(5) CALON MANTU

36 3 0
                                    

Aku tersenyum lebar menatap ruangan kelas XI IPS 3. Jika biasanya anak IPS terkenal pecicilan dan urakan, nyatanya sebutan itu tidak benar adanya. Itu sebabnya aku tidak begitu khawatir ketika dipilih menjadi wali kelas mereka.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapaku sambil berjalan ke kursi guru.

"Pagi, Bu!"

"Gimana kabar kalian?" tanyaku.

"Capek, Bu!"

"Iya, Bu! Pengen refreshing."

"Iya, Bu. Makin sakit karena lihat mantan punya pacar baru."

"Free, Bu! Kita refreshing!"

"Saya semangat, Bu!"

Salman bersuara dan teman-temannya berhenti berkeluh kesah tak lupa dengan tatapan tajam mereka.

"Salman semangat karena punya pacar baru, Bu!" adu Nana.

"Cemburu, lo?!" timpal Salman dengan gaya coolnya.

"Sorry! Song Joong Ki masih duda!"

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak jaman sekarang. Pertemanan, cinta, lalu permusuhan. Alur yang diketahui semua orang, tetapi tetap nekat dijalaninya.

"Sudah-sudah! Nana, ke depan, bantu ibu!" pintaku.

Aku meminta Nana membagikan kertas lipat yang sudah ku potong kecil sesuai jumlah mereka beserta permen karet agar mereka semangat dalam permainan.

Setelah Nana selesai membagikan kertas kepada seisi ruangan, aku mulai mengomando permainan. Kusebut permainan itu 'Antara jika dan maka'.

Aku membagi mereka dalam dua kelompok. Kelompok pertama membuat kalimat berawalan kata jika dan kelompok kedua berawalan kata maka.

"Bagaimana sudah siap?" tanyaku.

"Siap, Bu!" jawab mereka kompak.

"Tegar dan Siska, silahkan maju!" ucapku kemudian berjalan ke belakang dan duduk di bangku kosong disebelah Amrita. Si juara kelas.

Tegar dan Siska berjalan ke depan. Sorakan dan tepuk tangan antusias kelompok masing-masing membuatku ikut serta.

"Jika aku bisa bertemu ayah." Siska bersuara. Suasana kelas menjadi hening. Hanya saling tatap, bahkan Tegar yang disampingnya pun memandangku ragu. Seolah berucap, "Bagaimana, Bu?"

Aku tersenyum sebagai jawaban bagi Tegar. Anak itupun paham dan membuka kertas miliknya, lalu berucap, "Maka-aku -akan-baik-baik-saja."

Aku bertepuk tangan dan berjalan kearah gadis mungil berhijab putih itu. Dia tampak lebih cantik dengan penampilan barunya. Aku tahu, setelah cinta pertamanya kembali pada yang maha kuasa, sepertinya hidayah datang pada dirinya.

"Siska mau peluk ibu?" lirihku.

Dia tersenyum, kemudian memelukku dengan air mata yang terus menetes, "Siska rindu ayah." gumamnya.
Hatiku ikut tersayat mendengarnya. Semua tampak lebih sakit ketika pelukannya semakin erat, "Fida juga rindu ayah." batinku.

"Siska pasti kuat." ucapku.

"Ibu juga." jawabnya membuatku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi ingin keluar.

"Makasih, Bu." ucap Siska lalu melepas pelukan kami. Dia mengusap air matanya dan tersenyum manis menatapku.

Kini tinggal aku yang masih belum bisa mengontrol air mataku. Dia terus saja menetes tak ingin berhenti, sedangkan muridku ikut memandangku sedih.

"Bu Fida jangan sedih. Kita jadi ikutan sedih, nih." Nana bersuara.

"Salman bisa jadi badut supaya ibu ketawa." lanjutnya.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang