(13) PERAWAN TUA

30 3 0
                                    

Sejak pagi, aku sibuk membersihkan rumah. Menyapu, mengepel dan juga mengelap jendela. Jika ditanya kenapa, jawaban paling tepat adalah karena aku ingin menyibukkan diri.

Para ibu-ibu yang kebetulan tengah membeli sayur pun sepertinya menatapku dengan tatapan berbeda-beda membuatku sesekali melirik mereka dengan senyuman.

"Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?"

"Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh."

"Masa belum ada pacar, sih? Mbak Fida kan cantik, berpendidikan, wanita karir juga."

"Minder kali, Bu! Anak saya aja lulusan SMA banyak yang ngelamar. Emang perempuan itu harusnya enggak sekolah tinggi-tinggi."

Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka tentang kehidupanku. Toh, mereka memang berhak berbicara, begitu juga denganku. Aku berhak memilah mana yang baik dan tidak untuk ditanggapi dan kudengarkan.

"Jodoh itu ketentuan Allah, bukan saya pribadi. Dan perempuan itu adalah madrasah pertama seorang anak, jadi alangkah baiknya, kita memberi pendidikan yang pantas untuk putri kita."

Mendengar apa yang aku katakan, membuat mereka enggan kembali berbicara. Atensi mereka kembali kepada sayur-sayuran yang sedari tadi tak kunjung dipilihnya. Aku pun kembali ke dalam rumah. Tak lagi ingin kembali mendengar ucapan mereka.

Berjalan ke arah meja makan untuk meminum segelas air, aku melihat ibu yang tengah sibuk di dapur. Calon menantunya akan datang malam ini, itu sebabnya ibu sangat antusias membuat kue dan juga makanan favorit gadis itu.

Tak ingin menghampiri ibu, membuatku kembali ke ruang tamu. Di sana aku hanya diam dan merenungi hidupku. Rasanya sangat memikirkan pernikahan, jodoh, dan perawan tua.

Awalnya aku tak mempermasalahkan apapun dengan Dani yang lebih dulu menikah dibandingkan diriku, tapi semakin hari aku menjadi muak. Semua orang menyudutkan diriku. Kata perawan tua itu berhasil membuat hatiku terluka.

Air mata tiba-tiba keluar begitu saja. Aku langsung menghapusnya kasar. Teringat lelaki kemarin yang melamarku di depan ndalem Ning Azizah. Entah siapa lelaki itu. Mengapa sampai sekarang dia tak kunjung datang?

"Aku enggak ingin berharap lebih, tapi wajahmu sulit untuk dilupakan. Dan kalimat manismu selalu teringat dalam ingatan."

∆∆∆

Sudah hampir sepuluh menit sejak kedatanganku di kelas diniyah malam ini, tetapi para santri masih setia dengan rayuan maut mereka. Katanya, untuk hari ini saja pelajaran libur dan diganti dengan cerita.

Aku sebenarnya tidak masalah, jika mereka ingin aku bercerita, tetapi jika tentang meninggalnya Ning Aisyah, rasanya tidak mungkin. Aku saja tak ingin terlibat masalah apapun dengan keluarga ndalem, apalagi Gus Akmal yang notabenenya cukup dikenal sebagai pendakwah di media sosial.

"Ayo ustazah, cerita! Katanya, Ning Aisyah sering di kdrt ya sama Gus Akmal?"

"Dengar-dengar Ning Aisyah terpaksa nikah ya sama Gus Akmal?"

"Iya, ustadzah! Gimana awalnya mereka bisa nikah, sih?"

Aku menatap mereka yang tampaknya begitu ingin tahu dengan rahasia di balik hubungan Gus Akmal dan juga Aisyah. Belum lagi kabar kematiannya setelah melahirkan sang putra. Jangankan warga pesantren, seluruh Indonesia juga dibuat penasaran dengan kisah cinta Gus tampan yang sedang di senangi banyak perempuan itu.

"Kalian sudah tau putra-putrinya Abah Yai, belum?" tanyaku berusaha mengalihkan topik.

"Belum, ustazah!"

"Ayo cerita, Ustazah!"

Aku tersenyum, lalu mulai menceritakan semua yang aku tahu. Jika Abah Yai memiliki dua istri. Bu Nyai Salimah dan Ummah Hafizah. Dari Bu Nyai Salimah, beliau di karuniai Lima putra dan tiga putri, sedangkan dari ummah Hafizah satu putra dan satu putri.

"Siapa yang hafal putra putrinya Abah Yai!"

"Saya ustazah!"

"Ayo, sebutkan. Urut loh, ya!"

"Oke. Ustazah. Gus Misbah, Ning Azizah, Gus Nafi', Ning Shafiyah, Gus Akmal, Gus Alif, Gus Ni'am, Ning Labibah. Gus Bilal, Ning Muyas."

"Gus Bilal?"

"Iya, Ustazah! Putranya Abah dari Ummah. Ustazah nggak tau?"

Aku tersenyum, "Iya, kayaknya kamu lebih tau dari pada saya."

Aku paham. Selama ini, aku jarang sekali bertemu dengan ummah. Dan nama Gus Bilal, baru kali ini di dengarnya, sedangkan Ning Muyas sendiri aku pernah bertemu dengannya dua kali ketika acara milad Abah Yai.

∆∆∆ 


Sedari tadi aku tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Apakah dia adalah Gus Bilal? Kedatangannya di tengah-tengah keluarga ndalem, amarahnya dengan Gus Akmal dan perhatian yang begitu tampak akan kehidupan keluarga pesantren menunjukkan bahwa dia adalah bagian dari mereka.

Aku bahkan tak fokus menyetir, hingga hampir menabrak seekor kucing yang tengah membawa anaknya dengan terburu-buru. Karena itu aku akhirnya memilih berhenti dan memarkirkan mobilku di depan toko bunga yang tampak sepi.

Melihat bagaimana sepinya toko bunga, membuatku mengingat awal mula kehidupanku setelah aku memaksa ibu untuk berpisah dari ayah. Dan beralih ke Jakarta karena pada saat itu aku mendapatkan beasiswa full di salah satu universitas di Jakarta.

Aku mendapat tawaran mengajar di pesantren Al Kahfi sebab kakek Udin menceritakan tentangku kepada Bu Nyai Salimah, lalu aku juga bekerja di toko bunga, menjadi guru les, dan terakhir mendaftar menjadi guru di SMA Dewi Sartika yang membuatku sempat menjadi penjaga perpustakaan.

Ternyata masa-masa itu telah usai. Kini hidupku jauh lebih baik. Mobil, rumah pun berhasil aku miliki. Aku bersyukur atas hidupku saat ini, meskipun ayah tidak bersamaku dan teka-teki jodoh yang tak kunjung usai. Penantian ini entah berakhir pada pernikahan ataupun kematian.

"Kak, bunganya?" Seseorang berdiri dengan bunga di tangannya, membuatku membuka kaca mobil.

"Iya. Ada apa ya?" Tanyaku.

"Ini kak, tadi ada cowok yang minta saya kasih ke kakak!" jelasnya, membuatku mengerutkan keningku.

"Siapa ya?"

"Enggak tau, tapi katanya sebagai ungkapan cinta."

Aku tersenyum. Ada-ada saja lelaki jaman sekarang, "Buat kamu aja bunganya." ucapku.

"Eh! Nggak boleh kayak gitu, kak. Cowoknya baik loh."

Aku terdiam beberapa saat. Menimbang apakah aku harus menerimanya atau tidak. Melihat gadis ceria itu membuatku akhirnya mengangguk, "Yaudah, deh." Dia tersenyum dan memberiku bunga mawar yang sedari tadi digenggamnya.

"Semoga kalian berjodoh." ucapnya, lalu pergi.

"Apakah dia?" lirihku dalam hati.







GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang