Langit malam pernah menjadi pemandangan paling menyenangkan. Menatap rembulan dan menghitung bintang semasa kecil bersama ayah adalah kesukaan. Masa itu adalah kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
Aku duduk di ruang keluarga dengan secangkir teh hangat dan biskuit favoritku. Tidak melakukan apapun, hanya bermain ponsel mengelilingi banyak aplikasi untuk menghibur diri.
Cindy☀️
|Gimana kabar, lo?
Gue kangen banget, nih!Me
|Alhamdulillah, baik.
Sama! Gue juga kangen
banget sama lo.Cindy☀️
|Eh, Da!
Gus-gus ponpes Al-Kahfi
ada yang kuliah di Inggris?Me
|Siapa?Cindy☀️
|Yaelah! Gue nanya!Me
|Hehe. Enggak tau.Cindy☀️
|Bentar.
Nanti lagi, ya.
Semua gue pulang
Suami.Cindy Aulia. Sahabatku. Ya, dia sudah menikah di Aceh satu minggu yang lalu. Acaranya tertutup. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat saja. Bahkan aku dan mawar pun tidak bisa ikut ke sana.
Tak ingin sibuk dengan urusan rumah tangga Cindy, aku beralih pada buku harianku yang hanya berisikan kata-kata pendek, bukannya cerita panjang seperti diary pada umumnya.
"Ketika mengingat bahwa Tuhan memang akan menghadirkanmu diwaktu yang tepat, aku merasa baik-baik saja. Namun, ketika aku mulai rindu, tidak ada kata terbaik untuk mendefinisikan perasaanku."
"Aku adalah simbol dari cinta. Bagaimana mungkin semua orang mempertanyakan keberadaan cinta dalam hidupku, sedangkan diriku adalah bagian darinya."
Menjadi penulis bukanlah bagian dari mimpiku. Sedari dulu aku hanya suka membaca, hingga ayahku memberiku ruangan khusus yang menjadi perpustakaan pribadiku.
Tidak hanya berisikan buku bacaan ataupun novel, tetapi juga kitab kuning yang sudah dipenuhi makna berkat kerja kerasku menahan kantuk dan letih. Entah bagaimana nasib ruangan itu saat ini. Kuyakini dia sangat merindukan pemiliknya.
∆∆∆
"Gimana agendanya, Bu?"
"Iya, enggak ada kabar apa-apa kayaknya."
"Pak Girfan sama ibu cocok, loh!"
"Waduh! Habis ini langsung sebar undangan, nih!"
Aku hanya bisa tersenyum akan obrolan singkat dengan para guru. Agenda OSIS bulan ini memang sudah dimusyawarahkan denganku dan Girfan di grup whatsapp kemarin malam, tetapi belum ada konfirmasi dari Girfan bagaimana langkah selanjutnya.
Kini langkahku menuntun pada perpustakaan. Pria itu terus saja mengirim pesan yang sama berkali-kali. Keadaan Ning Aisyah mungkin sedikit mengganggu pikirannya. Pasalnya ketika kita pulang dari rumah sakit sudah cukup larut dan itu hanya datang Ning Azizah, kakak kandungnya.
Tepat di pintu perpustakaan pendengaranku merasa terganggu dengan suara bising dari dalam ruangan. Mengapa ramai sekali? Batinku bertanya-tanya, hingga akhirnya aku membuka pintu perpustakaan dan terkejut karena perpustakaan yang biasanya hanya berisikan tiga sampai empat orang, kini berubah menjadi pusat perbelanjaan.
"Anak-anak, kembali ke kelas kalian masing-masing! Ini masih jam pelajaran, nanti kalau sudah waktunya istirahat, kalian bisa baca buku sepuasnya." Perintahku.
Girfan hanya diam di tempat duduknya tidak bersuara sedikitpun. Sedangkan mereka keluar dengan umpatan yang membuatku heran. kuyakini mereka rata-rata kelas dua belas. Pasalnya wajahnya asing jarang terlihat karena memang aku hanya mengajar kelas sebelas.
"Cemburu Bu?" Ejek Girfan.
"Nggak! apa untungnya cemburu sama kamu?" tanyaku.
"Enggak ada, sih." jawabnya polos.
"Itu kamu tau."
Aku berjalan ke arah rak buku bertuliskan 'Sejarah' mengambil satu buku berjudul 'Panggil Aku Kartini Saja' karya Pramoedya Ananta Toer. Aku sudah pernah membacanya. Buku karya sastrawan besar yang dimiliki Indonesia itu membuatku ikut serta mengenal sosok hebat, Raden Ajeng Kartini.
Salah satu kutipan penting dalam buku itu yang selalu aku ingat adalah,
"Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” --Kartini."Kamu suka baca buku?" tanya Girfan.
"Iya."
"Suka nulis?"
"Lumayan."
"Kalau begitu kamu tentuin penulis yang cocok untuk seminar jurnalistik. Nanti malam aku jemput." ucapnya.
Aku tersenyum dalam hati. Apakah dia peramal? Awalnya aku bingung, mengapa aku tiba-tiba datang ke perpustakaan disaat bibir ini tak bisa berucap apa yang menjadi tujuan. Untung saja dia sudah menjawab semuanya tanpa menyulitkan pikiran buntuku.
"Baiklah. Saya pergi dulu."
Dia berdiri di tempat dengan tatapan aneh, "Sudah? Itu saja?" tanyanya.
Aku memalingkan wajah. Berusaha menahan tawa, pasalnya raut wajah pria itu mengingatkanku pada ucapan Rohman malam itu, "Nanti mirip Sinchan." Aku tahu Sinchan tak semanis dia, tetapi tokoh kartun itu cocok jika diperankannya."Iya. Saya harus kembali mengajar."
"Saya-saya mulu Bu guru! Kita, kan, teman. Masa pakai saya? Kenapa enggak abdi sekalian?! Giliran sama Rohman lo-gue." keluhnya.
Aku tersenyum, "Yasudah. Aku pergi dulu." ucapku.
"Nah, gitu kan lebih baik."
"Dasar! Ada-ada saja." batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfic{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...