Chapter 19

349 13 0
                                        

Langit malam yang berwarna pekat tapi tidak menghalangi bintang beredar dengan kemerlapnya. Gemerlap cahaya lampu gedung-gedung percakar langit menghiasi malam Ibu Kota. Namun kegemerlapan itu tidak mampu untuk menerangi suasana hati seorang pria yang sedang menatap kosong dari salah satu kaca jendela kamar hotel berbintang. Rahangnya sudah mengeras sempurna, tapi wajahnya masih memperlihatkan ekspresi datar tak terbaca. Dirinya jauh lebih bisa mengendalikan emosi yang siap meledak.  Pada wanita berbalut gaun berwarna maroon dengan belahan dada rendah yang sedang duduk di pinggir ranjang berukuran king size.

“Kenapa kamu kemari, Jen?” suara baritonnya memecah keheningan yang mencekam sejak 15 menit lalu. Saat mereka berdua memasuki kamar hotel ini, yang sengaja dipesan untuk membicarakan kejadian sejam lalu.

“Aku ingin makan malam,” jawabnya dengan nada tenang walau sebenarnya Jenny merasa tidak tenang setelah mendengar nada bicara menusuk milik suaminya.

“Kamu sengaja ingin mengacau?”

“Tidak. Tadi aku ingin makan malam dan melihat kalian, jadi--” kalimatnya terputus karena saat ini Jenny sedang mencari alasan untuk menghindarkan dirinya dari bentakkan Richard.

“Jadi kamu ingin mengacau,” seringai tajam Richard saat berbalik dari posisi berdirinya untuk menatap Jenny yang tampak gugup.

“Tidak bisakah kamu melihatku sekali saja?” tanya Jenny bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Richard.

“Hentikan sandiwaramu,” ucap Richard menjauhkan dirinya dari tangan Jenny yang sedang berusaha menggapainya.

“Aku sedang tidak bersandiwara saat ini, aku jujur,” Jenny menaikkan suaranya walau lawan bicaranya masih bersikap datar dan tenang.

“Aku muak dengan semua sandiwara yang kamu dan keluargamu ciptakan,” ucap Richard dingin penuh penekanan.

“Tapi tidak bisakah kamu melihat sedikit saja hatiku?” tangis Jenny mulai pecah, bulir bening turun dari pelupuk mata dan membasahi pipinya.

“Untuk apa?”

“Aku mencintaimu,” lirihnya menatap Richard dengan tatapan terluka. Sedangkan Richard masih dengan wajah datarnya dan tatapan menusuk tepat pada wajah sembab Jenny karena menangis.

“Cukup, Jen. Aku sungguh muak dengan sandiwara murahanmu itu. Kamu dan keluargamu sudah berjalan, seharusnya kalian sudah harus melepaskanku, bukan?” Rirchard berjalan ke arah Jenny dan mencengkram bahu putih yang terekspose itu. Membuat Jenny meringis kesakitan akibat tekanan keras pada bahunya. Dia sadar benar jika Richard sedang menahan emosinya saat ini, tapi selama 8 tahun ini tidak pernah sekalipun pria itu menyakitinya. Walau yang ia lakukan dulu sangat salah dan menjijikan.

“Kenapa kamu tidak menceraikanku saja?” bentak Jenny yang kini berdiri tepat di hadapan Richard.

“Itu yang kamu inginkan?” tanya Richard balik pada Jenny yang masih menatapnya tajam seperti sesaat tadi.

“Kamu yang menginginkannya!” teriak Jenny sedikit parau akibat tangis.

“Itu keinginanmu dan keluargamu untuk menguasai beberapa perusahaan dan hotel milik keluargaku. Kalau kamu lupa bahwa malam itu apa yang sudah kamu lakukan padaku,” decih Richard pada Jenny yang masih menangis tidak diketahui pasti apa alasan sebenarnya. Karena wanita itu sangat ahli dalam bersandiwara, mungkin dia patut diganjar Oscar sebagai Pemeran Utama Antagonis Terbaik. Itupun kalau ada untuk nominasi itu.

“Aku--” Jenny tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika Richard telah keluar dari kamar hotel, meninggalkannya yang masih terisak. Membanting pintu dengan sangat kencang, membuat siapapun yang mendengarnya akan tersentak kaget.

Jenny masih duduk di tepi ranjang dengan tangan yang membersihkan sisa air mata di pipinya. Wanita itu menatap cermin yang tepat mengahadap ranjang dan tersenyum miring. Menampilkan senyum jahat miliknya dengan sempurna, tangannya meraih ponsel di dalam clutchnya. Karena sedari tadi tidak henti berbunyi.

“Diam kamu, Berengsek!!! Aku muak!!!” dengan satu hentakkan keras Jenny melemparkan ponselnya ke dinding kamar hingga hancur tak berbentuk.

“Aaarrrggghhhhhhh... Kalian semua berengsek!!!” teriaknya sambil mengacak rambutnya frustrasi.

Sedangkan di luar sana Richard sedang berjalan tenang ke arah keluarga dan tunangannya yang masih menikmati santapan mereka. Mengabaikan mata penasaran pengunjung lain yang melihatnya kembali seorang diri, karena sebelumnya ia pergi dengan Jenny. Istri pertama yang cantik dan terkenal dermawan dikalangan media serta geng sosialitanya. Richard memang tidak terlalu peduli dengan bisik-bisik dan pandangan sinis orang lain padanya. Yang ia tahu komentar orang-orang tersebut tidak memberikan pengaruh apapun pada kesuksesannya.

“Di mana ular itu?” tanya Rowiena sarkatis pada Richard yang baru saja mendaratkan bokongnya di kursi yang di tempatinya tadi.

“Di kamar,” jawabnya singkat dengan wajah sedatar tembok dan suara sedingin es.

“Kenapa kakak tidak ceraikan saja dia?” Rachel bicara berapi-api mengabaikan gelengan kepala dari suaminya yang memintanya untuh diam. Bayu sadar benar seperti apa istrinya ini ketika sedang membahas Jenny Halim. Emosinya selalu meletup-letup, sangat berbeda dengan Richard yang masih bisa bersikap tenang.

“Rachel!” Arya Wirajaya mencoba menghentikan perbicangan yang tidak bermutu ini. Setidaknya mereka harus menghargai perasaan Arin yang sedari tadi terlihat murung. Kehadiran Jenny sedikit besar mempengaruhi mood gadis itu.

Semua kenangan tentang perkenalannya dengan Jenny dan berakhir penghianatan yang dilakukan wanita itu. Saat dia harus menyaksikan liputan pernikahan tunangannya dengan orang yang dia kenal sebagai seorang teman. Kenangan-kenangan itu terus bermunculan dalam benaknya, membuatnya tanpa sadar meloloskan satu bulir bening dari mata abu-abu bulatnya. Richard yang sedari tadi menggenggam tangan Arin di bawah meja menyadari kejadian itu. Segera ia menghapus air mata Arin dengan ibu jarinya secara lembut. Tidak peduli lagi dengan pandangan keluarga yang masih berbagi udara yang sama dengannya.

Makan berakhir tidak lama setelah Richard kembali, dengan suasana canggung Rachel memeluk erat tubuh Arin. Adik bungsu Richard itu memang merasa tidak nyaman dengan Arin setelah apa yang diucapkannya tadi. Tidak seharusnya dia bicara seperti tadi, setidaknya ia menghargai perasaan Arin yang terluka harus berbagi suami dengan posisi sebagai yang kedua. Di luar sana sedang banyak yang menyoroti berita pernikahan Arin dan Richard. Predikat perebut suami orang pun sudah melekat pada dirinya saat ini.

“Sayang kita pulang ke mansion saja, ya,” ajak Richard yang membawa tangan Arin untuk melingkar di tangannya.

“Huh?” rupanya sedari tadi Arin melamun tidak memperhatikan apapun yang diucapkan Richard.

“Kita ke mansion,” ucapnya dingin membawa tubuh Arin masuk ke dalam elevator yang telah terbuka.

Keduanya meninggalkan hotel dengan menyisakan tatapan sinis pada diri Arin. Sudah tahu apa yang ada dalam benak orang-orang itu, mengingat sebagian mereka pasti tahu jika Jenny Halim juga berada di sini. Digedung yang sama seperti yang sedang mereka pijak saat ini. Richard terus menggenggam tangan Arin tanpa mempedulikan semua pandangan orang lain. Mereka berdiri di depan lobi menunggu valet parking membawakan mobilnya. Tidak berapa mobil Audi red metalic itu telah berada di depan mereka. Richard memberikan tip selembar uang seratus ribuan sebagai tanda terima kasih.

Richard membukakan pintu penumpang dan mempersilakan gadisnya masuk. Setelahnya ia segera menyusul Arin untuk masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan gadis yang biasanya ramai itu lebih banyak diam. Paham benar apa yang sedang dipikirkan calon istrinya, membuat Richard lebih memilih diam. Namun sesekali membelai lembut kepala gadis itu.

Second WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang