Beberapa khodam sudah kembali ke pesantren setelah membantuku memasak. Baru satu hari di sini, sudah sangat menguras tenagaku. Rasanya sangat lelah. Waktu yang semakin sore membuatku bergegas untuk mandi. Sesuai pesan ibu, aku harus sudah cantik ketika suamiku pulang.
Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan mandiku karena kali ini aku tidak memakai lulur. Melakukan rutinitas selesai mandi seperti biasanya dan berakhir pada memakai hijab segi empat dan juga menyemprot parfum.
Aku melirik jam di dinding dan benar saja suara mobil Gus Bilal terdengar di telinga. Aku bergegas menyambutnya. Membukakan pintu, mencium tangannya dan membawakan tasnya ke kamar. Rasanya penatku menghilang ketika mataku menatap wajah tampan Gus Bilal.
"Kamu nggak capek?" Itu bukan suaraku, melainkan Gus Bilal.
"Capek? Enggak, Mas. Kan aku nggak ngapa-ngapain." Aku membuka jasnya, sedang dia tak berhenti menatapku.
"Mendingan Mas mandi, terus aku buatin teh anget nanti di makan sama roti atau mau makan nasi langsung?"
Bukannya menjawab dia justru mengecup bibirku singkat dan tersenyum jahil ke arahku. Aku masih terdiam di tempat yang sama, sampai dia benar-benar hilang dari pandanganku. Ya Allah, punya suami manis banget, jadi nggak ke-kontrol kan hatinya.
Aku segera mengambil baju ganti Gus Bilal, sedetik kemudian tersadar jikalau aku lupa belum menata bajuku sama sekali. Dengan cepat aku membuka koper dan langsung memasukkan semuanya ke dalam lemari. Tak lupa juga menggantung baju yang sekiranya harus digantung seperti seragam mengajarku.
"Istirahat dulu sayang, jangan semuanya langsung dilakuin."
"Sudah selesai, Mas."
Aku menatapnya yang sibuk mengeringkan rambut, "Sini, aku bantu." ucapku dan membuatnya tersenyum memberiku handuk yang sedari tadi di tangannya, "Gimana kerjanya?" tanyaku sembari berkutat dengan rambutnya.
"Alhamdulillah, enggak ada masalah. Cuma tadi ada pasien. Dia ditanyain keluhannya diem aja sayang, terus pas aku periksa, enggak kenapa-kenapa. Dia sehat. Terus tiba-tiba ada ibu-ibu pakai masker sama topi, bilang kalau bapak itu gila, tapi tatapan bapak itu kayak ada sesuatu yang mau di omongin. Kamu sendiri gimana?"
Gus Bilal berbalik menatapku, sedangkan aku hanya tersenyum. Rasanya enggak bisa ngeluh di hadapan orang lain, sedangkan lelah itu sudah jadi makanan sedari dulu, "Lancar. Seneng banget karena tadi bisa ketemu para alumni." jelasku.
"Oh, iya! Aku buatin teh dulu."
"Enggak usah. Kamu di sini aja. Bentar lagi juga adzan maghrib."
Saat sedang asyik saling tatap, ponsel Gus Bilal tiba-tiba berdering dan membuatnya keluar kamar. Aku baru ingat, sudah seharian aku tidak mengecek ponselku. Takut jika ada pesan penting.
Nana 11 IPS 3
|Bu fida, kapan masuk?
Masa kita jamkos, malah
dikasih tugas terus. Btw,
Happy wedding, Bu.
Kok kita nggak diundang.
Hehe. Becanda.Me
|Besok ibu masuk, Nan.
Aku tersenyum mengingat wajah murid-muridku. Mereka pasti sangat kesal karena banyak diberi tugas, apalagi dengan kabar jikalau aku menikah dan mereka tidak tahu sama sekali. Aku jadi tidak sabar bertemu mereka.085864******
|Aku akan membunuhmu.
Kamu akan mati.
Aku tertegun. Tidak mungkin ada orang iseng mengirimkan pesan seperti ini kepadaku. Kata-katanya bukan semata untuk menakuti, tetapi
memberi tahu yang akan terjadi. Aku harus berhati-hati setelah ini. Dia pasti sudah merencanakan hal besar.∆∆∆
Pikiran masih tak bisa beralih dari pesan itu. Aku berpikir keras, selama ini aku tidak mempunyai musuh. Bahkan, hidupku terkesan baik-baik saja terlepas dari masalah yang di ciptakan oleh perasaanku sendiri. Aku melihat Ning Muyas yang tengah menikmati makanannya, lalu beralih pada Gus Bilal yang juga melakukan hal yang sama.Aku tersenyum, lalu meminum air putih di depanku. Umi yang berada di Surabaya dan akan pulang besok pagi bersama Gus Misbah dan Ning Hawa karena acara akikah putri Gus Akmal dan almarhumah Aisyah yang akan di hadiri seluruh keluarga membuatku semakin sibuk mengurus para santri.
Ning Azizah memang mengajar dan juga turut mengimami para santri ketika Gus Imron dan Gus Bilal ada kendala, tetapi putri ke dua Bu Nyai Salimah itu jarang melihat keadaan para santri secara langsung, terlebih jika ada berbagai masalah yang mencuat.
Aku jadi teringat dengan keluarga baruku. Apakah musuhku berawal dari pernikahan ini? Tidak. Aku tidak boleh berpikir yang aneh-aneh. Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja.
"Mau kemana, Yas? Jangan lupa tugas kamu cuci piring." ujar Gus Bilal ketika melihat adiknya hendak pergi meninggalkan meja makan.
"Kok Muyas? Mas lupa, kalau mas udah punya istri. Suruh aja dia!" Gadis itu menunjukku dengan penuh amarah.
"Muyas!" Teriak Gus Bilal, membuatku spontan memegang tangannya.
"Mas, dia itu buat hidup kita tambah susah. Hidup Mas jadi tambah berat. Apalagi Umi! Mas itu bodoh karena menolak Ning Syifa gara-gara dia!"
Nafasku tercekat. Dadaku terasa sakit. Membuat hidup mereka bertambah susah. Apa maksud dari perkataan adik iparku itu. Dan Ning Syifa. Itu adalah nama yang sama yang pernah ku dengar dari teman Gus Bilal di rumah sakit.
"Minta maaf sama istri saya!" Teriak Gus Bilal yang justru tak dihiraukan sama sekali oleh Ning Muyas. Sepertinya gadis itu benar-benar membenciku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfiction{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...