Semua perempuan akan begitu bahagia dengan kata 'pernikahan', termasuk juga gadis bernama Olivia. Dia terlihat begitu cantik dengan dress berwarna abu-abu dan riasan diwajahnya membuatku begitu kagum.
Acara berjalan lancar. Mulai dari Dani yang mengutarakan niatnya, Olivia yang mengiyakan lamarannya, hingga acara sesi foto bersama. Keluarga Olivia sangat ramah, meskipun ada satu dua orang yang memandangku tidak suka, tapi itu bukan suatu masalah.
Kini kami tengah sibuk menikmati makanan sebagai penutup pertemuan malam ini. Berada ruang makan dengan meja yang begitu besar, sebenarnya membuatku sedikit tidak nyaman. Pasalnya aku telah lama meninggalkan kemewahan bertahun-tahun lamanya.
Keluarga Olivia sendiri bisa dikategorikan kaya raya. Ayah ibunya adalah pengusaha terkenal. Sejalan dengan karir mereka, wajar bila rumah, mobil dan perhiasan begitu mencolok di-pandangan mata.
"Dani anak kedua ya, Bu?" Seseorang dengan lipstik merah merona mulai berbicara. Sepertinya dia lelah akan keheningan yang ada.
"Iya, Bu. Anak terakhir." jawab ibuku dengan senyum hangatnya.
"Berarti Dani mendahului kakaknya, dong! Enggak apa-apa itu? Masalahnya kakaknya perempuan, loh.." Wanita itu menatapku, sedangkan aku masih sibuk memasukkan daging ke dalam mulutku.
"Tapi emang enggak apa-apa? Biasanya kalau gitu mbaknya susah dapat jodoh, loh!" Perempuan yang terlihat masih muda ikut berkomentar.
"Saya punya kenalan, Bu. Duda kaya raya. Namanya Ilham."
Kini aku mulai diam. Mendengar dan melihat bagaimana mereka mengomentari hidupku. Sebenarnya ini sudah terlalu sering. Aku sudah biasa, tetapi entah mengapa tetap saja sakit. Mungkin air mataku tidak menetes, tetapi luka dalam hatiku kian membesar.
"Ilham yang mana, Mom?" tanya gadis disampingnya. Sepertinya mereka ibu dan anak.
"Ilham ayahnya Izzah." Wanita itu tertawa di-ikuti putrinya. Sepertinya aku tahu siapa orang yang mereka maksud.
"Cocok banget, Mom!" Gadis itu menatapku tidak suka. Dasar aneh! Kita baru bertemu, tetapi tingkahnya seperti sudah bermusuhan selama tujuh tahun.
Aku membiarkan semua ucapan bodoh mereka, begitu juga tatapan menyebalkan lainnya yang seolah prihatin kepadaku. Persetan dengan semuanya. Aku lebih memilih fokus dengan ponselku.
Dani
|Ke pesantren cepetan!
Ning Aisyah meninggal."Astaghfirullahaladzim." Tubuhku tiba-tiba lemas. Air mataku menetes begitu saja. Semua orang menatapku menuntut penjelasan.
"Maaf, saya permisi."
Aku berlari keluar rumah besar itu. Tak peduli dengan apa yang ada di pikiran semua orang. Rasanya ini benar-benar buruk. Ya Allah, mengapa engkau menjemputnya secepat ini.
Dengan buru-buru aku memasuki mobil. Entah bagaimana ibu dan Dani pulang nantinya. Semua yang ada dipikiranku hanya tentang Ning Aisyah. Wanita cantik itu meninggalkan putrinya yang baru saja lahir.
Beberapa hari yang lalu, Dani memberiku kabar jika putri Ning Aisyah lahir sehat dan selamat. Namun, keadaan Ning Aisyah kritis. Dia tidak sadarkan diri dan koma selama hampir dua minggu.
∆∆∆
Suasana haru dipenuhi air mata di kediaman Ning Azizah. Aku mencari dimana lelaki yang mengirimkanku pesan beberapa saat yang lalu. Sepertinya aku terlambat. Jenazah Ning Aisyah telah dimakamkan. Terbukti hanya ada para wanita di tempat ini.
"Mbak, Aisyah-" Aku menghampiri wanita itu. Dialah Izzah. Putri duda kaya yang dimaksud salah satu keluarga Olivia tadi.
"Aku tahu." Aku memeluknya erat. Ada raut penyesalan di wajahnya. Izzah adalah ipar yang baik. Aku tahu itu.
Suara ramai langkah kaki memutar pandangan semua orang. Terlihat dengan jelas wajah Rohman diantara banyaknya lelaki yang baru saja mengantarkan Ning Aisyah ke peristirahatan terakhirnya.
Beberapa orang memilih pergi dan lainnya tetap duduk diam dengan pemikiran masing-masing. Aku tahu, kini tempat ini hanya tersisa keluarga besar pesantren. Rasanya tidak pantas jika aku tetap ada di sini.
"Dimana Akmal?" Suaranya mengalihkan perhatianku. Wajahnya tampak asing. Apakah dia juga putra Abah Yai? Mengapa aku tidak pernah melihatnya.
"Rohman, dimana pria itu?" Aku melirik pria yang dipanggilnya. Dia tersenyum tipis kearahku, seolah memintaku untuk tenang.
"Gus Akmal pergi, Gus. Beliau tidak memberi tahu akan kemana."
"Cari kemana dia pergi. Aku ingin bicara dengannya." Atas perintahnya, lelaki itupun pergi. Aku ingin sekali mengikutinya, tetapi Izzah tak ingin melepaskanku.
"Semua ini karena Abah. Kalau saja Abah tidak membiarkan anak kesayangannya menikah dengan Aisyah. Semua ini tidak akan terjadi."
Aku masih diam. Memeluk tubuh Izzah dengan kuat. Rasanya akan ada pertengkaran besar di rumah ini. Aku tahu, jika keluarga besar pesantren memang tidak selalu bahagia. Banyak konflik yang sering terdengar dari gosip para ustazah diniyah, walaupun entah dari mana awalnya.
Banyak guru sering mempermasalahkan tentang bagaimana sikap putra dan putri Abah dari Umi Salimah. Tentu saja, seperti Gus Akmal yang memilih mempersunting gadis berusia enam belas tahun, Gus Ni'am justru sering pulang malam dengan keadaan mabuk.
"Sudahlah, Kak. Ini takdir. Jangan salahkan Abah ataupun Mas Akmal. Allah sayang Aisyah, itu sebabnya Aisyah diambil lebih dulu."
Suara itu semakin membuat Izzah terisak. Dia adalah Gus Alif. Suaminya itu adalah putra ke enam dari Abah di pernikahannya bersama umi Salimah. Setidaknya pesantren punya beliau yang masih bisa diajak bekerjasama.
Abah memang memiliki dua istri. Di pernikahan pertamanya bersama Umi Salimah beliau dikaruniai delapan anak. Lima laki-laki dan tiga perempuan. Sebagian mengurus pondok cabang dan lainnya pusat di Jakarta.
Untuk pernikahan kedua bersama Bunda Hafizah. Beliau dikaruniai dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Aku tidak begitu dekat dengan mereka, bahkan tidak tahu menahu. Hanya beberapa kali bertemu dengan Bunda karena tugas pesantren.
"Aku akan pergi. Beritahu Akmal untuk menemuiku di rumah sakit."
Semua orang hanya diam. Tak ada yang ingin membalas ucapannya. Aku melihat ke arah lelaki itu. Dia tampak biasa saja diacuhkan oleh keluarganya sendiri. Tak ada beban diwajahnya, meskipun seharusnya dia marah.
"Apakah ada anggota baru di rumah ini?" tanya lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfiction{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...