Tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja setelah melihat vidio akad nikahku yang dikirimkan mawar tadi malam. Dia terus saja menertawakan diriku karena menjadi seorang menantu kyai.
"Dibandingkan elo, gue lebih kasian sama anak lo, sih. Tertekan pastinya, dari kecil harus hidup di pesantren. Tanggung jawabnya besar."
Benar juga kata Mawar. Dulu semasa di pondok pesantren aku selalu malas jika teman-temanku mulai berkhayal di lamar putra pemilik pondok pesantren. Bukan apa-apa, menjadi istri seorang Gus, harusnya memiliki wawasan akan ilmu agama yang luas, sedangkan diriku hanyalah orang biasa.
Ponpes Al-kahfi putra is calling..
Aku tertegun. Mengapa pengurus keamanan meneleponku sepagi ini? Aku menghembuskan nafas kasar, sebelum akhirnya aku ingat kejadian tadi malam. Ucapan Gus Bilal setelah mencium keningku di hadapan banyak orang.
"Halo? Assalamualaikum."
Tubuhku menegang. Baru kali ini aku bisa merasakan bahwa degup jantungku berdetak kencang. Ini seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Hari itu dan sekarang disaat status kita sudah berbeda.
"Halo? Jangan bilang kamu belum mengganti namaku. Ini aku. Suamimu."
Kini aku bingung harus menjawab apa. Mengapa tiba-tiba suaraku menghilang. Aku hendak mengucapkan sesuatu, tetapi kenapa tidak bisa? Astaghfirullah. Ada apa denganku?
"Yasudah, kalau tidak ingin bicara. Aku akan menjemputmu karena ibu bilang kamu tidak ada jam mengajar hari ini. Assalamualaikum."
Tubuhku lemas hingga luruh begitu saja. Pikiranku melayang pada kejadian tadi malam. Aku benar-benar telah menjadi istri. Rasanya sangat sulit beradaptasi dengan semua hal ini. Begitu cepat, hingga aku selalu merasa diberi kejutan.
Aku kembali menatap ponselku dan mengganti nama 'Ponpes Al-Kahfi putra' dengan 'suamiku' agar aku tidak lupa jikalau aku telah mempunyai suami. Dan aku harus berusaha menjadi istri yang baik untuknya.
∆∆∆
Aku telah siap dengan gamis putih dan pashmina merah mudah. Aku juga sedikit merias wajahku agar terlihat lebih cantik. Ini adalah awal yang baru untukku, jadi aku harus menyambutnya dengan senyum terbaik pastinya.
Aku keluar kamar menuju teras rumah. Di sana ku dapati Gus Bilal yang tengah asik berbincang dengan Dani. Entah apa yang mereka perbincangkan, hingga Dani bisa tertawa seperti itu.
"Eh, mbak sudah siap?" tanya Dani yang hanya ku balas senyuman.
Dani menatapku degan tatapan jahilnya. Ada apa dengannya? Menyebalkan sekali. Kalau saja tidak ada Gus Bilal, pasti sudah ku lempar wajahnya dengan tas.
"Sudah? Ayo berangkat!"
Kulihat Gus Bilal tampak rapi dengan kemeja biru dan celana hitamnya. Dia menggandeng tanganku, lalu berpamitan kepada Dani. Kita akan menghabiskan waktu bersama, hingga sore hari.
"Salam untuk ibu." ujar Gus Bilal dan dibalas senyum manis Dani.
Aku hanya bisa tersenyum. Mengingat kejadian kemarin, hubunganku dengan ibu belum bisa dikatakan seperti biasanya karena jelas tidak baik-baik saja. Aku hanya sedang berusaha terbiasa dengan apa yang sudah ditakdirkan untukku.
Saat berada di dalam mobil, baik aku maupun Gus Bilal tidak ada yang berbicara. Namun, bisa aku sadari jika pria yang berstatus suamiku itu melirikku beberapa kali. Aku sendiri memilih sibuk dengan ponsel untuk sedikit menetralkan rasa gugup akibat bersamanya.
"Kamu suka pantai?"
Aku terdiam sejenak, "Biasa aja." Jawabku. Selama ini aku lebih sering bekerja dan juga belajar. Jikalau liburan pun aku hanya menghabiskan waktu untuk tidur. Saat masih kuliah pun aku hanya menghabiskan waktu dengan teman-temanku. Dan kita tidak pernah berpikir untuk ke pantai.
"Apa tempat favoritmu?"
"Kamar." batinku. Aku tidak mungkin mengatakan itu, bukan?
"Enggak ada." jawabku, membuatnya tampak berpikir.
Aku berharap, dia tidak berpikir menikahi gadis yang salah. Aku memang tak begitu menyukai banyak hal. Aku hanya menjalani hidupku tanpa berusaha memberikan warna. Aku terbiasa dengan hal-hal yang biasa, bukan yang indah.
∆∆∆
"Rumah sakit? Kenapa kita ke sini?" batinku bertanya-tanya.
Gus Bilal menggandeng tanganku memasuki gedung rumah sakit dengan santainya. Beberapa suster menyapa dengan senyuman, membuatku semakin bingung. Apakah dia seterkenal itu?
"Eh, sudah datang?" Seorang dokter tiba-tiba datang dengan membawa paper bag di tangannya.
"Ini! Sorry, Bro! Gue enggak bisa nganterin ke rumah lo." ujarnya dengan rasa bersalah.
"Enggak masalah."
Gus Bilal tersenyum, lalu mengambil paper bag yang menurutku adalah miliknya. Dokter itu melirikku sekilas, lalu menyipitkan matanya seolah meminta kejelasan, membuatku melirik Gus Bilal.
"Dia istriku. Mufida."
"What!?" Matanya melotot tidak percaya, sedangkan Gus Bilal hanya tertawa melihatnya. Sepertinya mereka sangat dekat.
"OMG! Terus As-syifa? Lo nolak perjodohan sama anak pak Yai Shobirin!"
"Apalagi? She is my wife." Gus Bilal menatapku, membuatku terpaksa tersenyum.
Aku masih diam. Berusaha tidak memikirkan apapun, meskipun jauh dari lubuk hatiku, aku merasa tidak nyaman. Dari pertanyaan teman Gus Bilal, aku bisa menangkap dengan jelas, jika Ning As-Syifa punya peran penting di kehidupan suamiku.
"Oke-oke. Sorry, Ning. Gue Anton. Temennya Gus Bilal. Kita sama-sama kuliah di London." ujarnya sopan
"Panggil aja Fida."
"Oke. Gue balik dulu. Kerja yang bener. Kalau pasien gue nanyain, jawab aja gue cuti tiga hari. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
GHUROBA' {Completed}
Fiksi Penggemar{17+} Belum revisi! "Eh, mbak Fida! Bersih-bersih dalam rangka apa mbak? Calon istrinya Dani mau ke sini ya?" "Iya, nih. Nggak papa gitu dilangkahi adiknya? Nanti jadi perawan tua, loh." Aku hanya tersenyum tipis mendengar berbagai tanggapan mereka...