Aku tersenyum menatap Umi Hafizah yang tengah muroja'ah kitab Birul walidain, sesekali membuka kitab Alfiyah Ibnu Malik. Dan itu membuatku semakin gugup kala tiba-tiba ditanya tentang Laa li Nafyil Jinsi.Aku tidak melupakan bab itu, hanya saja siapa yang tidak grogi jika ditanya oleh ibu mertua sendiri. Untung saja aku masih bisa menjawabnya. Kalau tidak, reputasi menjadi ustazah diniyah akan sangat tercoreng.
"Dulu kamu wisuda alfiyah? Umi denger di pondok kamu enggak semua santri bisa ikut wisuda, cuma yang berhasil lulus Juz amma, Kitab Fathul qorib sama Alfiyah saja?"
"Iya, Umi. Alhamdulillah. Atas izin Allah, padahal Fida anaknya males." jawabku dengan senyuman.
"Males apanya. Menantu Umi itu pasti pinter," Umi menutup kitabnya dan menyerahkannya kepadaku. Aku pun menerimanya tanpa beban.
"Umi pengen kamu jadi badal besok sore di acara alumni."
Mataku membulat sempurna. Tidak mungkin! Aku menatap kitab yang kini berada di tanganku dengan penuh penyesalan. Ingin menolak, tapi bagaimana. Rasanya ini memang sudah konsekuensi menjadi menantu Bu Nyai.
"Ya Allah, bantu Fida." batinku
Umi tersenyum menatapku. Apa ekspresi wajahku tampak lucu atau justru tertekan? Kenapa aku sangat khawatir, padahal aku sudah pernah mempelajarinya. Dan itu merupakan salah satu kitab favoritku, tapi dengan alumni? Oh, aku tidak bisa.
"Umi, kenapa Fida? Enggak enak umi sama yang lain. Ning Azizah, Ning-"
"Kan kamu yang menantu Umi. Istrinya Bilal."
Baiklah. Alasan itu seperti tidak bisa membantuku keluar dari masalah ini. Sepertinya, ini memang yang terbaik. Aku akan belajar dan menggantikan umi mengisi pengajian rutin para alumni di setiap bulan.
∆∆∆
Sudah satu jam aku belajar memahami kitab yang menjelaskan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Aku memang membawa kitab umi bersamaku, tapi aku belajar dengan kitabku sendiri sekaligus membaca catatan penting di setiap hadist yang aku tulis di sana.
Aku saat ini berada di kamarku. Iya, aku dan Gus Bilal kembali ke rumah ibu setelah mengantarkan barang Ning Muyas dan makan siang bersama Umi. Dan rasanya masih tetap canggung.
"Mbak! Ada Mbak Mawar, nih!" teriak Dani begitu keras, membuatku berdecak kesal. Dia tak bisa menghargai telingaku.
Meninggalkan kitabku dan bergegas menemui Mawar. Tatapanku terkunci ketika melihat Habibah berada di gendongan Gus Bilal. Anak itu tersenyum dan menepuk-nepuk pipi suamiku. Terlihat akrap.
"Sudah pantes. Langsung gas bikin!" Aris tertawa melihatku yang meliriknya tidak suka.
"Seminarnya kapan, nih? Beneran nunggu Umar?" tanya Aris yang hanya dibalas anggukan.
Mawar mencubit bahuku, membuatku menoleh ke arahnya. Dia terlihat sumringah, kemudian menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya menuju dapur.
"Sudah siap belum buat malam pertama? Atau lo sudah jebol?"
Aku memutar bola mata malas. Jangankan malam pertama, menatap matanya saja aku tidak berani. Lagi pula tugas dari umi yang saat ini harus aku dahulukan. Bagaimana mungkin aku siap dalam semalam.
"Oke. Pasti belum. Gue tahu Bilal orangnya kayak gimana. Kaku!"
"Kok lo tahu?" tanyaku tidak percaya.
"Sudah. Nanti aja gue jelasin. Ini gue kasih buat lo. Gratis! Awas enggak lo pakai!" ujarnya, seraya memberiku paper bag yang entah apa isinya.
Mawar sangat antusias. Jika seperti ini aku tidak mungkin menolaknya, "Yasudah. Makasih," aku memeluknya cukup erat. Andai Mawar tahu, jika pernikahan ini tanpa persetujuan dariku apakah dia akan melakukan hal yang sama.
"Nanti kalau Bilal kasar, lo cakar aja punggungnya."
Aku sontak mencubit perutnya kesal, membuatnya tertawa. Mulutnya memang masih seperti remaja puber. Sulit dikontrol, apalagi jika sudah seperti ini. Aku berharap dia tidak lagi bertanya setelah ini.
∆∆∆
Hari semakin sore. Setelah membereskan rumah, aku membantu ibu memasak. Kali ini karena ada Gus Bilal menu yang disiapkan juga pastilah banyak, padahal aku tidak yakin jika dia akan pulang tepat waktu.
Aku merasa lega ketika Gus Bilal tidak ada di rumah, tetapi ada sesuatu yang membuatku sedih. Ternyata menjadi istri dokter juga berat. Dia lebih banyak waktu di rumah sakit, dari pada di rumah. Dan untuk pesantren. Entahlah. Aku belum berani menanyakannya.
"Nak, gimana kamu sama Gus Bilal? Kamu bahagia, kan?"
"Fida sudah menerima status Fida. Ibu nggak perlu merasa bersalah kayak gini. Fida bahagia kok." Aku berusaha menenangkan hati ibu sama seperti menenangkan diriku sendiri.
"Mending kamu mandi terus dandan. Ini sudah selesai. Biar ibu yang lanjutin. Nanti suami kamu pulang, kamu masih bau bawang lagi!"
Aku tertawa mendengar penuturan ibu. Jika dulu ibu selalu membuatku tampak sempurna menjadi mahasiswi dan juga guru, kini menjadi istri Sholihah adalah yang paling diinginkannya. Ibu adalah ibu terbaik di dunia, termasuk dengan terlaksananya pernikahanku dan Gus Bilal. Dia hanya ingin aku bahagia.
"Yasudah. Fida mandi dulu, Ya, Bu."
Ibu mengangguk membuatku bergegas ke kamar. Menatap wajahku di cermin. Meraih kapas lalu menuangkan micellar water dan mengusapkannya di seluruh wajah dan leher.
Aku membuka tote bag pemberian Mawar dan melihat berbagai produk untuk wanita yang sepertinya pernah dibicarakannya bersama Cindy di grup beberapa bulan yang lalu. Aku terdiam beberapa saat, lalu membawanya ke dalam kamar mandi.
"Bahkan di umur segini, gue masih ngerasa nggak siap jadi istri." batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fanfic{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...