{19} FIRST KISS

51 2 0
                                    


"Kok gue deg-degan, ya?" Aku mengamati diriku di cermin. Berbagai produk perawatan itu sudah aku pakai, menyisakan gaun tidur yang membuatku bergidik ngeri dibuatnya.

Suara mobil di depan rumah yang aku yakini adalah Gus Bilal, membuatku bergegas ke luar kamar. Dia mengucap salam dan aku langsung mencium tangannya, "Wa'alaikumussalam. Sini tasnya aku bawain." ujarku, tetapi tak ada respon darinya.

"Gus?" panggilku, lalu dia tersenyum menatapku, sedang aku langsung menarik tas yang ada di tangannya.

Saat sampai di kamar, aku langsung menaruh tasnya di meja belajarku dan membantunya melepas dasi dan juga jasnya. Anehnya, dia tidak bersuara, bahkan seperti tak bergerak sedikitpun. Apakah ada yang salah dengan tindakanku? Aku hanya berusaha menjadi istri yang baik.

"Gus Bilal mandi dulu, nanti saya siapin bajunya. Njenengan mau sholat  di masjid atau di rumah?" tanyaku ketika dia hendak berjalan menuju kamar mandi.

"Aku sholat di masjid."

Mendengar itu aku langsung mengambil kaos hitam polos, baju taqwa dan juga sarung, kemudian kembali berkutat dengan kitab yang sejak tadi membuat pikiranku tidak tenang. Namun, mengingat Gus Bilal yang tengah mandi, aku memilih untuk keluar kamar. Tidak enak jika tetap berada di kamar, hingga dia selesai mandi.

Melihat Ibu dan Dani di ruang tamu, membuatku ikut duduk bersama mereka. Dani menatapku tidak berkedip, sedangkan ibu hanya tertawa melihatnya. Apakah ada yang salah dengan penampilanku?

Aku masih seperti biasanya. Memakai gamis dan juga hijab, bahkan riasan di wajahku juga tidak ada yang berubah. Mungkin, hanya pewarna bibirku saja yang terlihat lebih berwarna.

"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?" tanyaku tidak santai.

"Sumpah, mbak! Aura lo itu beda banget! Kayak bersinar gitu. Emang gitu ya, kalau cewe habis nikah, Bu?" tanya Dani, sedangkan ibu hanya tersenyum.

"Apaan! Sama aja kali." balasku seadanya.

∆∆∆


Aku menatap Gus Bilal yang tampak lebih tampan dengan setelan kaos hitam dan juga sarung yang aku pilihkan. Rasanya ada yang aneh dengan diriku. Kemarin masih merasa ragu, sedangkan sekarang mulai tak bisa jauh.

"Natapnya di jeda dulu. Nanti di lanjut di kamar." suara Dani mengagetkanku, membuatku menatap tajam dirinya.

Gus Bilal melirikku dengan senyuman. Entah apa yang di pikirannya tentangku setelah ini. Dani memang tidak tahu aturan. Dia mengejekku di depan kakak iparnya sendiri.

"Makan yang banyak. Besok kalian sudah harus pindah. Fida itu susah makannya, Nak. Apalagi kalau lagi banyak pikiran, bisa-bisa enggak makan, sampai masalahnya selesai." jelas ibu panjang lebar, sambil menambahkan lauk ke piringku dan juga Gus Bilal.

"Kalau ibu keberatan, kita bisa undur, Bu." Itu suara Gus Bilal. Membuatku kembali menatapnya.

"Enggak. Fida itu sudah menjadi istrimu. Bawa dia! Bahagiakan dia! Dari dulu dia sudah susah gara-gara ibu."

"Ibu." panggilku, hanya dibalas senyuman oleh ibu.

Rasanya berat. Meninggalkan rumah ini. Meninggalkan ibu dan juga Dani. Waktu berputar sangat cepat. Dulu Dani masih sering menangis dan menyalahkan ayah atas apa yang terjadi. Dan sekarang dia bisa tertawa tanpa beban.

"Aku pasti akan sangat merindukan kalian." batinku.

∆∆∆  

"Ya Allah. Untuk pernikahan ini. Aku meminta ridho-Mu. Berilah aku rasa cinta yang suci kepada suamiku. Jadikanlah aku istri yang shalihah. Dan bantulah suamiku menjadi imam yang baik untuk membawa pernikahan kita pada sakinah, mawadah, warahmah. Aamiin."

Aku menghapus air mataku dan melepas mukenahku, kemudian merapikannya di tempat biasa. Aku kembali menyisir rambutku dan memakai parfum. Produk yang diberikan Mawar benar-benar wangi. Mulai dari lulur, shampo hingga handbody. Mungkin aku akan selalu menggunakannya setelah ini.

Aku berbalik badan dan terkejut ketika Gus Bilal sudah berada di kamar, "Maaf, aku sudah salam tadi, tapi kamu enggak denger kayaknya." jelasnya seolah tahu apa yang aku pikirkan.

"Waalaikumussalam. Nggak papa, kok. Ini kan kamar Gus Bilal juga."

Dia berjalan ke arahku membuat detak jantungku berdegup kencang. Bukan mundur melainkan diam tak bergeming sedikitpun. Mata kita bertemu. Tatapan itu berhasil membuatku terpanah, hingga tak sadar sesuatu yang lembut telah menempel di bibirku dan membuatku terpejam.

Merasa tubuhku diangkat, aku justru mengeratkan kedua mataku agar tidak terbuka, hingga merasakan tubuhku menghangat dengan selimut dan juga pelukan, "Jangan dulu. Aku sangat lelah." bisiknya tepat di telingaku.

Aku membuka mata perlahan dan benar saja, Gus Bilal berada di sampingku dan memelukku. Dia membaca doa sebelum tidur, lalu mengecup keningku singkat.

"Fida, apa yang kau pikirkan?" batinku merutuki diriku sendiri.

GHUROBA' {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang