{17} RASA BIMBANG

34 2 0
                                    

Setelah kejadian itu, perasaanku tiba-tiba tidak enak. Apakah ada yang salah dengan diriku. Bagaimana tidak, dia menanyakan nasib 'As- Syifa' setelah melihatku yang menjadi istri Gus Bilal. Aku berharap, ibu mertuaku tidak berpikir hal yang sama dengan mereka.

"Jangan dipikirin. Mereka itu enggak tahu apa-apa."

Aku enggan menjawab. Di sini aku adalah orang biasa yang dinikahi oleh seorang putra kyai dan parahnya dia menolak perjodohan dengan putri pemilik pondok pesantren terkenal dan memilih diriku yang bukan siapa-siapa.

Bagaimana aku bisa tidak memikirkan nasibku, jika sudah seperti ini. Aku hanya berharap, jika takdirku tidak seperti di novel-novel. Dimana akan di benci seluruh keluarga suaminya, lalu berakhir dimadu dan menderita.

Mobil tiba-tiba berhenti, membuatku tersadar akan lamunanku, "Fida." panggilnya, membuatku menoleh. Mata kita bertemu. Senyumnya mengembang, kala melihat wajahku yang sudah dipastikan terlihat cemas. Tanpa aba-aba dia mencium keningku, membuatku menjatuhkan air mata.

Perasaan yang kacau sejak dari rumah sakit, lalu tiba-tiba mendapat perlakuan seperti ini, membuat hatiku merasa terharu. Jika boleh memilih, tentu saja aku tidak ingin menangis, tapi air mata ini turun begitu saja. Tanpa aku memintanya.

"Maaf," Tangan Gus Bilal bergerak menghapus air mataku. Jarak kita begitu dekat. Gugup rasanya. Aku masih belum terbiasa dengan status baruku.

"Enggak. Tidak perlu meminta maaf. Aku memang seperti ini. Cengeng." jelasku.

Dia hanya tersenyum kemudian mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku, "Istriku hatinya lembut. Penyayang." ujarnya, kemudian meraih ponselnya yang berdering.

"Wa'alaikumussalam. Lagi di mobil."

"Mas nanti beliin. Yang kayak gimana, sih?"

"Enggak paham, Yas. Ngomong sama mbak Fida aja ya?"

"Astaghfirullahaladzim. Enggak mas beliin, nih?"

"Wa'alaikumussalam."

Gus Bilal menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, lalu sedetik kemudian melajukan mobilnya kembali, "Siapa, Gus?" tanyaku. Dia hanya tersenyum, lalu memberikan ponselnya kepadaku.

"Kamu coba telfon Muyas. Dia anaknya keras kepala." ujarnya dengan senyuman.

Aku hendak bertanya, tetapi ponsel Gus Bilal tiba-tiba berdering dan tertera nama 'Muyas' di sana, membuatku langsung mengangkatnya. Aku harap, adik iparku ini tak sesuai dugaanku.

"Mas. Nitip, dong! Jangan pelit kenapa, sih? Muyas butuh banget, nih."

"Nitip apa, Ning?"

Suara Ning Muyas tiba-tiba tidak terdengar. Aku melihat kembali layar ponsel, ternyata masih tersambung, lalu kenapa dia tidak bersuara. Bukankah sebelumnya dia sangat antusias akan keinginannya.

"Mbak coba cariin. Kamu mau nitip apa?"

"Emm, aku chat aja. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah Muyas menutup teleponnya, pesan singkat pun muncul. Aku tersenyum membacanya. Pantas saja, dia malu mengatakan hal itu padaku dan Gus Bilal juga tidak memahaminya. Ternyata hanya perihal pembalut.

∆∆∆


Rasanya cukup lelah. Aku baru tahu, jika Gus Bilal mengajakku untuk mengurus tentang pernikahan kita. Benar, akad nikah memang sudah dilaksanakan, tetapi sebagai keluarga terpandang, melakukan resepsi untuk membagi kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi adalah sebuah keharusan.

Mulai dari mengurus undangan, gedung, makanan, hingga pakaian. Semuanya berjalan dengan baik, termasuk juga membeli titipan Ning Muyas. Aku juga baru tahu, jika Gus Bilal juga terkenal. Meskipun, Gus Akmal tidak pernah mengekspose saudara dari ibu keduanya.

Kini, aku dan Gus Bilal berada di sebuah restoran yang tampaknya cukup terkenal di kalangan anak muda. Mayoritas dari mereka tengah membuat vidio tik-tok dengan tema yang berbeda-beda. Aku juga melihat banyak murid SMA semesta yang berkeliaran mengenakan seragam sekolah.

"Mereka murid kamu?"  tanya Gus Bilal 

"Enggak, cuma kebetulan aku tahu mereka."

Rasanya masih canggung, bahkan Gus Bilal terkesan bingung memulai percakapan. Aku yang notabenenya pendiam, jadi makin bimbang. Apakah pernikahanku akan berjalan baik, hingga akhir. Apa semuanya akan baik-baik saja. Takut, jika ini adalah salah satu ketidak cocokan.

Di dalam mobil kita juga tidak banyak berbicara. Berbeda ketika bersama dengan Girfan. Lelaki itu memang menyebalkan. Membuatku banyak bersuara. Dia merubahku menjadi gadis cerewet dan terkesan galak.

'Astaghfirullahaladzim. Ada apa dengan hatiku.'

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang