{25} CERITA UMI

37 2 0
                                    

Umi terus saja memijat kakiku, padahal aku merasa tidak enak karena pastinya tidak sopan sebagai menantu membuat ibu mertua sendiri. Terlebih-lebih Bu Nyai melakukan hal seperti ini.

"Sudah, Umi. Fida enggak enak. Enggak pantes umi." Aku masih berusaha membujuknya untuk berhenti, meskipun akhirnya tidak berhasil.

Ibuku sendiri masih enggan berbicara denganku karena aku memintanya membuang buah-buahan pemberian Girfan. Aku berusaha mengerti akan sikap ibu. Girfan memperkenalkan diri sebagai pria yang baik di matanya, itu sebabnya ibu tidak terima akan apa yang aku lakukan.

Memberitahu yang sebenarnya juga bukan pilihan yang baik. Aku juga masih belum percaya, jikalau Bu Enggar dan Girfan bersekongkol untuk membunuhku. Untuk apa mereka melakukan ini, sedangkan aku adalah orang baru di hidup mereka.

"Bagaimana hubungan kamu sama Bilal? Kalian enggak ada rencana bulan madu? Jangan nunggu resepsi. Kelamaan!"

Aku hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan ibu karena tidak mungkin aku menjelaskan bahwa sampai hari ini, aku masih perawan. Gus Bilal juga sepertinya sangat sibuk. Rasanya tidak mungkin untuk berbulan madu.

"Umi itu bersyukur banget, Bilal menikah dengan wanita yang agamanya baik."

"Maksud Umi?"

Dari sanalah cerita Umi dimulai. Semua berawal dari Gus Bilal yang sejak kecil dipaksa hidup di pesantren untuk dipersiapkan sebagai pemimpin pondok pesantren putra pusat dan memiliki kedudukan tertinggi di antara semua putra-putrinya.

Ketika lulus madrasah Aliyah, Gus Bilal di kejutkan dengan kenyataan bahwa semua yang dijanjikan menjadi miliknya, tak bisa ia dapatkan. Baik pondok pusat maupun cabang semua telah di pegang oleh putra-putri Abah dari Umi Salimah.

Gus Bilal sebenarnya tak mempermasalahkan hal itu, sampai akhirnya tersadar jikalau Umi tak pernah di berikan hak yang semestinya sebagai seorang istri, hingga mendapatkan rumah sederhana yang jauh dari pesantren.

Gus Bilal marah besar. Dia nekat keluar negeri tepatnya di London melanjutkan studinya hingga magister dan pulang telah resmi menjadi seorang dokter. Pada saat itu semua telah berubah. Termasuk diberikannya Umi rumah mewah di kawasan pondok putri untuk turut serta menjaga para santri.

"Umi orang biasa, Nak. Itu sebabnya Umi tak banyak berkuasa. Maafkan Muyas jika pernah berucap kasar kepadamu. Dia hanya diselimuti rasa takutnya."

Aku tersenyum dan menyetujui semua ucapan Umi. Ternyata kehidupan Gus Bilal tidak seindah yang aku pikirkan. Bisa meraih keinginannya menjadi dokter dan tak pernah di tuntut untuk fokus terhadap pesantren. Semua itu nyatanya salah. Suamiku itu berusaha menegakkan keadilan dan martabat untuk wanita yang amat dicintainya yaitu Umi Hafizah.

"Kalau mengenai Ning Syifa', Umi?"

Umi tertawa, "Jangan cemburu. Umi tetap pilih kamu." Aku hanya tersenyum kikuk dibuatnya. Tampaknya umi menghindari menjawab pertanyaan itu.

∆∆∆

Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku tengah berjalan menyusuri setiap komplek di pesantren. Beberapa pengurus tampak berdiri dengan menunduk karena melihatku. Aku hanya tersenyum, kemudian meminta mereka untuk kembali melakukan kewajibannya yaitu membangunkan para santri untuk mandi dan sholat tahajjud.

Setelah di rasa cukup, aku kembali ke kamar untuk membangunkan Gus Bilal. Semenjak aku keluar dari rumah sakit, Gus Bilal jadi lebih manja dan sulit untuk dibangunkan. Dia juga mempunyai hobi baru, yaitu menciumku.

"Mas. Ayo bangun. Kita sholat tahajjud dulu." Aku terus menggoyangkan tubuhnya. Namun, dia enggan membuka mata.

Dering ponselku tiba-tiba berbunyi. Entah siapa yang menelfon sepagi ini. Aku menatap layar ponselku dengan raut wajah khawatir, "Halo?! Assalamualaikum." ujarku yang hanya mendengar isak tangis di seberang sana.

"Ning? Muyas kamu kenapa?"

"Tolong, Mbak. Aku lagi ada di hotel purnama. Kamar 34"

Tut.. Tut..

Sambungan terputus. Tubuhku gemetar tidak karuan. Pikiranku kacau. Aku bergegas memakai kaos kaki. Mencari tas dan juga kunci mobil milik Gus Bilal. Aku berdoa semoga semua akan baik-baik saja.

"Mau kemana sayang?"

Gus Bilal tiba-tiba menghentikan langkahku, "Ini penting. Kamu mau nganterin aku atau enggak?" ucapku yang pastinya membuatnya bingung. Namun, dengan secepat kilat dia mengangguk dan langsung menggandengku.

Di dalam mobil aku terus menangis. Kalau saja, aku tidak menuruti keinginan Gus Bilal untuk tidak dulu tidur di ndalem Abah, pasti keadaanya tidak akan seburuk ini,

"Kamu mau nemuin siapa di hotel jam segini?"

Aku masih terdiam. Bibirku serasa keluh untuk menceritakan yang sebenarnya. Sedari tadi aku hanya mengatakan jika kita harus sampai di sana secepatnya.

Aku melihat dengan jelas gedung bertingkat di depanku. Dengan secepat yang aku bisa aku keluar dari mobil, lalu berlari ke tempat yang sudah diberitahukan Ning Muyas. Tak perduli dengan beberapa orang yang menatap aneh diriku.

Kakiku terhenti. Kamar nomor tiga puluh empat. Tangisku semakin menjadi, "M-mas, tolong dobrak pintunya." Dia tampak kebingungan. Namun, langsung mendobrak pintu itu dengan seluruh kekuatannya.

Brakk!

Tubuhku hampir saja jatuh kalau aku tidak langsung menjaga keseimbangan. Sosok pria yang telah membuat gadis di bawahnya menangis itu menghembuskan nafas kasar, lalu memakai kembali kaosnya.

Aku berlari memeluk gadis itu yang terlihat sangat kacau. Rambutnya tidak lagi tertutup hijab dan baju yang sobek di mana-mana. Dia menangis dengan wajah ketakutan dan penuh penyesalan.

Aku melihat Gus Bilal masih terdiam di tempatnya, sampai Gus Ni'am memakai kembali jaket dan sepatunya. Wajah suamiku itu tampak menyeramkan. Amarah yang besar terlihat menakutkan. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu.

"Mau pergi kemana lo?!"

Mendengar itu aku semakin mengeratkan pelukanku pada Ning Muyas. Aku tidak ingin, mentalnya semakin terguncang karena melihat perkelahian mereka.

"Kenapa? Lo mau berantem sama gue? Tenang! Adik lo belum gue masukin, paling cuma gue remas-remas aja."

Mendengar itu Gus Bilal langsung memukul wajah lelaki tak bermoral itu tanpa henti. Aku sampai tidak berani melihatnya, sedetik kemudian aku mengambil ponsel di tasku dan menelfon nomor penting. Tenang saja, dia akan mendapatkan balasan yang setimpal.

"Halo, Pak polisi. Hotel purnama. Kamar nomor tiga puluh empat."

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang