Aku terduduk ketika sadar jikalau aku ketiduran. Melihat jam ternyata sudah pukul satu dini hari. Niat merebahkan tubuh sejenak ternyata berimbas tidak baik. Melihat Gus Bilal tidak ada di sampingku, membuatku ingin mencarinya. Belum sampai tiga langkah, ternyata Gus Bilal keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Ada apa dengannya?
"Mas, mandi?" tanyaku.
"I-iya." jawabnya tidak yakin
Masih malas berbicara, Aku pun mengangguk, lalu berjalan menuju kamar mandi. Istinja', mencuci muka, dan wudhu. Saat keluar aku melihat Gus Bilal tengah sholat. Aku pun memakai mukenah dan turut sholat di belakangnya.
Dua rakaat sholat tahajjud, kemudian tiga rakaat sholat witir dan diakhiri dengan doa yang cukup panjang. Aku mengusap air mataku, lalu melepas mukenah dan meletakkannya di tempat biasa. Kulihat Gus Bilal masih khusyuk membaca Al-Qur'an. Apakah dia akan terus terjaga seperti ini?
"Mas nggak tidur?" tanyaku seraya melihat diriku di cermin, lalu mengoleskan handbody di pergelangan tangan dan kakiku.
"Masih dua lembar lagi. Kamu tidur aja." Aku pun mengangguk dan merebahkan tubuhku. Rasanya masih mengantuk.
Saat mataku terpejam, tiba-tiba teringat dengan cerita Mawar dua hari yang lalu setelah dia memberiku banyak body care. Dia menceritakan banyak hal padaku. Termasuk tentang hubungan pertemanan yang baik antara Gus Bilal dan juga suaminya, bahkan nama Habibah itu ternyata pemberian Gus Bilal. Pantas saja mereka terlihat akrap.
Aku kembali melirik Gus Bilal yang masih setia melafalkan ayat suci Al-Qur'an, teringat perkataan Mawar tentang hasrat seorang suami," Apa Gus Bilal lagi pengen, ya?" batinku bertanya-tanya.
"Gue yakin nggak sampai satu minggu, lo sudah nggak virgin."
"Kok gitu?!"
"Iyalah, Da. Gus Bilal itu cowok normal. Mana ada yang betah seranjang sama cewe, tapi nggak ngapa-ngapain."
"Suami gue alim."
"Okelah. Alim! Biasanya orang alim kalau lagi nahan syahwat ngapain? Kek jomlo nggak tuh?"
Aku menarik selimut menutup semua tubuhku. Berusaha untuk menutup mata dan melupakan setiap ucapan Mawar yang sepertinya memang benar. Aku membuka selimut. Membiarkan hanya wajahku yang terlihat.
Gus Bilal mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Tidak seperti kemarin yang memelukku dalam tidurnya, kini Gus Bilal menjaga jarak. Namun, matanya tak kunjung tertutup. Aku tahu karena aku membuka sedikit mataku, hingga tidak terlihat jika aku belum tidur.
Aku jadi tidak tega melihatnya. Pikiran buntuku tiba-tiba menuai ide cemerlang. Namun, Gus Bilal tiba-tiba keluar kamar. Meninggalkanku tidur sendirian dengan perasaan penuh rasa bersalah, "Jadi gimana?" batinku bertanya-tanya.
∆∆∆
Aku datang ke sekolah setelah semua pekerjaanku selesai yaitu menyiapkan segala keperluan Gus Bilal sebelum berangkat ke rumah sakit dan sedikit membersihkan rumah, agar tidak terlalu merepotkan Khodam Umi. Ning Muyas sendiri masih tidur, tetapi aku sudah menyiapkan sarapan untuknya.
Aku datang dengan ojek online. Gus Bilal sendiri berniat mengantarku, tetapi aku menolaknya karena pasti akan lama jika menungguku, sedangkan aku masih berkutat dengan beberapa pakaian kotor. Itu akan sangat menyulitkannya.
Senyumku mengembang menatap para muridku yang begitu lucu karena aku memberikan mereka tugas kelompok membuat naskah drama dan akan di tampilkan di minggu berikutnya."Bu kelompok Nana selesai!" Teriak Nana membuat kelompok lainnya memutar bola mata malas.
"Kelompok gue selesai dari tadi, biasa aja." Itu suara Tegar, sedangkan Salman yang satu kelompok dengan Nana tampak masih menulis.
"Makanya jangan biasa aja, tapi luar biasa kayak gue." jawab Nana dramatis.
Rasa rinduku kepada mereka terobati, apalagi jika mereka sudah mulai meledek satu sama lain seperti ini. Sangat menggemaskan. Aku seperti melihat dunia masa SMA yang tak pernah aku rasakan. Maklum, di pesantren sangat sulit untuk berbicara dengan lawan jenis. Harus melewati gerbang dan juga lika-liku jalanan.
"Bu, kok tiba-tiba nikah, sih? Kita nggak di undang."
"Pak Girfan di undang nggak, Bu? Kasian sad boy."
"Ibu nikah sama siapa? Dengar-dengar sama dokter, ya?"
"Bukan! Sama Gus-gus kan Bu?!"
"Ayo, Bu. Cerita!"
Aku hanya tersenyum mendengar berbagai pertanyaan mereka. Tak ingin menceritakan banyak hal karena aku sendiri masih berusaha beradaptasi dengan hidup baruku. Aku hanya menceritakan bahwa ini begitu mendadak, hingga yang datang hanya orang terdekat.
Aku juga mengundang mereka semua saat resepsi nanti. Mereka berteriak sangat bahagia, sedangkan aku mulai berpikir bagaimana ramainya nanti acara itu. Apalagi, Gus Bilal selain seorang putra pemilik pesantren juga dokter di rumah sakit yang cukup terkenal.
∆∆∆
Aku menemui Girfan di perpustakaan, dia tampak berbeda kali ini. Tidak banyak bicara dan tidak melihatku sama sekali. Jujur aku lega karena dia mengerti batasan kepada seorang perempuan yang bukan mahramnya, apalagi yang sudah menikah. Namun, jauh dari lubuk hatiku ada rasa sedih yang entah bermaksud apa.
Aku tahu, aku tidak mencintai Girfan. Mungkin ini hanya perasaan kehilangan dengan perlakuan seseorang yang sebelumnya begitu terlihat asik dan menyenangkan, sedang kini menjadi asing. Aku berusaha tidak mengindahkan perasaanku. Biarlah dia bekerja sesuai pikiranku.
"Aku pikir, kamu sudah lupa." ujarnya.
"Maaf, apa ada yang bisa aku bantu?"
"Besok acaranya. Apa mungkin masih ada yang belum siap?"
Aku terdiam, "Alhamdulillah kalau gitu. Aku bisa pulang sekarang."
Aku berjalan meninggalkan perpustakaan menuju parkiran. Di sana Pak Setyo sudah menungguku. Aku sengaja meminta pak Setyo menjemputku sekaligus mengantarku ke rumah ibu untuk mengambil sepeda motor.
Aku juga sudah rindu dengan pelukan ibu. Gus Bilal mengizinkanku asal tidak terlalu sore karena akan ada acara akikah putri Gus Akmal yang pastinya akan membuatku harus menginap di ndalem Pak Kyai bersama seluruh keluarga besar pesantren. Aku harap, ini tidak akan sulit.
Mengenai Girfan, entahlah. Dia sudah melakukan hal yang benar dan seharusnya aku tidak mempermasalahkan hal itu. Semuanya akan jauh lebih baik jika aku menerimanya tanpa berkeluh kesah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fiksi Penggemar{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...