{24} KECELAKAAN

39 3 0
                                    

Aku datang ke sekolah di antar oleh Gus Bilal. Hari ini suamiku itu tidak berangkat ke rumah sakit dan kita juga masih akan menginap di ndalem Bu Nyai Salimah sampai tiga hari ke depan.

Semua murid tampak begitu senang karena acara seminar jurnalistik oleh seorang penulis terkenal akan segera dimulai. Aku juga melihat Salman dan Tegar tampak bekerja sama untuk lancarnya acara ini.

Di laksanakan secara indoor justru terkesan lebih formal. Beberapa hiasan yang pajang juga tampak indah. Katanya, Salman membelinya dari temannya yang memang memiliki bakat melukis yang baik.

"Sebentar lagi Bu Enggar datang, lebih baik kamu bergabung dengan para guru." ujar Girfan membuatku mengernyit bingung.

"Kenapa? Aku ingin menemui Bu Enggar."

"Tidak perlu. Lebih baik kamu bersama guru yang lain."

Girfan tiba-tiba pergi tanpa berpamitan. Aku yang melihat itu semakin merasa ada yang janggal di sini atau dia hanya tidak ingin aku bergerak karena dari awal aku tak melakukan apapun? Entahlah. Aku pikir, Girfan bukan orang yang seperti itu.

Aku melihat Bu Enggar telah datang dan di sapa oleh beberapa guru. Aku juga berusaha untuk ikut menanyakan kabarnya. Namun, Girfan terus saja menghalangi jalanku.

"Lakukan hal yang lain. Mengurus konsumsi misalnya."

Aku tak menjawabnya. Namun, langsung beralih untuk mengurus konsumsi. Ternyata ada Nana dan itu membuatku tidak terlalu suntuk. Dia selalu mengajakku berbicara akan banyak hal termasuk juga tentang mengapa memilih Bu Enggar sebagai pemateri.

"Pak Girfan kayak jauhin ibu dari Bu Enggar nggak sih?" pertanyaan Nana itu membuatku teringat bagaimana tingkah aneh Girfan saat tahu jikalau Bu Enggar adalah penulis yang aku pilih.

"Pengirim pesan itu bersuara laki-laki." Aku terus saja berpikir. Waktuku tidak banyak. Aku harus menemukan orang itu.

"Nana, ibu ke toilet bentar. Nanti ibu balik lagi."

"Iya, Bu."

Aku ingin mencari keberadaan Girfan. Acara seminar tengah berlangsung, otomatis Bu Enggar sibuk mengisi materi, tetapi lelaki itu nyatanya tidak ada di kursi bagian guru.

"Apa jangan-jangan dia?"

Aku tak ingin berburuk sangka dan memilih bertanya para guru dan anak Osis tentang keberadaan Girfan. Namun, mereka tidak ada yang tahu. Aku juga menelfon beberapa kali, tetapi tidak diangkat.

Entah mengapa aku tidak yakin jikalau Girfan adalah pelakunya. Pandanganku lurus menatap ponsel Bu Enggar yang berada di atas meja. Wanita itu sedang asyik beradu cerita dengan salah satu audience yang bertanya.

Aku dengan penuh rasa penasaran menelfon orang yang beberapa kali mengancam diriku, kemudian memakai kaca mata minus dan terus melangkah mundur. Dapat kulihat dengan jelas ponsel Bu Enggar berbunyi membuat audience terganggu.

Tanpa menunggu lama, aku langsung pergi untuk meninggalkan sekolah. Tak perduli dengan apapun yang sedang terjadi, bahkan meskipun semua orang menganggap Mufidatun Nafsiyah bukan lagi orang yang bertanggung jawab. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri dan tetap bersama keluargaku.

Saat sampai di parkiran, aku langsung bergegas menaiki motorku dan pergi dari sekolah. Pikiranku kacau. Bayang-bayang Gus Bilal, Ibu, Dani, hingga janjiku kepada Ning Muyas terus saja berputar-putar di kepalaku. Aku berusaha tetap tenang, meskipun rasanya sangat sulit.

Aku mengendarai motorku dengan kecepatan seperti biasanya karena tidak ingin terjadi sesuatu. Pikiranku masih berjalan dengan baik, sampai aku tersadar jika motorku tidak bisa berhenti. Remnya tidak lagi berfungsi dengan baik.

"Ada apa ini?" racauku.

Aku terus mengucap istighfar dan syahadat dalam hati. Bohong jika tidak takut. Aku lupa, jika yang namanya kematian, sejauh apapun kita berusaha menghindar, pasti akan tetap menemui takdirnya.

Mobil pick up melaju dengan kencang ke arahku. Pikiranku berkecamuk. Aku pasrah. Aku berharap ibu tidak bersedih atas kematianku dan Gus Bilal. Ya Allah, berikan dia istri yang lebih baik dari pada aku. Bahkan, aku masih perawan saat tiada.

Aku merasakan tubuhku terpental jauh dan segala pikiran buruk itu hilang dengan sendirinya. Aku memohon ampun pada Rabb-ku. Semoga segala kebaikan yang aku lakukan diterima disisi-Nya dan setiap dosaku diampuni oleh-Nya. Aku memejamkan mataku dengan rasa sakit di sekujur tubuh.

∆∆∆

Mataku mengerjap perlahan. Kepalaku terasa sangat sakit. Kejadian rem blong dan kecelakaan itu, aku masih sangat mengingatnya. Aku mulai meneliti sekitar, tempat ini. Rumah sakit? Berarti aku masih hidup.

"Sayang?"

Pria dengan jas putih itu menghampiriku. Wajahnya tampak suram. Raut sedihnya tak bisa disembunyikan, "Mas." Aku hendak duduk. Namun, dia mencegahku.

"Kamu istirahat. Jangan banyak gerak. Aku pergi sebentar."

Aku mengangguk. Sepertinya Gus Bilal masih harus mengurus pasien. Baru sebentar pergi, suamiku itu kembali dengan nampan berisikan makanan. Jadi dia pergi untuk itu.

"Kamu enggak ada pasien?" tanyaku.

"Kamu juga pasien plus istri aku." ujarnya, kemudian mencium seluruh wajahku.

Aku tersenyum mendengarnya. Rasanya seperti terbangun dari mimpi yang menakutkan. Apa seperti ini yang namanya cinta? Allah memberiku banyak syukur, meski hanya dengan melihat sosok Gus Bilal. Suamiku.

"Kamu itu sudah tidur empat hari. Pasti laper, jadi mas suapin dulu. Biar cepat sembuh."

Aku menerima suapan dari Gus Bilal dengan tidak berhenti menatap wajah tampannya. Sejenak pikiranku melambung jauh, hingga teringat oleh janjiku kepada Ning Muyas. Bagaimana keadaan gadis itu. Apakah dia baik-baik saja?

"Ning Muyas baik-baik aja, kan?" tanyaku

"Muyas? Baik. Dia sering jenguk kamu kalau malam. Nginep di sini malahan. Karena kamu sakit, aku enggak pulang. Umi di rumah Abah. Muyas juga. Anak itu enggak pernah betah kalau di sana. Kenapa nanyain Muyas? Dia ada salah sama kamu?"

Aku menggeleng cepat, "Enggak. Muyas baik kok." jawabku seadanya. Kasihan gadis itu. Karena aku sakit, masalahnya bukan berakhir, malah semakin bertambah. Semoga semua akan berakhir dengan baik.

Gus Bilal tiba-tiba mengecup bibirku pelan, lalu beralih pada keningku,"Kamu jangan banyak pikiran dulu. Nanti kepalanya pusing."  ujarnya.

Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia bukan lagi terlihat seperti dokter, melainkan suami protektif yang begitu mencintai istrinya, "Iya, sayang." jawabku dengan mencubit pipinya, lalu menciumnya beberapa kali.

"Assalamualaikum. Masyaallah! Anak ibu sudah sadar."

Aku melirik Gus Bilal yang menatapku seperti ingin menerkam. Namun, mataku langsung ku alihkan kepada Ibu yang datang dengan parsel buah-buahan yang terlihat sangat segar di tangannya.

"Ini buah dari Nak Girfan buat kamu."

Aku seketika membeku, "Apa dia ingin meracuniku?" batinku.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang