(6) PERMEN KARET

34 3 0
                                    

Aku telah siap dengan setelah gamis coklat dengan kerudung senada bermotif bunga. Memoles wajahku dengan riasan tipis seperti biasanya. Bedak dan liptin merah muda adalah andalanku. Tidak lupa tas selempang yang senantiasa menemaniku kapanpun aku pergi.

"Sudah! Jangan lama-lama, Da! Girfan kasihan, loh!" ucap Bu Dora.

"Konsekuensi, Bu." lirihku.

"Sudahlah, Nak. Ibu juga setuju kalau kamu diantar Girfan."

"Jadi maksud ibu semobil sama pria yang bukan mahram itu baik?"

"Halaa! Bentar lagi mahram!" sahut Bu Dora.

Aku berjalan keluar kamar menuju tempat dimana Girfan berada. Di teras rumah, secangkir kopi tidak meninggalkan sisa sedikitpun. Aku rasa benar kata Bu Dora, aku terlalu lama membuatnya menunggu.

"Ayo, berangkat!" ucapku.

Aku dan Girfan berpamitan kepada ibu dan juga Bu Dora. Lupakan Dani yang sedang ada urusan dengan kekasihnya. Entah bagaimana bisa dia tidak ada niatan menolongku dari dua ibu yang begitu menyukai Girfan.

"Kenapa kamu mau nganterin saya?" tanyaku saat sudah di dalam mobil.

"Karena aku mau."

Aku menghembuskan nafas kasar. Tak berniat kembali berbicara dengannya. Memandang keadaan mobil yang begitu rapi seperti tidak pernah dipakai, justru semakin membuatku bingung dengan pria yang sibuk menyetir di depanku.

"Ponpes Al-Kahfi di gang depan, kan?" tanyanya.

"Iya." jawabku.

Aku menikmati perjalanan dengan keheningan. Rasanya tetaplah nyaman. Dunia terlalu bising setiap harinya dan kesempatan ini membuatku mampu menikmati kesendirianku tanpa merasa terganggu.

"Sampai jam berapa ngajarnya." tanyanya.

"Jam delapan."

Mobil Girfan melaju pelan memasuki area pondok pesantren Al-Kahfi khusus pondok putri. Tempat berjasa yang membuatku mampu bertahan hidup hingga saat ini.

"Parkir di sana saja." ucapku sambil menunjuk tempat parkiran yang sepi. Hanya ada satu mobil di sana.

Aku turun dari mobil. Meninggalkan Girfan sendirian. Ketika kakiku hendak berjalan, pandanganku menangkap seorang pria dengan peci putih dan sarung hijau berlari ke arahku.

"Da! Tolongin gue-" ucapnya terpotong karena Girfan tiba-tiba datang dan berdiri tepat di sampingku.

"Ada apa?!" tanyaku.

"Ning Aisyah kesakitan."

Mendengar itu, aku pun berlari ke ndalem Ning Azizah. Terdengar dengan jelas rintihan kesakitan dari kamar tamu. Sempat aku ragu untuk masuk karena tidak ada pemilik rumah akan tetapi suara Ning Aisyah menuntun kakiku untuk terus melangkah menemuinya.

∆∆∆

"Aku takut, Mbak." ucap Ning Aisyah.

"Kamu tenang, ya. Tarik nafas!" ucapku sembari terus memegang tangannya erat, "Keluarkan!" lanjutku.

Saat ini aku berada di rumah sakit. Entah dimana dokter yang biasa menangani kehamilan Ning Aisyah. Sudah hampir satu jam, tetapi kabarnya dokter bernama Syifa itu masih terjebak macet.

"Aisyah!"

Seorang perempuan cantik dengan jas putihnya membuatku bergerak menemuinya, "Dokter Syifa?" tanyaku memastikan. Dia tersenyum manis dengan lesung pipi yang terbentuk seperti bulan sabit.

"Tolong lakukan yang terbaik, Dok." ucapku.

"Tentu! Kamu bisa keluar. Jangan khawatir. Aku sudah menelepon keluarganya."

"Baik, Dok."

Aku menghampiri Ning Aisyah sebentar untuk memberinya semangat. Rasa takutnya membuatku lebih ketakutan. Tidak hanya tentang bagaimana keadaan janin di dalam kandungannya, tetapi juga kekuatan dirinya yang semakin melemah. Entah karena faktor usia yang masih terlalu muda atau bagaimana. Aku tidak begitu memahaminya.

Aku memilih duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuhku sejenak. Terlalu banyak yang terjadi hari ini. Sangat lelah. Ingin istirahat rasanya.

"Kamu laper? Haus?" tanya Girfan.

"Iya." Jawabku jujur.

"Oke. Lo! Sini!"

Aku mengernyit bingung ketika Girfan tiba-tiba dengan seenaknya menyuruh seseorang yang jelas-jelas tidak dikenalnya. Dia adalah Rohman. Pemuda berpeci putih yang berlari menemui ku untuk meminta tolong. Santri yang menghabiskan waktunya untuk berbakti kepada kyai-nya itu merupakan cucu kakek Udin dan aku begitu mengenalnya.

"Enggak! Jangan! Dia yang nawarin harusnya dia yang beliin." ucapku pada Rohman.

"Enggak apa-apa, Da. Biar gue saja."

Setelah Rohman pergi untuk membeli makanan dan minuman. Girfan justru duduk di sampingku tanpa permisi. Kulirik wajahnya sekilas. Dia memejamkan matanya.

Melihatnya kelelahan membuatku mengurungkan niat untuk memakinya. Rasanya akan semakin lelah jika aku memarahinya di saat seperti ini.

"Capek banget, Pak?" tanyaku.

"Iya, Bu. Pengen punya istri biar ada yang ngurusin." Jawabnya masih dengan mata yang tertutup.

"Nikah, Pak." jelasku.

"Sama kamu?" tanyanya.

"Enak saja. Sama jodohmulah!" ucapku lalu pergi karena melihat Rohman kesusahan membawa dua pop mie dan satu kantong plastik yang entah berisikan apa.

Rohman terdiam di depan ruangan yang berjarak cukup jauh dari ruangan Ning Aisyah. Aku menahan tawa karena kuyakini dia tidak mampu berjalan lebih jauh lagi, "Tertekan banget lo?" ucapku mengejek, tetapi justru dibalas senyum manisnya.

"Sini! Gue bawain pop mienya." Ucapku.

"Lo kreseknya saja." Jawabnya.

"Okelah."

Saat ini melihatnya itu hanyalah sebuah kebetulan. Dia terlampau jauh untuk diketahui keberadaannya, padahal di awal aku bertemu dengannya. Jangankan pergi dariku, berjarak sejengkal pun dia tak mampu.

"Ngelihatin-nya biasa saja. Kangen banget lo sama gue?"

Aku tersenyum, "Lo enggak kangen sama gue?" tanyaku.

"Laper, woy! Laper!"

Mendengar suara yang cukup keras itu membuatku hanya geleng-geleng kepala. Mengapa dia bertingkah seperti anak kecil dengan berteriak cukup keras di rumah sakit.

"Lengket amat. Kayak permen karet!" sindir Girfan dengan tatapan sinis-nya.

"Sudah tahu alis tebal itu enggak boleh marah-marah, apalagi cemburu nanti tambah mirip Sinchan." ejek Rohman.

"Enak saja! Sinchan sama gue? Em.. masih kalah jauh."

"Enggak perlu cemburu sama gue. Tenang saja. Kalau Fida jodoh lo, pasti enggak akan kemana. Semangat! Fida itu susah di-taklukin." ucap Rohman panjang lebar dan aku hanya bisa diam mendengarnya.

"Termasuk lo, Man." batinku.

Aku tersenyum teringat cerita masa lalu. Dia pernah menjadi pengagum setiaku. Tujuh kali ku-tolak cintanya dan berakhir pada kepergiannya. Aku hanya ingin dia paham bahwa aku sangat menyayanginya layaknya seorang adik pada kakaknya. Itu sudah cukup.









GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang