Hari ini adalah hari dimana aku resmi tinggal di rumah Gus Bilal. Ndalem Umma Hafizah. Rasanya akan cukup sulit, terlebih sepertinya Ning Muyas tak begitu menyukaiku. Dan semua tanggung jawab pesantren juga menjadi urusanku. Tak hanya menjadi guru diniyah saja sekarang, tapi seorang istri dari putra pemilik pesantren.Aku masih menangis dalam diam karena harus berpisah dengan ibu, padahal sejak SMP aku sudah hidup di pondok pesantren. Dan jauh dari orang tua itu biasa bagiku, tetapi sekarang berbeda.
Aku hidup untuk lebih banyak orang. Tanggung jawab yang besar dan sabar yang harus di perdalam. Aku akan berusaha mengamalkan semua ilmu yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.
"Bentar." Gus Bilal keluar dari mobil, lalu secepat kilat kembali membawa satu plastik cimol dengan bumbu merah kesukaanku. Dari mana dia tahu jika aku menyukainya?
"Ini bukan makanan yang sehat, tapi untuk sekali ini nggak papa."
Aku menatap cimol itu dengan senyuman, lalu menghapus air mataku dan menyantap cimol itu dengan bahagia. Teringat dulu waktu SMP setiap aku membeli jajan, pasti hanya cimol yang aku beli. Menurutku cimol enak dan hemat.
"Kamu tidak ingin menyuapiku?"
Mendapat pertanyaan itu dari seorang dokter, membuatku berhenti mengunyah, "Ini bukan makanan yang sehat. Gus." balasku seadanya.
"Enggak papa. Asal disuapi." jawabnya membuatku spontan menggeleng.
"Aku bisa menyuapi njenengan kapan saja." Baiklah. Aku harap, aku tidak salah berucap.
"Apa kamu tidak ingin berhenti memanggilku gus. Itu terlalu aneh untukku. Pertama, karena kamu istriku. Dan kedua, aku lebih banyak di rumah sakit dari pada mengajar para santri, Ning Fida."
Aku mengangguk. Benar, kita sudah menikah. Harusnya aku mengganti panggilan. Namun, Bukankah itu akan terdengar aneh? Lagi pula dia tetaplah putra pak Yai. Gus Bilal.
"Baiklah, Mas." ujarku ragu bercampur malu.
"Lebih baik, sayang." ujarnya dengan mengelus kepalaku.
Cimol di tanganku hampir saja jatuh kalau saja aku tidak lebih dulu sadar. Semenjak kejadian tadi malam, Gus Bilal terlihat lebih terbuka dan itu membuat hatiku kalang kabut dibuatnya. Ternyata seperti ini rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal.
∆∆∆
Aku baru saja menjadi imam sholat dhuhur di musholla pondok putri karena Ning Azizah sedang halangan. Beberapa santri menyalamiku. Namun, yang aku lihat mereka tampak canggung, padahal sebelumnya mereka selalu menyapaku dan mengajakku bercerita banyak hal.
Ternyata status baru ini membuatku harus kembali mengajak mereka berinteraksi. Lebih dekat. Namun, tetap menghormati. Mereka harus tetap mengerti batasan ketika mengajak berbicara ataupun bercanda. Intinya sopan dalam bahasa dan nada bicara mereka terhadap yang lebih tua. Entah itu kakak kelas, ustazah, terlebih lagi Ananing dan juga Bu Nyai.
Aku hanya tidak ingin jikalau persaudaraan di pondok pesantren tidak lebih baik dari di luar. Apalagi jika harus perang angkatan dan semacamnya. Mereka harus bisa saling menyayangi dan menghargai tanpa harus melihat rupa, pakaian ataupun kedudukan.
Aku juga tidak lupa dengan ngaji alumni, oleh karena itu aku ingin sedikit beristirahat agar terlihat fresh nantinya. Merebahkan tubuhku dan memasang alarm jam setengah tiga. Aku berharap Allah membangunkan ku.
"Mbak, ada wali santri sowan. Umi lagi nggak ada." Itu suara Ning Muyas. Aku bergegas keluar kamar dan mendapati adik iparku itu tengah fokus dengan laptopnya.
Dengan langkah gontai aku membuka pintu dan mendapati seorang ibu dan juga putrinya yang terlihat sangat pucat. Ibu itu hendak menyalami tanganku. Namun, aku mencegahnya. Rasanya tidak pantas jika orang yang lebih tua melakukan itu kepadaku yang bukan siapa-siapa.
"Masuk dulu, Bu."
Aku membawa mereka duduk di ruang tamu. Di sana ibu itu menceritakan tujuannya ingin bertemu umi karena ingin membawa pulang putrinya. Beberapa hari sakit dan tidak ada yang mengurusnya adalah alasan paling masuk akal untuk membawa putrinya pulang.
Aku menatap putrinya yang terlihat menangis. Entah karena sakit atau adalah alasan lain, "Maaf, Bu. Untuk kelalaian kami, tapi apakah putri ibu menyetujui keinginan ibu?" tanyaku berusaha sehalus mungkin.
"Enggak, Ning. Dia masih mau di sini, tapi saya sebagai ibu enggak tega kalau anak saya mati di sini gara-gara enggak ada yang ngerawat gimana?"
Aku tersenyum mendengar penjelasannya, "Maaf, Bu. Tapi apakah boleh anak ibu tetap di sini untuk tiga hari ke depan, sembari kita lihat perkembangannya. Saya akan berusaha lebih mengontrol para santri."
Ibu itu terlihat melihat putrinya yang masih menangis, lalu tersenyum menatapku, "Baiklah. Saya nurut. Doakan, Ning. Semoga anak saya ilmunya barokah." ucapnya.
"Aamiin."
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfiction{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...