Udara hari ini benar-benar panas dan menyengat kulit cokelatku, rasanya seperti terbakar. Kupicingkan kedua mata menahan silau sinar matahari, menatap sosok kecil di sudut jalan.
Sial! Aku lupa membawa sunglasses.
Batinku sembari berjalan ke sosok kecil yang sedang menatapku sinis.
“Arin...”
Aku terus berjalan menuju sosok kecil yang tengah melambaikan tangan dan memanggil namaku. Segera ia berlari dan menggapai tanganku, membuatku nyaris menabrak tiang lampu pinggir jalan.
“Apa, sih, kecil, teriak-teriak? Bikin malu tahu,” gerutuku sembari berjalan beriringan dengannya.
“Iya tahu yang punya badan jerapah,” aku menoleh ke arahnya dan membulatkan mataku tanda tidak suka saat dia menyebutku jerapah.
Namanya Dewi Ayu, sahabatku sedari sekolah hingga kuliah di Amerika. Dewi sudah menetap di Amerika semenjak ia memutuskan untuk menikah dengan seorang Tentara Amerika. Tangkapannya memang bagus, tidak sepayah aku dalam hal percintaan.
Kami terus berjalan menyusuri keramaian pusat kota New York, hiruk pikuknya membuatku merasa sangat nyaman. Entah apa? Tapi rasanya sangat berbeda, terlebih setelah beberapa bulan terakhir aku merasa sangat jenuh menyusun tesis S2 ku.
Akhirnya sekarang aku bisa bernapas lega dan menikmati waktu luangku setelah mendapatkan gelar S2. Jujur aku belum berpikir untuk kembali ke Negara asalku, Indonesia. Mungkin aku akan mencari pekerjaan di sini terlebih dahulu, kalau tidak berhasil baru aku pulang. Hingga akhirnya getaran pada clutch yang sedari tadi ku genggam menyadarkanku dari khayalan panjang.
“Ayah?”
Mataku menatap pada layar panggilan yang menunjukan telepon dari siapa. Ayah tidak biasanya meneleponku, karena seperti biasa dia teramat sibuk dengan pekerjaannya.
“Angkat, Rin” Dewi menyenggol lenganku karena belum juga mengangkat telepon dari Ayah.
“Aah i-iya...”
“Hallo, Arin. Ini Ayah...” suara Ayah tidak seperti biasanya, terasa berat seperti ada pikiran yang mengganggunya. Ada apa?
“Hallo, Ayah. Ada apa? Tumben Ayah telepon Arin?”
“Memang tidak boleh ya Ayah telepon kau?” suaranya mulai melunak dan terdengar sangat normal seperti biasa yang aku dengar.
“Boleh dong, Yah,” Aku senyum-senyum malu pada diriku sendiri.
“Arin kapan pulang? Ayah, Ibu, Kakak dan Adikmu sudah rindu.”
Mampus! Pertanyaan ini yang paling aku takutkan, aku masih sangat betah tinggal di New York. Dan bahkan aku sedang merencakan untuk mencari pekerjaan di sini. Tapi apa yang barusan Ayah katakan? Pulang? Sesegera ini?
“Nanti ya yah, Arin sedang cari kerja di sini” bujukku yang aku tahu pasti tidak akan disetujuinya.
“Langsung pulang aja, kamu urus perusahaan di sini.”
“Tapi, Yah...” aku berusaha membantah namun percuma saja ketika Ayah melancarkan kalimat terakhirnya sebelum menutup sambungan.
“Tidak ada tapi, Arin. Perusahaan kita membutuhkan kamu dan lagi Ayah sudah menyiapkan tiket kepulanganmu minggu depan. Bye.”
Aku masih mematung setelah sambungan telepon diputus sepihak oleh Ayah, mataku membulat dan mulutku terbuka nyaris ternganga seperti orang bodoh. Mungkin orang-orang yang melewatiku berpikir kalau aku seorang idiot.
“Kenapa, Rin? Disuruh Om Mahes pulang?” Dewi menyadarkanku dari kebengongan paska menerima telepon dari Ayah.
“Hmmmmm...” aku tidak mampu berkata-kata dan hanya menggumam lemas menanggapi pertanyaan Dewi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wife
RomansaNB : Cerita ini mengandung adegan dewasa, harap bijak dalam membaca. Kareena Diandra Mahesa terpaksa harus menikah dengan Richard Albercht Wirajaya. Bukan hal mudah baginya untuk menerima pernikahan ini. Terlebih lagi pria yang menjadi calon suaminy...