Malam semakin larut, diringi nyanyian merdu dari para jangkrik dan kodok. Setidaknya itulah yang bisa menjadi hiburan bagi Arin. Gadis yang sebentar lagi akan menikah dengan seorang pria beristri. Entah apa yang ada dipikiran keluarganya, sampai mereka tega melakukan itu pada gadis selucu Arin.
“Padahal gue ini langka, harusnya dilestarikan. Bukannya malah dijadiin makanan singa.”
Keluhnya yang sedari tadi memandangi langit-langit kamar. Matanya enggan terpejam dan pikirannya entah berada di mana saat ini. Masih jelas diingatannya tadi saat pertemuan keluarga. Pria itu masih terlihat dingin, tidak ada yang banyak berubah dari tampilannya. Masih keren dan klimis seperti 8 tahun lalu. Hanya saja tampilan yang lebih dewasa membuatnya terlihah lebih seksi, terlebih lagi dagu dan rahangnya yang ditumbuhi rambut-rambut kasar. Memikirkannya saja membuat darah Arin berdesir, apalagi sampai menyentuhnya.
Malam berganti menjadi pagi, meski matahari belum metampakkan sinarnya. Suasana rumah Mahesa Kaur sudah sangat ramai dengan suara tangisan bayi, cucu keluarga ini. Setelah menjalankan ibadah solat, keluarga ini biasanya mulai beraktifitas seperti biasanya. Arin menemani ayahnya untuk lari pagi di jalan komplek perumahaan tempat mereka tinggal. Udara yang masih segar tanpa polusi yang benar-benar dirindukannya. Kali ini ia benar-benar pulang, mungkin akan selamanya bertahan di sini. Mengubur semua impiannya untuk berkarir di luar negeri. Dehaman ayah menyadarkan Arin dari lamunan panjangnya. Ayah sangat menyadari tatapan kosong Arin dan itu sungguh membuatnya merasa tidak nyaman.
“Kalau Arin tidak bersedia, Ayah akan batalkan pernikahan ini.”
“Tapi perusahaan bagaimana?” tanyanya terdengar ragu.
“Tidak masalah. Kita akan memulai lagi dari awal.”
“No!!! Arin akan lakuin apapun demi keluarga kita. Termasuk menikahi mesin es batu itu.”
Ayah tersenyum kecil mendengar kata-kata putrinya ini. Walau awalnya Arin terdengar serius dan bersungguh-sungguh, tapi seperti biasanya. Selalu bisa mengacaukan semuanya hanya dengan kata-kata yang jelas terdengar sekenanya.
“Dia calon suamimu...”
“Tapi tetap aja dingin.”
Arin menyahut cuek sebelum akhirnya ia mulai berlari lagi, meninggalkan ayah jauh di belakangnya. Terkadang untuk menghilangkan beban pikiran dan stress itu sangat mudah. Cukup dengan hal-hal sepele seperti berlari sekuat mungkin, melepaskan semua beban yang ada. Tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipi. Segera ia hapus dengan telapak tangannya asal.
“Aah hujan nggak sih? Gue nggak rasa hujan, deh, kok pipi gue basah, ya?”
Sesampainya di rumah, Arin bergegas pergi ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap-siap berangkat ke kantor. Hari ini ialah hari pertama bekerja sebagai manajer keuangan di perusahaan milik keluarganya. Arin memandangi bayangannya di cermin, matanya sembab dan memerah.
Perasaan air yang keluar dari shower itu kagak pedas, deh. Kok mata gue rasanya pedas, ya? Sampai nggak bisa berhenti ngeluarin air mata?
Seperti yang kita lihat, gadis ini terlalu bodoh dan cenderung konyol. Harusnya dia jujur saja tentang perasaan sedihnya. Pikirannya masih mengembara entah ke mana, walaupun ia telah selesai berpakaian dan berdandan masih saja ia menyatut diri di depan cermin.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan pintu itu menyadarkan Arin dari lamunan panjangnya. Segera disambarnya ponsel dan tas yang sedari tergeletak di ranjang berukuran queen size itu. Dibukanya kunci pintu kamar, dan terpampanglah siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Ia berpura-pura terkejut ketika melihat sosok di depan kamarnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wife
RomanceNB : Cerita ini mengandung adegan dewasa, harap bijak dalam membaca. Kareena Diandra Mahesa terpaksa harus menikah dengan Richard Albercht Wirajaya. Bukan hal mudah baginya untuk menerima pernikahan ini. Terlebih lagi pria yang menjadi calon suaminy...