Aku masih menangis jika mengingat kejadian itu. Umi bahkan tak berhenti memeluk putrinya cemas. Tidak menyangka, jika semua ini dialami oleh putri semata wayangnya. Di tambah lagi pelakunya adalah saudaranya sendiri.Gus Ni'am sendiri mendekam di penjara untuk membalas semua perbuatannya. Mungkin dengan itu dia akan belajar lebih menghargai manusia, terlebih seorang wanita.
Aku menatap diriku di cermin. Rasanya baru kemarin aku keluar kamar dan ternyata telah resmi menjadi istri seseorang. Dan kini sudah satu bulan aku menjalani status baruku. Ning Mufida. Aku tersenyum mengingat panggilan itu terkesan tidak pantas untukku.
"Mikirin apa, sih? Sampai suaminya salam enggak dijawab." Gus Bilal memelukku dari belakang, membuatku sedikit terkejut.
"Wa'alaikumussalam."
Aku berbalik menatapnya. Jarak yang begitu dekat membuat jantungku berdetak tidak karuan. Rasanya masih seperti pertama kalinya, "Mas, kamu belum cerita soal Ning Syifa." Aku menatap mata indah miliknya yang selalu mampu membuatku terhipnotis dalam sekali pandang.
Dia mengecup bibirku singkat kemudian tersenyum, "Apa yang ingin kamu dengar?" tanyanya, sembari menarik pinggangku mengikis jarak diantara kita membuatku bisa mencium aroma maskulin dari tubuhnya.
"Semua." jawabku seadanya.
"Kita pernah bertemu beberapa kali saat masih kecil. Abah menjodohkan kita. Saat aku pulang ke Indonesia, ternyata dia bekerja di rumah sakit yang sama denganku, lalu aku bertemu denganmu, menolak perjodohan, dan menikah dengan gadis yang aku cintai." jelasnya, lalu mencium keningku.
"Tidak ada yang menarik dari kisah itu, selain endingnya." lirihnya, justru membuat bulu kudukku meremang.
Mata kita bertemu. Tatapan itu berhasil membuatku jatuh terlalu dalam, hingga tak sadar sesuatu yang lembut telah menempel di bibirku dan membuatku terpejam. Kali ini bukan sebuah kecupan singkat seperti biasanya, melainkan sebuah ciuman yang cukup membuatku ingin terus merasakannya.
Merasa tubuhku melayang, membuatku justru mengeratkan kedua mataku agar tidak terbuka, "Kita akan melakukanya?" tanyanya yang hanya bisa ku balas anggukan dengan mata terpejam.
Malam itu menjadi malam terpanjang dengan perasaan bahagia yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Menjadi seorang istri yang menjalani hidupnya dengan cinta dan menerima pemberian dari-Nya dengan penuh rasa syukur.
∆∆∆
Pagi ini aku bangun sedikit kesiangan, bahkan tidak sempat untuk sholat tahajjud. Kejadian tadi malam, nyatanya membuatku merasa sedikit canggung. Namun, Gus Bilal justru masih enggan melepaskan pelukannya padaku dan berangkat ke rumah sakit.
"Kamu nggak jadi berangkat, Mas?" tanyaku untuk ketiga kalinya.
"Bentar sayang."
Ponselku berdering. Siapa yang menelepon sepagi ini. Aku melihat nomor itu lagi. Mengapa dia kembali berulah? Apa yang membuatnya tidak bisa berhenti menggangguku.
"Siapa?" tanya Gus Bilal.
"Emm, orang iseng Mas. Mending mas berangkat sekarang. Jadi dokter yang baik, dong!" Dia terkekeh geli, lalu mengangguk menyetujui.
"Yasudah. Mas berangkat ya?" pamitnya. Aku mencium tangannya dan Gus Bilal mengecup keningku seperti biasanya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tidak menunggu Gus Bilal masuk mobil sampai mobil itu menghilang dari pandangan seperti biasanya. Aku langsung berlari ke dalam rumah. Ponselku masih saja berdering. Karena penasaran, aku pun mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfiction{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...