meneruskan langkahku saja aku kesakitan. Bagaimana jika harus mengajar di sekolah.

"Fida! Kamu sudah selesai siap-siap, Nduk?! Ada-" Ibu melihatku yang terbaring di kasur. Dia langsung meletakkan sapunya dan mengecek suhu tubuhku.

"Ya Allah! Kamu sakit. Yasudah, kamu istirahat, Nak Girfan ibu suruh berangkat."

"Ada Girfan di depan?" tanyaku.

"Iya. Mau ngajak berangkat bareng katanya."

"Aku mau nemuin Girfan dulu, Bu. Mau nitip anak-anak."

"Sini, ibu bantu!"

Aku menggeleng dan berusaha untuk berdiri, "Aku kuat! Ibu istirahat aja." ucapku, lalu berjalan meninggalkan ibu yang tidak tega melihatku. Aku berjalan pelan, sesekali memegang tembok agar tidak terjatuh.

Sampai di teras rumah, aku langsung mendudukkan tubuhnya di kursi, sedang lelaki dengan setelan hitam putih itu tersenyum kearahku sebelum akhirnya mengangkat satu alisnya heran.

"Loh, nggak ngajar?" tanya Girfan.

"Iya. Enggak enak badan. Aku titip anak-anak, ya."

"Sakit apa sih, pakai nitip anak-anak segala. Kita akan ngerawat mereka sama-sama."

Aku menghembuskan nafas kasar, lalu tersenyum tipis. Tak ingin menanggapi ucapannya yang selalu aneh dan tidak sesuai kaidah percakapan dengan perempuan yang bukan mahramnya.

"Kelas 11 IPS 3 sama 11 IPA 2." jelasku.

Dia menatapku cukup lama, sedang aku berusaha mengalihkan perhatian agar tidak terhipnotis dengan mata indahnya. Sejak bertemu dengannya, aku terkena penyakit susah mengendalikan pandangan.

"Da." panggilnya membuatku kembali menatapnya.

Dia bergerak ingin meraih tanganku. Namun, aku langsung menepisnya, "Dengar, tanpa ikatan yang suci, kita tetaplah orang asing." ucapku membuatnya spontan mundur.

"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"lirihnya.

Aku menundukkan pandangan. Tak menyangka jika dia akan mengatakannya dengan cara seperti ini. Ya, aku mengetahui isi hatinya. Dia menyukaiku sejak awal kita bertemu. Bukan karena aku bisa membaca pikiran orang, tapi di usiaku saat ini, tidak mungkin lelaki mendekatiku tanpa tujuan yang jelas.

"Maaf, rasanya untuk berpacaran enggak ada dalam kamus hidupku. Dan juga perkara umur, aku bukan remaja lagi." jawabku sebelum pergi meninggalkannya.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang