(4) KTP

49 5 0
                                    

"Mbak, gue ke masjid. Lo enggak bangun apa?!" ulang Dani.

Sudah tiga kali Dani mengetok pintu kamarku dan berbicara hal yang sama. Aku yang masih enggan membuka mata berusaha kembali ke dalam mimpi indahku.

Terjebak di ruangan gelap dipenuhi jerami. Entah siapa yang bersamaku, tetapi senyumnya sangat manis. Membuatku merasa begitu dekat dengannya, meskipun tidaklah nyata.

"Fida! Kamu belum bangun, Nak?"

Kini giliran ibu yang bersuara. Aku duduk dan sedikit meregangkan otot-otot tanganku yang terasa pegal, "Sudah, Bu. Fida mau mandi dulu."

Berjalan ke kamar mandi. Menatap diriku di cermin. Wajah khas baru tidur dengan rambut yang acak-acakan justru membuatku bertambah cantik. Kurasa bidadari insecure jika melihatku seperti ini.

∆∆∆

"Mbak! Ngelamun terus, deh." tegur Dani.

"Apaan, sih?!"

"Pms, ya, Lo?"

"Terserah."

Hari ini adalah hari Selasa. Jadwal mengajar di SMA Dewi Sartika adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Lengkap memakai seragam guru, aku berusaha menikmati sarapan yang telah disiapkan ibuku.

"Kamu kenapa, Nak? Ibu perhatikan akhir-akhir ini sering melamun."

"Iya, Mbak. Lo tenang saja. Gue pulang juga demi lo. Jangan sedih, gue ada di sini." ucap Dani yang justru kuhiraukan.

"Enggak apa-apa, Bu. Fida cuma lagi capek saja, tapi masih harus ngajar."

"Sudah waktunya di-nafkahin, tuh!" celetuk Dani yang membuatku menatapnya tidak suka.

"Fida berangkat dulu, ya, Bu."

Aku langsung berangkat tanpa menyalami tangan ibu. Melupakan kunci motor di meja makan. Tidak mungkin aku kembali untuk mengambilnya. Kejadian itu terlampau cepat, bahkan aku tidak menyadari jika aku melakukannya. Semua hanya perihal menikah.

"Eh, Mbak Fida! Tumben ke pangkalan?"

"Iya, Pak. Lagi males nyetir. Anterin ke SMA Dewi Sartika, bisa?"

"Aduh! Saya lagi nungguin Bu RT, Mbak. Sudah janjian soalnya."

Aku menatap pangkalan ojek yang sepi, mengapa jika aku sedang membutuhkan salah satu dari mereka, tidak ada yang datang sama sekali.

"Pak, tukang ojek yang lainnya kok belum datang?" tanyaku.

"Nggak tahu, Mbak. Biasanya mampir sarapan di warung depan." jawab Pak Setyo.

Aku mulai bingung harus bagaimana warung yang pak Setyo maksud cukup jauh dari pangkalan, ditambah lagi aku harus datang ke sekolah tepat waktu.

"Mbak Fida ikut motor itu saja." ucap pak Setyo sambil menunjuk sepeda motor yang masih jauh dari keberadaannya.

"Iya apa enggak Mbak?" tanya pak Setyo.

"Emm.. gimana, ya, pak?" Aku bingung, pasalnya belum tentu pengendara sepeda motor itu mau memberikan tumpangan kepadaku.

"Biar Bapak yang ngomong, Mbak Fida diam saja."

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang