(9) PECEL LELE

25 1 0
                                    


Suasana ramai warung makan pinggir jalan ini membuat perutku tidak bisa dikondisikan. Sudah lima belas menit aku dan Girfan menunggu, tetapi pesanan kita tak kunjung datang.

Aku tidak lupa, jika makanan di sini memang sangatlah lezat karena dulu semasa kuliah aku, Mawar dan Cindy begitu sering menghabiskan waktu di warung milik Bu Mursinah ini.

Wanita paruh baya asli Bojonegoro ini memilih hidup bersama putri semata wayangnya di kota jakarta demi melanjutkan hidup barunya selepas bercerai dengan suami yang amat dicintainya.

Aku dan putrinya lumayan dekat. Dia dan juga temannya dulu sering datang ke rumahku untuk belajar bersama. Entah bagaimana kabarnya saat ini. Kuharap dia selalu bahagia.

"MasyaAllah.. Tambah ayu ae ra pernah ketemu." ucapnya sembari meletakkan dua makanan dan minuman yang berbeda di atas meja.

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Sudah kuduga dia masih mengenaliku, meskipun hampir dua tahun aku tak pernah menyapanya, terlebih lagi ketika Bu Mursinah memilih pindah rumah karena gosip Bulan yang hamil karena di perkosa.

"Ibu juga tambah cantik. Awet muda."

"Halaaa.. Nggetoinan."

Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu mencubit pinggangku. Tatapannya mengarah pada Girfan yang sibuk dengan ponselnya. Aku hanya menggeleng menghilangkan pemikiran aneh di kepalanya.

"Yasudah. Ibu masuk dulu. Dimakan, nanti kalau kurang ya tambah uang." Aku tertawa dibuatnya. Bu mursinah masih tetap lucu ternyata.

Pandanganku beralih pada Ghirfan. Pria itu kini memandangku dengan tatapan anehnya, lalu dengan sangat kesal aku melempar timun ke makanannya, "Zina mata!" ucapku dan dibalas senyum manisnya.

Kini aku mulai sibuk dengan makananku. Membiarkan Girfan yang terlihat tak kunjung menyentuh makanannya. Dia masih sibuk memandangku yang mulai menikmati lezatnya ikan lele dengan sambal khas buatan bu Mursinah.

"Kamu enggak akan kenyang dengan melihatku makan." terangku.

"Kamu tahu apa makanan lele?"

∆∆∆

Berita televisi masih tetaplah sama. Kasus dugaan perselingkuhan dan kekerasaan dalam rumah tangga yang dilakukan salah satu publik figur begitu mendapat empati dari masyarakat.

Aku pun ikut mengikuti bagaimana kelanjutan beritanya. Rasanya dadaku sangat sesak. Dari awal aku mengikuti bagaimana proses karir penyanyi cantik itu. Dia ramah, sopan, penyayang dan begitu rendah hati.

"Jangan banyak nonton berita kayak gitu, Mbak.." Seseorang tiba-tiba duduk disampingku mengarahkan telfon genggamnya

"Apaan?"tanyaku.

"Katanya mau tau calon adek ipar."

Aku meraih ponselnya. Melihat bagaimana wanita cantik berambut panjang berdiri dengan ice cream ditangannya. Senyum manis dan sangat menenangkan. Dia terlihat seperti gadis yang pintar.

"Siapa namanya?"

"Olivia."

"Cantik. Kapan dibawah ke rumah?"

Dani memang sudah mapan. Dia sudah lama bekerja menjadi sekertaris Aris. Suami Mawar itu sengaja mempekerjakan Dani sebab Dani adalah anak yang pintar, teliti, rajin dan pekerja keras, tetapi alasan paling tepat adalah karena Mawarlah yang memintanya.

"Nanti malam Dani sama mama ke rumahnya. Kakak mau ikut?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku bahagia dengan pernikahan ini. Adikku sudah besar dan jodohnya pun telah datang, lalu apalagi. Tidak pantas jika rasanya aku menghalangi.

Aku juga masih enggan memikirkan bagaimana kehidupan pernikahan. Tidur dengan seorang pria, menyiapkan segala kebutuhannya, menuruti segala perintahnya. Ah, rasanya malas sekali.

Belum lagi dengan semua permasalahan yang ada. Menyatukan dua kepribadian dalam satu rumah, ditambah dua keluarga dan para penduduk sekitar. Pasti semua akan begitu sulit.

Terkarang aku memang merindukannya. Sangat rindu. Namun, semuanya seolah membunuhku jika bayangan ayah datang. Aku ingin menikah seperti wanita lainnya, tapi bisakah aku tahu alur hidupku? Bisakah aku bahagia dalam pernikahanku.

"Apakah bingkisannya sudah ada?" tanyaku.

"Sudah, Kak. Tante Dora yang menyiapkan semuanya."

"Baiklah. Aku akan mencari baju yang pas."

Aku ingin pergi, tetapi Dani mencekal tanganku dan memintaku duduk disampingnya. Dia memegang tanganku erat. Entah apa yang terjadi padanya, tetapi matanya berair. Dia akan menangis.

"Jika Mbak ingin-"

Aku menggeleng cepat. Menghapus air matanya yang sudah membasahi pipi. Aku masih berusaha tersenyum sebaik mungkin. Mengkondisikan air mataku agar semua baik-baik saja.

"Dia gadis yang manis. Menikahlah dengannya. Jangan berpikir aku akan sedih. Aku mbakmu. Aku akan sedih jika menghambat kebahagiaanmu."

Dia semakin menangis. Aku menariknya dalam pelukanku. Aku tidak ingin membuatnya sedih dan juga gadis bernama Olivia itu. Mereka sudah ditakdirkan bersama. Sudah sepantasnya ikatan sakral pernikahan menjadi saksi cinta mereka.

"Berhentilah menangis. Kasihan Olivia harus menikah dengan lelaki cengeng sepertimu."

"Aku ingin mbak menikah."

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang