(8) BU ENGGAR

30 3 0
                                    


My mama don't like you and she likes everyone
And I never like to admit that I was wrong
And I've been so caught up in my job, didn't see what's going on
But now I know, I'm better sleeping on my own
'Cause if you like the way you look that much
Oh baby, you should go and love yourself

"Suka banget sama lagunya Justin Bieber?" tanyaku.

"Maklum. Bliebers dari orok." jawabnya.

Aku tersenyum. Beberapa lagu penyanyi asal Kanada itu menemaniku sepanjang perjalanan. Sepertinya mobil Girfan adalah tempat terbaik sejauh ini. Aku merasa tenang dan nyaman. Aku akan mengujinya dengan Dani, apakah setelah itu suasananya akan tetap semenyenangkan ini?

"Sudah makan?" tanyanya ketika mobil berhenti akibat lampu merah.

"Belum." jawabku.

"Kita makan dulu atau langsung ke tujuan awal?"

"Tujuan awal. Enggak baik kalau berhenti sana-sini. Nanti enggak sampai-sampai."

"Oke."

Pandanganku mengarah pada jalan raya. Sepertinya lampu merah menyebabkan kemacetan cukup parah, bahkan pengendara mobil di belakangku terus saja membunyikan klakson. Sepertinya dia sangat kesal.

"Berisik banget. Bau-bau makhluk luar angkasa." celetuk Girfan.

Aku tersenyum mendengar ocehan Girfan. Pandanganku menelisik ke belakang. Ingin mencari tahu siapakah yang membuat keramaian di tengah jalan. Namun, tiba-tiba mobil berjalan dan menuntunku untuk tetap diam dan kembali pada posisi ternyaman.

"Bentar lagi sampai, tapi aku belum tahu siapa penulis itu. Apakah dia masih muda?"

"Seusia Bu Dora. Lebih mudah dari ibuku."

"Namanya?"

"Bu Enggar."

Tiba-tiba Girfan mengerem mobilnya dan membuatku terkejut, "Ada apa?!" tanyaku.

Dia membisu, lalu tiba-tiba memutar balikan mobilnya tanpa persetujuanku. Aku terus bertanya apa yang membuat sikapnya berubah hanya karena mendengar nama Bu Enggar. Namun, tak ada sepatah katapun yang keluar sebagai jawaban.

"Kita putar balik ke rumah Bu enggar atau aku turun di sini."

"Kita pulang." lirihnya

"Apa-apaan kamu! Itu tujuan awal kita pergi."

"Aku enggak suka, Da. Kita cari penulis lain."

"Enggak bisa, Girfan! Aku sudah buat janji sama Bu Enggar."

"Tinggal dibatalin selesai, kan?!"

Tak ingin menjawab ucapan pria itu. Dia sedang emosi, bahkan nada bicaranya mulai terdengar kasar. Entah apa yang membuatnya sampai seperti itu. Bukan masalah jika dia sampai membentak diriku, tetapi akan jadi masalah jika ini membuat luka di hatinya.

"Maaf, Da. A-aku kelepasan."

"Jujur sama aku dan kita lupain Bu Enggar."

Selain tidak pandai berbohong dia juga tidak pandai berbicara. Girfan. Manusia aneh dengan berbagai rahasia dalam hidupnya. Dia tidak tahu, bahwa meski aku tidak bicara apapun, tapi aku berusaha mengerti apapun itu dengan cara diam dan meneliti.

"Tidak ada. Aku hanya punya feeling enggak bagus saja waktu dengar namanya."

"Yasudah. Kalau begitu percaya padaku, dia orang yang baik. Sekarang kita putar balik ke kantor Bu Enggar dan menyelesaikan pekerjaan kita."

"Tapi, Da. Aku merasa dia bukan orang yang baik."

"Itu hanya perasaanmu. Sudahlah. Kamu lebih percaya aku atau perasaanmu?"

Aku tersenyum. Meredakan sedikit kekhawatiran. Girfan sempat membuatku ragu, tetapi Bu Enggar adalah penulis yang sangat berkompeten dan kalaupun dia bukan orang yang baik, dia juga tidak akan merugikan sekolah terkenal, kan? Apalagi di saat namanya sudah dikenal publik.

∆∆∆


Hari sudah semakin larut. Aku berusaha menahan perih di perutku. Aku lupa, dia tidak bisa diajak kompromi. Sedikit saja aku terlambat mengisinya, maka dia akan membuatku tak mampu berjalan tegap.

Semua ini karena Bu Enggar tidak ada di kantornya dan membuat kita harus melanjutkan perjalanan agar sampai di kediaman penulis Buku best seller itu. Rumah megah di perumahan elit yang cukup jauh dari kantornya dan semakin jauh dari rumahku pastinya.

Kini aku dan Girfan telah sampai di rumah Bu enggar, bahkan disambut ramah oleh satpam penjaga rumahnya. Kita diarahkan untuk mengistirahatkan diri dengan duduk di ruang tamu dengan sofa empuk dan makanan ringan serta jus jeruk yang terlihat segar.

Mataku menyelidik menatap ruang tamu yang cukup besar dan mewah. Desain yang unik dengan hiasan dinding yang lucu membuatku terpanah dibuatnya.

"Dengan Bu Fida?"

Merasa namaku dipanggil aku pun menoleh. Aku berdiri dan menatap wanita setengah paru baya yang terlihat cantik dengan baju rumahnya. Sangat sederhana, meski awalnya aku pikir dia akan berpakaian mewah dan glamor.

"Iya, Bu. Saya Fida." ucapku sambil menjabat tangannya, "Saya sangat beruntung bisa bertemu penulis terkenal seperti ibu."

"Saya juga senang bisa bertemu gadis secantik kamu."

Mendapati Girfan yang masih diam, aku pun memperkenalkan dirinya sebagai partnerku. Seseorang yang akan membantuku pada kewajiban penting yang harus diselesaikan sebaik mungkin.

Girfan pun menjabat tangan Bu Enggar dan semua terlihat baik-baik saja. Aku melihat senyuman dan tidak ada ketakutan dari wajahnya. Pikirku, mungkin dia sudah menyadari bahwa feeling-nya mengenai Bu Enggar adalah salah.

Kita pun mulai membicarakan tujuanku dan Girfan datang kepadanya. Menceritakan bagaimana sekolah kami dan mendiskusikan apa saja yang akan dibahas pada acara tersebut.

Girfan pun lebih banyak berbicara dari pada diriku. Pemikiran Girfan yang luas dan ide cemerlang miliknya membuatku merasa, seharusnya aku tidak perlu menjadi partnernya Karena tanpa diriku pun dia sudah sangat luar biasa.

"Konsep yang Pak Girfan pilih sangat cemerlang. Saya merasa Pak Girfan sangat berbakat dalam merencanakan sesuatu."

Aku tersenyum mendengarnya. Benar saja. Aku masih tidak menyangka bahwa dirinya akan mengeluarkan ide-ide bagus yang bahkan membuat Bu Enggar kagum.

"Saya berharap semua akan berjalan lancar sesuai dengan keinginan kita." ucap Bu Enggar.

"Aamiin." ucapku.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang